Sabtu, 28 April 2018

Pelaksanaan Hukum bagi Pelaku Zina di Aceh; Sudahkah sesuai Syariat?


Hal yang menjadi perhatian akhir-akhir ini adalah pelaksanaan hukum cambuk bagi pelaku zina lajang dengan ditonton oleh orang banyak di Aceh. Poin yang menjadi kegelisahan sejauh yang dapat saya tangkap bertumpu pada pelaksanaan hukum ini yang disaksikan banyak orang termasuk anak-anak. Alih-alih terbatas pada isu ini, saya juga mempertanyakan apakah proses penetapan hukuman sudah sesuai dengan konteks pelaksanaan hukum serupa di jaman Nabi?

Mari kita cermati bersama.

Saya memahami bahwa Aceh berusaha menerapkan Syariat Islam sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut:

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman” (QS Annur:2)
Ayat di atas secara umum menjelaskan hukum bagi orang yang melakukan zina yakni dicambuk sebanyak 100 kali (bagi pelaku yang belum pernah menikah) serta pelaksanaan hukum tersebut disaksikan oleh orang-orang beriman.

Bagi saya, ayat tersebut memunculkan dua pertanyaan dasar:
  1. Bagaimana praktek pelaksanaan hukum bagi pelaku zina di jaman Rasulullah SAW?
  2. Siapa saja yang menyaksikan proses eksekusi tersebut?

Ada banyak rujukan terkait pelaksanaan hukum bagi orang yang berzina,di sini saya ingin mengajukan sebuah dalil alternatif yang mungkin belum diketahui oleh orang banyak. Abu Daud meriwayatkan beberapa hadist terkait hal ini, berikut saya sitirkan:
[Yazid bin Nu'aim bin Hazzal berkata:"Maiz bin Malik adalah seorang anak yatim yang diasuh oleh bapakku. Dan ia pernah berzina dengan seorang budak wanita dari suatu kampung. Bapakku lalu berkata kepadanya, "Datanglah kepada Rasulullah SAW, kabarkan kepada beliau dengan apa yang telah engkau lakukan, semoga saja beliau mau memintakan ampun untukmu."
Demikian itu bapakku (Bapaknya Yazid) menginginkan hal itu agar Maiz mendapatkan jalan keluar, lalu ia bergegas menemui Rasulullah SAW.
(Kepada Rasulullah SAW) Maiz lantas berkata: "Wahai Rasulullah, aku telah berzina, maka laksanakanlah hukum Kitabullah terhadapku!"Beliau berpaling darinya. Maka Maiz mengulangi (perkataan) lagi: "Wahai Rasulullah, aku telah berzina, maka laksanakanlah hukum Kitabullah terhadapku!"
Beliau berpaling. Maiz mengulanginya lagi, "Wahai Rasulullah, aku telah berzina, maka laksanakanlah hukum Kitabullah terhadapku!"
Ia (Maiz) ulangi hal itu hingga empat kali. Rasulullah SAW kemudian bersabda: "Engkau telah mengatakannya hingga empat kali, lalu dengan siapa kamu melakukannya?" Maiz menjawab, "Dengan Fulanah." Beliau bertanya lagi: "Apakah menidurinya?" Maiz menjawab, "Ya." beliau bertanya lagi: "Apakah kamu menyentuhnya?" Maiz menjawab, "Ya." beliau bertanya lagi: "Apakah kamu menyetubuhinya?" Maiz menjawab, "Ya."
Akhirnya Rasulullah SAW memerintahkan untuk merajamnya. Maiz lantas dibawa ke padang pasir, maka ketika ia sedang dirajam dan mulai merasakan sakitnya terkena lemparan batu, ia tidak tahan dan lari dengan kencang. Namun ia bertemu dengan Abdullah bin Unais, orang-orang yang merajam Maiz sudah tidak sanggup lagi (lelah), maka Abdullah mendorongnya dengan tulang unta, ia melempari Maiz dengan tulang tersebut hingga tewas.
Kemudian Abdullah menemui Nabi SAW dan menyebutkan kejadian tersebut, beliau bersabda: "Kenapa kalian tidak membiarkannya, siapa tahu ia bertaubat dan Allah menerima taubatnya] HR Abu Daud.
Hadis tersebut menunjukkan bahwa pangkal pelaksanaan hukum terhadap pelaku zina adalah pengakuan zina dari pelaku. Hal yang perlu diperhatikan adalah sebelum Rasulullah SAW memutuskan hukum tersebut, Rasulullah SAW sempat mengabaikan pengakuan Mu’iz beberapa kali. Mengapa hal ini terjadi?
Dalam hadist lain yang bercerita tentang Maiz bin Malik, dikisahkan bahwa Ia mengakui perbuatannya tersebut kepada Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Akan tetapi keduanya menganjurkan Maiz untuk menutupi aib tersebut dan memintanya untuk bertobat. Karena tidak puas dengan jawaban tersebut, maka Maiz menemui Rasulullah SAW untuk minta disucikan dari dosa yang Ia lakukan.

Hadist berpalingnya Abu Bakar,Umar bin Khattab bahkan Rasulullah SAW dari Maiz menunjukkan bahwa mereka malu atas klaim tersebut. Ucapan mereka agar Maiz bertobat menjadi penguat agar Maiz menyimpan aib tersebut dan bertobat, alih-alih membuka aib tersebut. Hal itu selaras dengan hadist bahwa Allah SWT menutup aib seseorang.

“Setiap umatku dimaafkan kecuali orang yang terang-terangan dalam bermaksiat. Yaitu seseorang yang telah berbuat dosa di malam hari lantas di pagi harinya ia berkata bahwa ia telah berbuat dosa ini dan itu padahal Allah telah menutupi dosanya. Pada malam harinya, Allah telah menutupi aibnya, namun di pagi harinya ia membuka sendiri aib yang telah Allah tutupi.” (HR. Bukhari)

Di titik ini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa:
  • Seseorang yang berdosa telah ditutup aibnya oleh Allah SWT. Ia tak harus membuka aibnya sendiri, lebih baik bertobat.
  • Pangkal pelaksanaan hukum bagi pelaku zina adalah pengakuan

Pada kasus Maiz, Maiz terus memaksa, terjadilah dialog antara Maiz dengan Nabi yang disaksikan oleh para sahabat. Pada dialog tersebut, yang berdasarkan pengakuan Maiz sekaligus paksaan dari Maiz untuk minta dihukum untuk mensucikan dosanya, Nabi meneliti fakta dengan terperinci. Nabi mengecek kesadaran Maiz saat itu, adakah Ia sedang mabuk atau gila. Nabi juga meneliti barangkali Maiz hanya sekedar mencium, meraba atau menyentuh pasangannya.

Bahkan, Rasulullah SAW memastikan dengan pertanyaan apakah saat itu (kemaluanmu) hilang (masuk ke dalam kemaluan perempuan). Maiz menjawab, "Ya." Mendapat jawaban begitu, Rasululah masih bertanya apakah kejadian tersebut seperti pensil celak masuk ke dalam botolnya, dan seperti tali timba masuk ke dalam sumur?" Maiz pun menjawab dengan “Ya”

Apakah setelah kejadian rinci tersebut terkuak sudah cukup untuk Rasulullah SAW menetapkan hukum? Ternyata tidak, sebab dalam hadist di mana beliau memastikan kejadian, Rasulllah SAW juga menanyakan apakah Maiz mengerti zina itu apa yang kemudian dijawab oleh Maiz, "Ya. Aku mendatangi wanita yang haram bagiku layaknya laki-laki yang mendatangi isterinya secara halal."
Setelah kejadian sudah jelas dan pelaku memahami betul bahwa apa yang ia lakukan adalah zina, sudah cukupkah bagi Rasulullah SAW menjatuhkan hukum? Tidak. Setelah menginterogasi Maiz, Rasulullah SAW melanjutkan dengan pertanyaan: "Apa yang kamu inginkan dari jawaban itu?" Maiz menjawab, "Aku ingin agar engkau membersihkan dosaku." Barulah Rasulullah SAW memerintahkan agar Maiz dirajam.

Dari titik ini, kita menemukan kesimpulan lanjutan bahwa:
  • Harus dipastikan betul telah terjadi perbuatan Zina, pelaku melakukan dalam keadaan sadar dan tidak gila serta memahami bahwa yang ia lakukan adalah perbuatan zina.
  • Dasar pelaksanaan hukum bagi pelaku zina adalah permintaan pelaku dalam tujuan membersihkan dosa.


Meninjau hadis-hadis terkait permintaan Maiz untuk dirajam, maka itu juga bermakna bahwa kedudukan Rasulullah SAW saat itu sebagai amirul mukmin minkum (yang memegang perkara di antara orang-orang iman) adalah fasilitator atas pembersihan diri dari dosa. Bukan sebagai pengambil kesimpulan apakah seseorang terbukti bersalah sehingga harus dihukum dengan metode tertentu menurut pendapat amirul mukmin.

Apakah aspek ini sudah diterapkan juga dalam rangka mewujudkan keadilan?

Lanjut ke pertanyaan kedua, siapakah yang menyaksikan eksekusi tersebut?

Saya pernah mendengar sebuah keterangan hadis, yang sayangnya saya cari kembali namun belum ketemu, bahwa pelaksanaan hukuman rajam ataupun cambuk pada jaman Rasululah SAW dilakukan setelah ibadah shalat Jumat. Mohon koreksi dari Anda yang lebih mengetahui hal ini.


Meninjau kondisi pada jaman Rasulullah SAW bahwa jumlah Masjid masih sedikit serta jarak ke Masjid rata-rata tidak dekat, maka biasanya yang melaksanakan shalat jumat hanya lelaki dewasa saja. Sementara perempuan dan anak-anak tinggal di rumah untuk melaksanakan sholat Dhuhur di rumah. Maka, bila dikaitkan dengan pelaksanaan hukum bagi pelaku zina setelah shalat jumat, maka lahirlah kesimpulan ke-4 bahwa yang berhak menyaksikan eksekusi hukuman ini (dalam beberapa hadist  ikut mengeksekusi; ikut melempar batu pada pelaku zina yang diirajam) hanya lelaki iman yang sudah dewasa.

Oleh karena itu, kehadiran anak-anak serta perempuan yang bahkan merekam eksekusi dengan wajah sumringah menurut saya perlu dievaluasi. Semoga agama membuat kita menjadi lebih manusiawi, menjadi rahmatan lil alamin termasuk bagi anak di bawah umur yang secara psikologis tidak pas untuk melihat adegan kekerasan. Meskipun itu bertajuk menegakkan keadilan.


Minggu, 08 April 2018

Tentang Perspektif dan Kemerdekaan Berpikir

Sore tadi tiba-tiba tulisan lawas saya diunggah kembali oleh seorang kawan lama. Kawan yang tulisannya memikat saya. Sempat malu karena di rentang waktu penulisan tersebut, tulisan saya alay dan kualitasnya buruk sekali. Lantas saya baca ulang tulisan tersebut.
Memang terasa betapa payahnya tulisan saya tersebut. Tapi kenangan akan asal-muasal tulisan itu juga kembali hadir. Begitu nyata, begitu hangat. Rasa-rasanya, masih cukup kontekstual dengan masa kini. Rasanya sayang, bila dipendam begitu saja, dengan buruknya tulisan saya dahulu. Maka inilah, reproduksi tulisan tersebut.

***

Pendidikan Indonesia, Pendidikan Mainstream?

Petang ini saya berbagi cerita dengan Ibu. Beliau berkisah tentang cerita masa kecilnya. 

Adalah Uwak, kakak laki-laki Ibu saya. Suatu kali, ia pulang dengan menangis tersedu-sedu. Ombai (nenek dalam bahasa Komering, alias Ibu dari Ibu saya) mencoba bertanya apa yang telah terjadi:
Masih dengan isak tangis, Uwak bercerita:

"Tadi ada tugas menggambar pesawat. Semua teman-teman menggambar pesawat dari samping; ada badan pesawat dan ekornya. Di ujung yang lain, ada moncong pesawat. Semua anak di kelas dapat nilai A, Tapi aku cuma dapat C” 
Ombai mengernyitkan dahi,
“Kenapa bisa begitu?” tanya Ombai
" Ibu Guru bilang tidak paham apa yang kugambar. Padahal, aku kan sudah menggambar pesawat seperti kata Ibu Guru!

Ombai yang masih bingung dengan apa yang terjadi mencoba melihat apa yang digambar Uwak.
Ombai pun tersenyum.

Tahukah kalian apa yang Uwak gambar?
Sebuah lingkaran agak pipih dengan tangkai horizontal disertai baling-baling di kanan-kiri lingkaran-agak-pipih tersebut. Sesuatu serupa jambul nangkring di bagian atas lingkaran-agak-pipih. Ah, jangan lupakan 2 kaki yang bertengger di bawah lingkaran-agak-pipih tersebut.

Uwak menggambar pesawat dari depan, tak seperti anak lain yang 'kompak' menggambar pesawat dari samping.
Tak ada yang memahaminya.

Saya tertawa,
Ibu bercerita tentang tahun 60-an. Saat itu, pesawat adalah sesuatu yang ‘mahal’, bahkan untuk sekedar melihat rupa pesawat secara langsung.
Uwak termasuk beruntung, di usia dini telah beberapa kali berkendara dengan pesawat, sehingga mengenal baik bentuk utuh pesawat.
Berbeda dengan anak lain yang hanya bisa 'meraba' pesawat dari imaji masing-masing, imaji yang linier, tentu saja....

Lalu saya teringat kisah Dosen saya,
“Kemarin, tiba-tiba saya dipanggil oleh sekolah anak saya. Setiba di sana, anak saya sedang menangis tersedu-sedu.
Seorang guru di sana mencoba menjelaskan bahwa anak saya, konon telah menggambar hal tak senonoh. Saking tak senonohnya, sang Guru kesenian pun marah” demikian beliau membuka kisah.

“Saya bingung. Tak lama berselang, si Guru kesenian masuk. Mukanya masih merah. Entah apa yang terjadi. Yang jelas masih muda” kata beliau melanjutkan. 

Mendengar kata ‘gambar tak senonoh’, dengan konteks anak dosen kami masih duduk di sekolah dasar, kami pun ikut mengernyit.

“Ora tedeng aling-aling, guru tadi bilang begini:
[Maaf, Anak Ibu sangat keterlaluan. Baru umur segini,... (ia tidak meneruskan kata-katanya),
dia menggambar ... (si guru tidak meneruskan kata-katanya),... ini]
Guru muda itu pun menunjukkan sesuatu ke saya” lanjut dosen saya dengan ritme lebih pelan.

“Kemudian saya amati gambar tersebut. Dua buah lingkaran besar warna coklat kehijauan, hampir tak beraturan, berjejer. Sebuah lingkaran yang jauh lebih kecil, hampir berada di tengah masing-masing lingkaran besar. Bentuknya tak beraturan juga, berwarna kehitaman. Gambar apa ini?”

Kami yang sekedar mendengar cerita dari dosen kami pun ikut membayangkan.

"Saya tanya ke si guru kesenian, gambar apa ini? Kalian mau tahu jawaban dia?
[Tanyakan saja pada anak Ibu, yang jelas, perintah saya adalah menggambar gunung!] kata si guru muda ketus"

"Saya bingung", kata Dosen saya saat bercerita,

"Kemudian saya memutuskan untuk bertanya pada anak saya" kata dosen saya melanjutkan.
“[Adik, bu Guru kan minta Adik gambar Gunung? yang Adik gambar ini apa?]

[Adik udah bikin gambar seperti yang Bu Guru minta Ma, Adik ‘kan gambar Gunung Merapi Merbabu seperti yang Mama kasih tunjuk dari pesawat kemarin....] begitu kata anak saya” Kali ini, dosen saya bercerita dengan lirih.

Dosen saya menghela nafas panjang, perlahan Ia menatap seluruh kelas. Kelas menjadi senyap, hingga Ia melanjutkan kata-katanya;
“Tahukah kalian, di samping gambar anak saya, ada tumpukan gambar anak lain tersusun rapi.
Semua seragam. Dua pasang kerucut, dengan matahari di tengahnya. Ada awan, Ada burung beterbangan, ada sawah di kaki kerucut. Ada jalan yang 'muncul' dari antara 2 kerucut: melengkung meliuk, beberapa dengan rumah-rumahan dan orang-orangan sawah, kontras dengan gambar anak saya"

***
Uwak dan anak dosen saya bukan satu-satunya yang mendapat masalah terkait perspektif. Apakah guru mereka 'salah'? Tidak juga. Bagi saya,kedua guru tersebut sekadar terpasung oleh perspektif mereka. Secuil perspektif yang tak jua dikonfirmasi ke para murid mereka: uwak saya dan anak dosen saya. Padahal, seandainya mau,mereka bisa bertanya baiik-baik: gambar apa ini?. Lebih disayangkan, mereka adalah pemegang kekuasaan atas 'nilai' di kelas. Nilai yang diputuskan tanpa negosiasi.

Saya percaya anda semua yang membaca tulisan saya, punya perspektif yang lebih luas daripada gambaran pesawat dari samping saja, atau gunung dari bawah saja.  Tapi tak dengan kedua guru di cerita di atas. Cerita yang sungguh-sungguh nyata ada di Indonesia.
Di belahan kehidupan lain, entah berapa banyak sudut pandang yang dibatasi oleh pengalaman dan pengetahuan. Akankah kita sadar bahwa yang apa yang kita sebut kebenaran ini dibatasi oleh batas-batas kemampuan diri? Akankah kita belajar untuk terus meluaskan ilmu dan sudut pandang kita saat menemui hal baru? Akankah kita mampu, mau atau bisa menerima perspektif lain?

Semua, terserah anda.

Yang jelas, cita-cita saya sederhana; saya ingin suatu saat nanti, di kelas-kelas belajar kita, anak-anak bangsa menggambar pemandangan pegunungan dengan perspektif yang begitu beragam. Saya ingin, kelas-kelas kita menjadi kelas yang merdeka. Membebaskan anak-anak bangsa dari segala doktrin yang meracuni dan membatasi pikiran mereka. Semoga mimpi saya tak ketinggian.

Tabik.