Tulisan ini terinspirasi dari status FB Cania tentang
toleransi di FBnya, sekaligus bentuk keprihatinan saya atas pergeseran makna
toleransi. Sebagai mantan mahasiswa linguistik saya akan membuka wacana ini
dengan pengertian toleransi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Toleransi
menurut KBBI V adalah 1. Sifat atau sikap toleran; 2. Batas ukur untuk
penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan; 3. Penyimpangan yang
masih dapat diterima dalam pengukuran kerja.
Dalam status FB yang kemudian viral tersebut, Cania
menambahkan penjelasan bahwa toleransi itu ketika in default –pada kondisi
normal—sesuatu bukan merupakan hak anda, tetapi pada saat tertentu publik
mengijinkan anda untuk melakukannya. Dari konteks ini, siapa yang bertoleransi?
Pihak yang membiarkan anda mendapat penambahan hak, atau pihak yang haknya
dikurangi untuk kepentingan pihak lain.
Cania mencontohkan penggunaan jalan raya di depan pagar
rumahnya untuk pesta kawin tetangganya. Cania sedang bertoleransi saat Ia dan
keluarganya memutuskan membiarkan tetangga tersebut melangsungkan hajatnya di
ruang publik yang notabene milik bersama.
Kita bisa dengan mudah sepakat soal toleransi saat batas-batas wilayah terlihat jelas. Hak kepemilikan properti anda jelas seiring batas pagar antara tanah anda dengan jalan, atau tanah anda dengan tanah tetangga.
Bagaimana dengan hal yang tak memiliki batasan jelas seperti langit?
Hal yang sama dengan langit. Langit adalah ruang publik yang
perlu dijaga bersama. Di ketinggian tertentu bahkan diatur dalam regulasi
tertentu agar tidak mengganggu. Misalnya tentang aturan drone yang tidak boleh
terbang di area-area tertentu. Bahkan untuk hal-hal yang tak kasat mata.
Misalnya frekuensi gelombang radio. Memang tidak terlihat oleh mata telanjang.
Tapi mohon pahami serta ikuti aturan yang ada bahwa ada frekuensi-frekuensi
tertentu yang dikhususkan untuk kepentingan tertentu. Bahkan ada yang membayar
sejumlah harga tertentu untuk penggunaan saluran, misalnya radio komersial. Kan
gak lucu di tengah cuap-cuap penyiar kesayangan kita, tiba-tiba diinterupsi
orang iseng yang menerobos saluran? Memang agak jarang ya ilustrasi ini
terjadi, sebab masuk ke gelombang FM memang tidak mudah. Tapi bagi Anda yang
suka main Radio Amatir tentu paham sekali betapa pentingnya jalur yang bersih.
Hanya karena anda punya HT, bukan berarti Anda bebas nge-jam ke sembarang
saluran. Nah, di beberapa kejadian misalnya di kondisi darurat, beberapa
komunitas memberikan akses frekuensi untuk digunakan oleh relawan-relawan berkomunikasi.
Ini namanya toleransi. Anda membiarkan orang lain menggunakan apa yang menjadi
hak milik anda untuk kepentingan mereka – setidaknya kepentingan bersama.
Lalu bagaimana dengan ceramah agama yang diperbesar
volumenya secara drastis hingga terdengar jauh dari rumah ibadah?
Anda tentu memiliki hak kepemilikan mutlak atas properti
yang anda miliki. Baik tanah maupun bangunan. Silahkan melakukan apapun di
properti milik anda sendiri asal tidak bertentangan dengan ideologi negara. Jangankan kajian agama, mau bikin
ajep-ajep pun, silahkan saja. Anda mau jungkir balik, asalkan tidak mengganggu
tetangga,termasuk soal suara, silahkan saja. Kalau anda membuat pertemuan untuk mengkudeta Indonesia dan terbukti ya siap-siap saja berhadapan dengan negara.
Saya mendengar langsung keluhan seorang kawan hindu bahwa Ia
cukup terganggu dengan ceramah agama dari sebuah pengeras suara suatu rumah
ibadah yang kadang kala melabeli sesat agama yang lain. Padahal jarak tempat
tinggalnya dengan rumah ibadah tersebut cukup jauh, sekitar 300 meter. Dia sih
merasa tidak keberatan untuk azan, itung-itung alarm alami, begitu katanya.
Tapi jika hinaan-hinaan serta ucapan menyakitkan dikumandangkan di langit, di
mana teman saya ini juga berhak atas langit yang bersih dari ucapan-ucapan
menyakitkan, tentu saja mengganggu.
Harap diingat bahwa hak kepemilikan atas properti yang
dimiliki antara teman saya ini dengan hak kepemilikan atas properti pemilik
rumah ibadah adalah sama. Berhak berkegiatan sesuai dengan keinginannya di
properti masing-masing. Tapi apabila di antara aktifitas masing-masing ada yang
terganggu karena aktifitas yang lain, Ia berhak merasa keberatan. Bila selama
ini ia diam, itu karena Ia memilih menjadi toleran. Tapi itu tidak membenarkan
tindakan rumah ibadah tersebut.
Saya teringat pengalaman saya di pelosok Maluku dulu, di
mana saya menjadi minoritas. Di situ saya menemukan toleransi yang begitu
hangat. Sebuah rapat pleno dipending selama kurang lebih 15 menit untuk saya
berbuka puasa. Bukan hanya diberi waktu, tapi mereka juga menyiapkan makanan
kecil untuk saya berbuka. Padahal saya satu-satunya peserta rapat yang
berpuasa. Rapat tersebut dihadiri sekitar 40 orang dengan berbagai usia dan
jabatan. Saya termasuk junior. Dengan agenda rapat yang jelas, tentu saja rapat
tidak perlu dipending. Menyilahkan saya untuk keluar dari pertemuan sebentar
sebenarnya cukup untuk memastikan hak beragama saya tidak tercederai. Tapi
mereka memilih untuk menghentikan sementara rapat untuk menghormati kehadiran
saya di pertemuan tersebut serta agar saya bisa menjalankan ibadah. Satu hal
yang mengharukan adalah pesan dari pimpinan rapat sebelum rapat benar-benar
dipending sebab saya sempat menolak tawaran pending rapat. Beliau berkata: “Kita
membuka dan menutup pertemuan dengan mengucap doa pada Tuhan. Jika kamu tidak
bisa berjumpa dengan Tuhanmu di dalam pertemuan ini, berarti kita semua di sini
tidak sungguh-sungguh menghadirkan Tuhan di dalam pertemuan ini”.
Saya juga berkali-kali dibuat haru oleh para rekan di sana
yang begitu bersemangat mengundang buka puasa bersama. Mereka tidak berpuasa,
tapi justru mengeluarkan sejumlah uang dan menyisihkan waktu untuk menikmati
kebersamaan. Bersama-sama memaknai puasa yang saya jalani sebagai kesempatan
untuk bersyukur atas segala nikmat sehingga petang itu masih bisa menikmati
makanan yang layak.
Masih tentang langit, di sana tidak ada Gereja yang
memperdengarkan suara aktifitas ibadahnya hingga terdengar jauh dari luar rumah
ibadah. Padahal sebagai kalangan mayoritas, ‘rasanya’sah-sah saja, apalagi bila
melihat di jawa, banyak masjid yang merasa ‘sah-sah saja’ menggaungkan ceramah
keagamaan hingga terdengar jauh dari masjid. Pernah sekali saya berkelakar
dengan kawan di sana, kenapa tidak pasang TOA supaya umat yang jauh bisa dengar
dari rumah. Toh saya yang minoritas ya mau gak mau pasti legowo. Dia hanya
tertawa dan berkata; “Kalau mau ibadah ya datang ke rumah ibadah. Jangan malas
apalagi manja. Ngakunya beriman tapi kok maunya Tuhan yang datang bawa firman”
Apakah isu toleransi ini hanya dalam perkara agama? Tidak.
Bos yang memberi ijin tidak masuk kerja karena anak Anda
sakit adalah bentuk toleransi. Dosen yang membiarkan anda tetap ikut ujian
meskipun jumlah kehadiran anda kurang juga bentuk toleransi. Musyawarah? Itu
bagian dari toleransi. Sebab setiap orang memiliki hak berpendapat yang
sama.Tapi bukan berarti pendapat itu otomatis jadi kesepakatan. Proses
penyesuaian dan pencarian jalan tengah merupakan sikap toleransi itu sendiri
sehingga pada akhirnya bisa ada kesepakatan bersama.
Ingatlah bahwa jauh sebelum perdebatan tentang toleransi
terjadi, kearifan lokal telah menjadi contoh nyata toleransi. Misalnya apa?
Budaya ngenyang alias tawar menawar terutama di pasar tradisional. Sebagai
penjual yang memiliki hak penuh atas kepemilikan barang dagangannya, tentu
penjual berhak menetapkan harga jual. Harga jual tersebut secara sederhana
meliputi harga produksi, biaya operasional dan laba yang diinginkan oleh
penjual. Lalu datanglah calon pembeli. Ingat ya, calon, sebab belum tentu
proses tawar-menawar berujung pada transaksi. Pembeli dengan kemampuan ekonomi
masing-masing datang dengan kepentingan memiliki barang yang ia inginkan.
Jikalau penjual menetapkan harga mati sebagaimana toko modern, sebenarnya itu
hak penjual. Tapi toh demi kebutuhan bersama, akhirnya penjual mau menurunkan
hak atas laba yang ia peroleh hingga ke titik tertentu sehingga pembeli bisa
mendapatkan barang dengan harga lebih murah.
Sebagai calon pembeli, apakah anda berhak marah-marah kalau penjual kekeuh menolak
menurunkan harga? Tidak, sebab itu barang miliknya. Silahkan saja anda cari
penjual lain yang mau menurunkan harga untuk anda. Sebagai penjual, apakah anda
berhak marah bila ada calon pembeli menawar dengan harga terlampaui rendah?
Saya kira kurang bijak. Cukup jelaskan titik tengah yang masih bisa anda
tolerir. Bila Ia masih kekeuh meminta harga yang anda tetapkan, lebih baik anda
menunggu pembeli lain. Barangkali ada yang mau membeli dengan harga yang anda
tawarkan.
Termasuk di isu terbaru penanganan Tanah Abang. Sebagai
warga negara yang ikut memiliki fasilitas publik (tentu saja karena saya ikut
membayar pajak yang merupakan sumber pendapatan negara. Pendapatan tersebut
lantas didistribusikan ke daerah termasuk APBD DKI Jakarta), sebenarnya saya
bertanya-tanya kenapa fungsi jalan dialihkan menjadi tempat berjualan PKL. Tapi
saat ini saya memilih bertoleransi untuk melihat bagaimana kebijakan tersebut
berjalan beserta dampak kebijakan tersebut. Barangkali memang ada dampak tak
terduga yang bisa dijadikan contoh untuk daerah lain. Tetapi ingat, saya tidak
bisa memaksa orang lain ikut bertoleransi juga. Sebab setiap orang punya hak
yang sama dengan saya atas fasilitas publik tersebut. Jika mereka memilih
bersuara atas agresi ruang tersebut, itu hak mereka.
Yang perlu diingat adalah, toleransi berkaitan dengan hak.
Anda tidak dikatakan bertoleransi saat anda memberikan THR bagi pekerja anda
yang berbeda agama. Anda hanya sekedar melaksanakan kewajiban anda sebagai
penyelenggara kerja menurut UU Ketenagakerjaan. Anda juga tidak dikatakan
toleran hanya karena membiarkan pekerja anda beribadah di waktu istirahat
mereka. Para pekerja bebas menggunakan waktu istirahat mereka sesuai keinginan
mereka. Lain halnya jika anda memberikan waktu tambahan untuk beribadah di luar
waktu istirahat normal kepada pekerja.
Lalu, apakah tidak toleran sama dengan intoleran? Menurut
saya tidak selalu. Dalam kasus hajatan kawinan di ruang publik yang diajukan
Cania, Cania bisa saja merasa keberatan jalan depan rumahnya digunakan untuk
hajatan. Dia punya hak atas jalan raya di depan rumahnya itu. Tidak berarti
Cania intoleran. Demikian pula di kasus ruang langit yang ‘tercemar ucapan
menyakitkan’. Bila si kawan ini merasa keberatan, bukan berarti dia intoleran.
Dia berhak menikmati langit yang damai. Kalau si kawan ini menyampaikan
keberatannya, maka rumah ibadah tersebut sudah seharusnya menyesuaikan volume
suara yang sesuai dengan bangunan mereka agar tidak sampai menggangu
orang-orang di luar bangunan. Apalagi soal frekuensi radio. Apakah menolak
frekuensi milik anda digunakan orang lain merupakan tindakan intoleran? Tidak,
sebab itu hak milik anda.
Lain halnya jika anda memaksa sebuah toko makanan yang
menolak membuat ucapan selamat natal untuk membuat ucapan natal di kue dagangan
mereka. Ini intoleransi. Pemilik toko memiliki hak prerogatif atas produk yang
ia jual. Kalau anda ingin ucapan natal, cari toko lain yang mau. Sama halnya
dengan merazia warung makan yang buka saat puasa. Lah mereka yang punya kok,
anda siapa melarang orang berdagang di properti mereka sendiri? Apalagi melarang
orang lain memercayai apa yang mereka percaya bahkan mencegah orang lain beribadah
di rumah ibadah mereka sendiri.
Yang paling penting, mari konsisten. Jangan anda marah-marah
karena cabang pohon mangga tetangga menjulur ke tanah anda, tapi diam-diam anda
memetik dan menikmati manisnya daging buah tersebut. Atau anda yang protes bila
fasilitas publik dihias dengan dekorasi natal tapi sangat menikmati diskon
besar-besaran yang diselenggarakan toko dalam rangka natal.
Tabik