Hal yang menjadi perhatian akhir-akhir
ini adalah pelaksanaan hukum cambuk bagi pelaku zina lajang dengan ditonton
oleh orang banyak di Aceh. Poin yang menjadi kegelisahan sejauh yang dapat saya
tangkap bertumpu pada pelaksanaan hukum ini yang disaksikan banyak orang
termasuk anak-anak. Alih-alih terbatas pada isu ini, saya juga mempertanyakan
apakah proses penetapan hukuman sudah sesuai dengan konteks pelaksanaan hukum serupa
di jaman Nabi?
Mari kita cermati bersama.
Saya memahami bahwa Aceh berusaha menerapkan Syariat Islam sebagaimana
disebutkan dalam ayat berikut:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman” (QS Annur:2)
Ayat di atas secara umum menjelaskan
hukum bagi orang yang melakukan zina yakni dicambuk sebanyak 100 kali (bagi pelaku
yang belum pernah menikah) serta pelaksanaan hukum tersebut disaksikan oleh
orang-orang beriman.
Bagi saya, ayat tersebut memunculkan
dua pertanyaan dasar:
- Bagaimana praktek pelaksanaan hukum bagi pelaku zina di jaman Rasulullah SAW?
- Siapa saja yang menyaksikan proses eksekusi tersebut?
Ada banyak rujukan terkait pelaksanaan
hukum bagi orang yang berzina,di sini saya ingin mengajukan sebuah dalil alternatif
yang mungkin belum diketahui oleh orang banyak. Abu Daud meriwayatkan beberapa hadist
terkait hal ini, berikut saya sitirkan:
[Yazid bin Nu'aim bin Hazzal berkata:"Maiz bin Malik adalah seorang anak yatim yang diasuh oleh bapakku. Dan ia pernah berzina dengan seorang budak wanita dari suatu kampung. Bapakku lalu berkata kepadanya, "Datanglah kepada Rasulullah SAW, kabarkan kepada beliau dengan apa yang telah engkau lakukan, semoga saja beliau mau memintakan ampun untukmu."
Demikian itu bapakku (Bapaknya Yazid) menginginkan hal itu agar Maiz mendapatkan jalan keluar, lalu ia bergegas menemui Rasulullah SAW.
(Kepada Rasulullah SAW) Maiz lantas berkata: "Wahai Rasulullah, aku telah berzina, maka laksanakanlah hukum Kitabullah terhadapku!"Beliau berpaling darinya. Maka Maiz mengulangi (perkataan) lagi: "Wahai Rasulullah, aku telah berzina, maka laksanakanlah hukum Kitabullah terhadapku!"
Beliau berpaling. Maiz mengulanginya lagi, "Wahai Rasulullah, aku telah berzina, maka laksanakanlah hukum Kitabullah terhadapku!"
Ia (Maiz) ulangi hal itu hingga empat kali. Rasulullah SAW kemudian bersabda: "Engkau telah mengatakannya hingga empat kali, lalu dengan siapa kamu melakukannya?" Maiz menjawab, "Dengan Fulanah." Beliau bertanya lagi: "Apakah menidurinya?" Maiz menjawab, "Ya." beliau bertanya lagi: "Apakah kamu menyentuhnya?" Maiz menjawab, "Ya." beliau bertanya lagi: "Apakah kamu menyetubuhinya?" Maiz menjawab, "Ya."
Akhirnya Rasulullah SAW memerintahkan untuk merajamnya. Maiz lantas dibawa ke padang pasir, maka ketika ia sedang dirajam dan mulai merasakan sakitnya terkena lemparan batu, ia tidak tahan dan lari dengan kencang. Namun ia bertemu dengan Abdullah bin Unais, orang-orang yang merajam Maiz sudah tidak sanggup lagi (lelah), maka Abdullah mendorongnya dengan tulang unta, ia melempari Maiz dengan tulang tersebut hingga tewas.
Kemudian Abdullah menemui Nabi SAW dan menyebutkan kejadian tersebut, beliau bersabda: "Kenapa kalian tidak membiarkannya, siapa tahu ia bertaubat dan Allah menerima taubatnya] HR Abu Daud.
Hadis
tersebut menunjukkan bahwa pangkal pelaksanaan hukum terhadap pelaku zina
adalah pengakuan zina dari pelaku. Hal yang perlu diperhatikan adalah sebelum
Rasulullah SAW memutuskan hukum tersebut, Rasulullah SAW sempat mengabaikan pengakuan
Mu’iz beberapa kali. Mengapa hal ini terjadi?
Dalam hadist lain yang bercerita tentang Maiz bin Malik, dikisahkan
bahwa Ia mengakui perbuatannya tersebut kepada Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
Akan tetapi keduanya menganjurkan Maiz untuk menutupi aib tersebut dan
memintanya untuk bertobat. Karena tidak puas dengan jawaban tersebut, maka Maiz
menemui Rasulullah SAW untuk minta disucikan dari dosa yang Ia lakukan.
Hadist berpalingnya Abu Bakar,Umar bin Khattab bahkan Rasulullah
SAW dari Maiz menunjukkan bahwa mereka malu atas klaim tersebut. Ucapan mereka agar
Maiz bertobat menjadi penguat agar Maiz menyimpan aib tersebut dan bertobat,
alih-alih membuka aib tersebut. Hal itu selaras dengan hadist bahwa Allah SWT
menutup aib seseorang.
“Setiap umatku dimaafkan kecuali orang yang terang-terangan
dalam bermaksiat. Yaitu seseorang yang telah berbuat dosa di malam hari lantas
di pagi harinya ia berkata bahwa ia telah berbuat dosa ini dan itu padahal
Allah telah menutupi dosanya. Pada malam harinya, Allah telah menutupi aibnya,
namun di pagi harinya ia membuka sendiri aib yang telah Allah tutupi.” (HR.
Bukhari)
Di titik ini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa:
- Seseorang yang berdosa telah ditutup aibnya oleh Allah SWT. Ia tak harus membuka aibnya sendiri, lebih baik bertobat.
- Pangkal pelaksanaan hukum bagi pelaku zina adalah pengakuan
Pada kasus Maiz, Maiz terus memaksa, terjadilah dialog antara
Maiz dengan Nabi yang disaksikan oleh para sahabat. Pada dialog tersebut, yang
berdasarkan pengakuan Maiz sekaligus paksaan dari Maiz untuk minta dihukum
untuk mensucikan dosanya, Nabi meneliti fakta dengan terperinci. Nabi mengecek
kesadaran Maiz saat itu, adakah Ia sedang mabuk atau gila. Nabi juga meneliti
barangkali Maiz hanya sekedar mencium, meraba atau menyentuh pasangannya.
Bahkan, Rasulullah SAW memastikan dengan pertanyaan apakah saat
itu (kemaluanmu)
hilang (masuk ke dalam kemaluan perempuan). Maiz menjawab, "Ya." Mendapat
jawaban begitu, Rasululah masih bertanya apakah kejadian tersebut seperti
pensil celak masuk ke dalam botolnya, dan seperti tali timba masuk ke dalam
sumur?" Maiz pun menjawab dengan “Ya”
Apakah
setelah kejadian rinci tersebut terkuak sudah cukup untuk Rasulullah SAW
menetapkan hukum? Ternyata tidak, sebab dalam hadist di mana beliau memastikan
kejadian, Rasulllah
SAW juga menanyakan apakah Maiz mengerti zina itu apa yang kemudian dijawab
oleh Maiz, "Ya. Aku
mendatangi wanita yang haram bagiku layaknya laki-laki yang mendatangi
isterinya secara halal."
Setelah kejadian sudah jelas dan
pelaku memahami betul bahwa apa yang ia lakukan adalah zina, sudah cukupkah
bagi Rasulullah SAW menjatuhkan hukum? Tidak. Setelah menginterogasi Maiz, Rasulullah
SAW melanjutkan dengan pertanyaan:
"Apa yang kamu inginkan dari jawaban itu?" Maiz menjawab, "Aku
ingin agar engkau membersihkan dosaku." Barulah Rasulullah SAW memerintahkan
agar Maiz dirajam.
Dari titik ini, kita menemukan
kesimpulan lanjutan bahwa:
- Harus dipastikan betul telah terjadi perbuatan Zina, pelaku melakukan dalam keadaan sadar dan tidak gila serta memahami bahwa yang ia lakukan adalah perbuatan zina.
- Dasar pelaksanaan hukum bagi pelaku zina adalah permintaan pelaku dalam tujuan membersihkan dosa.
Meninjau hadis-hadis terkait
permintaan Maiz untuk dirajam, maka itu juga bermakna bahwa kedudukan
Rasulullah SAW saat itu sebagai amirul mukmin minkum (yang memegang perkara di
antara orang-orang iman) adalah fasilitator atas pembersihan diri dari dosa. Bukan
sebagai pengambil kesimpulan apakah seseorang terbukti bersalah sehingga harus
dihukum dengan metode tertentu menurut pendapat amirul mukmin.
Apakah aspek ini sudah diterapkan juga
dalam rangka mewujudkan keadilan?
Lanjut ke pertanyaan kedua, siapakah
yang menyaksikan eksekusi tersebut?
Saya pernah mendengar sebuah keterangan hadis, yang sayangnya saya cari kembali
namun belum ketemu, bahwa pelaksanaan hukuman rajam ataupun cambuk pada jaman
Rasululah SAW dilakukan setelah ibadah shalat Jumat. Mohon koreksi dari Anda
yang lebih mengetahui hal ini.
Meninjau kondisi pada jaman Rasulullah
SAW bahwa jumlah Masjid masih sedikit serta jarak ke Masjid rata-rata tidak
dekat, maka biasanya yang melaksanakan shalat jumat hanya lelaki dewasa saja.
Sementara perempuan dan anak-anak tinggal di rumah untuk melaksanakan sholat
Dhuhur di rumah. Maka, bila dikaitkan dengan pelaksanaan hukum bagi pelaku zina
setelah shalat jumat, maka lahirlah kesimpulan ke-4 bahwa yang berhak menyaksikan
eksekusi hukuman ini (dalam beberapa hadist
ikut mengeksekusi; ikut melempar batu pada pelaku zina yang diirajam)
hanya lelaki iman yang sudah dewasa.
Oleh karena itu, kehadiran anak-anak
serta perempuan yang bahkan merekam eksekusi dengan wajah sumringah menurut
saya perlu dievaluasi. Semoga agama membuat kita menjadi lebih manusiawi, menjadi rahmatan lil alamin termasuk bagi anak di bawah umur yang secara psikologis tidak pas untuk melihat adegan kekerasan. Meskipun itu bertajuk menegakkan keadilan.