Jumat, 25 Maret 2016

Titik hitam dan kebhinekaan

Untuk kesekian kalinya saya melihat gambar epik tentang kertas putih yang ada titik hitamnya. Captionnya selalu sama. Tentang asumsi kebanyakan orang yang cenderung hanya melihat titik hitam, padahal putih lebih dominan. Asumsi ini kemudian dikorelasikan dengan teori bahwa kebanyakan orang lebih mudah melihat 1 keburukan daripada melihat 1000 kebaikan.

Merujuk asumsi dan teori di atas, logika yang dipakai adalah titik hitam merupakan representasi keburukan, sedang warna putih merupakan representasi kebaikan. Di sini, saya merasa terusik.
Mengapa hitam diidentikkan dengan hal-hal buruk saat putih identik dengan hal-hal baik. Menurut saya, identifikasi ini tidak adil. Satu-satunya yang relevan bagi saya adalah perbandingan titik hitam dengan kertas putih sebagai 1 banding 1000. Sebuah hal kecil dibandingkan dengan jumlah yang lebih banyak. Minoritas versus mayoritas. Suatu hal yang berbeda dari kebanyakan hal yang seragam. Satu hal yang berbeda dari kebiasaan.

Kemudian saya teringat tentang sebuah aksi terkini perusahaan layanan taksi reguler di ibukota yang memprotes keberadaan taksi daring. Bermacam alasan mulai dari tiadanya uji kelayakan kendaraan, hingga isu legalitas diusung mewarnai aksi ini. Sangat berbeda dengan lumrahnya taksi reguler berargo yang selama ini merajai pasar taksi di ibukota. Terlepas dari berbagai tanggapan masyarakat, saya melihat sebuah kesamaan antara wacana aksi taksi reguler ini dengan kertas putih bertitik hitam. Sebuah hal baru dari sesuatu yang menjadi kebiasaan.

Jika meninjau wacana aksi yang mengindikasikan ketidaknyamanan, atau bahkan ketidaksetujuan pihak mayoritas yang merupakan pemain lama, bisa jadi si titik hitam ini ’terlihat’ karena perbedaan yang Ia miliki, yang notabene mengusik. Maka, asumsi yang ada adalah bukan tentang baik dan buruk. Tapi tentang sesuatu yang baru adalah sesuatu yang ‘mengusik’. Apakah ini pertanda bahwa kita cenderung tidak siap pada perbedaan?

Sayang sekali, jargon pendahulu kita yang susah payah diusahakan dijadikan semboyan bangsa kita menjadi mati rasa: Bhineka Tunggal Ika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar