Sabtu, 10 September 2016

Pengorbanan, memaknai Idul Adha di Tepian Negeri yang Terlupakan


Tersebutlah kisah Nabi Ibrahim AS yang mendapat perintah dari Tuhan YME untuk menyembelih putra kesayangannya: Ismail. Anak yang telah ditunggu-tunggu kehadirannya dalam waktu yang tak sedikit, bahkan harus langsung ditinggal berdakwah hanya dengan bekal sekantung air. Yang lebih mengejutkan, detik-detik ketika Ibrahim mulai merasa ragu untuk mengerjakan firrman Tuhan, Ismail sang putra tercinta justru menguatkan Ayahandanya:

"Bapa, jika (telah) diperintahkan padamu untuk mempersembahkan diriku kepada Tuhan, niscaya aku rela. Tutuplah matamu,dan akan kututup mataku, agar kautak merasa sedih"

Ribuan tahun kemudian, tersebutlah sekumpulan anak muda masa kini. Cerdas, Tangkas, dan sarat akan gaya kekinian. Tapi semua itu tak menyurutkan cita mereka untuk terbang melintasi nusantara, mengabdi di Bumi Duan Lolat, merajut perubahan dari tepian negeri.

Aku menyebut mereka Pejuang Perubahan. Mereka hadir bukan untuk menjadi matahari kedua, ketiga, keempat. Mereka tidak datang dengan kilauan cahaya. Mereka hadir dari tekad sederhana berbagi harapan. Bersama-sama belajar memanusiakan manusia lewat pendidikan. Bersama-sama menenun bhineka dalam pelukan pertiwi yang terlupakan.

Sebagian dari mereka terbang melintasi nyaris sepanjang negeri, dari pulau Sumatera ke Kepulauan Tanimbar. Sebagian yang lain melepaskan hiruk pikuk Ibukota negara, menuju kesunyian Maluku Tenggara Barat. Sebagian lain bergeming dari kesempatan karir cemerlang berlimpah materi demi ikut membayar janji bangsa: Ikut mencerdaskan anak bangsa.

Sebagian itu, mereka akan segera berjumpa hari raya Idul Adha. Hari dimana biasanya mereka berkumpul dengan keluarga, bercanda ria dengan sanak famili, bersenda gurau dengan yang terkasih. Tapi di hari itu, beberapa hari dari penugasan mereka ke daerah tugas masing-masing, sebagian Pejuang Perubahan ini merelakan hingar-bingar perayaan untuk berada bersama keluarga barudi desa masing-masing. Melepaskan hak merayakan hari besar agama untuk tugas kerelawanan bertajuk Pejuang Perubahan.

Di antara haru yang menyeruak,sungguh hanya doa yang bisa kupanjatkan; "Tuhan, mereka mungkin tak mempersembahkan Kambing,Domba, Sapi, Kerbau terbaik yang bisa disembelih. Tapi lihatlah upadaya mereka, Tuhan. Telah mereka persembahkan waktu sakral ini untuk Bangsa, dari tepian negeri yang terlupakan.Tuhan, pada tangan mereka nasib bangsa kami titipkan, pada peluh mereka harapan kami hidupkan. Terimalah pengorbanan ini, amin"

Kamis, 30 Juni 2016

Adil (?)

Adil,  sebuah kata yang meski telah jelas dan gamblang definisinya di Kamus Besar Bahasa Indonesia, namun tetap saja meninggalkan jejak ragu. Realita selalu tak segampang teori. Tindakan tak sesederhana cita. Dibalik sebuah laku, kadang ada embel-embel yang mengikuti. Apakah Adil itu? Sudahkah kita bersikap adil?

Beberapa hari ini saya banyak merenungi interaksi dengan kawan-kawan di social media. Hiruk pikuknya tiba-tiba terasa berbeda. Ada nuansa yang semakin nampak. Hampir di setiap komunitas, kita mengenal tipe sanguin, mereka yang sangat menyenangkan dan menarik. Di sosial media tak jauh berbeda. Apapun yang mereka lontarkan selalu menarik untuk dibahas, dikomentari. Ada pula tipe Koleris, kata-katanya, bahkan meski berniat membanyol, tetap terasa agak gimana gitu. Rasanya sulit berinteraksi dengan situasi santai dengan tipe ini. Belum lagi si melankolis yang mendayu-dayu ini. Kalau bahasan merembet ke feeling, merekalah yang paling baper.  Yang paling tenang adalah si plegmatis. Mereka lebih banyak menjadi silent reader, hanya muncul sesekali.

Eh, tapi apa hubungannya dengan Adil?

Seorang teman melankolis suatu saat curhat dengan saya, betapa dia merasa terasing dari komunitas kami. Saat golongan tertentu bicara, meski hal yang remeh, tanggapan bersahutan. Giliran dia bertanya sesuatu.... no answer. Tak seorang pun menjawabnya. Dicurhati begitu, saya sedikit merasa tersindir juga. Bagaimanapun, kami ada di beberapa komunitas yang sama. Sambil meminta maaf karena tak sempat menanggapi di grup, saya mencoba menenangkan dia dengan beberapa presume, barangkali teman-teman sedang sibuk.

Bukan sekali-dua kali kejadian ini terjadi, melainkan beberapa kali oleh orang yang berbeda-beda. Kadang dengan derai air mata (serius, ini biasanya terjadi pada tipe melankolis yang merasa diabaikan), atau dengan canda sarkastik khas koleris. Saya sendiri tak hanya kadang, bahkan sering merasa begitu. Tapi yasudahlah... buat apa diratapi :’)

Kembali tentang ‘adil’. Bila meninjau definisi ‘adil’ menurut KBBI, bahwa adil adalah sama berat; tidak berat sebelah; tidak memihak, maka bila diimplementasikan dalam sebuah interaksi, adil bisa dipahami  sebagai hubungan dua arah. Kedua pihak secara resiprok mengusahakan interaksi yang seimbang. Interaksi yang adil adalah interaksi yang saling memberi dan menerima, saling memberikan respon.

Di era serba digital, dimana komunikasi telah menjadi sesuatu yang murah, ternyata harga respon semakin mahal. Berapa dari sekian banyak anggota komunitas yang secara aktifmengucapkan terima kasih pada rekan yang telah berbagi? Berapa dari sekian banyak anggota yang menanggapi pertanyaan teman meski sekedar ‘maaf,saya tidak tahu’? Berapa dari sekian banyak anggota yang bertegur sapa secara aktif. Bukankah dulu saat di sekolah, Guru membiasakan kita, seluruh siswa, tanpa bertanya mana yang sanguinis, mana yang koleris melankolis plegmatis, untuk mengucapkan salam?

Saya sendiri masih harus (banyak) mengevaluasi diri. Jika ingin dihargai, mari menghargai yang lain. Adil sejak dari pikiran.

Ditulis dengan kegelisahan,
Saumlaki, 1 Juli 2016.
Atina Handayani

Sabtu, 21 Mei 2016

Tentang VanVin alias Chappy

Halo Kakak-kakak #SahabatMpus semua,dimana pun kakak berada,kapan pun dan bagaimana pun keadaannya, semoga selalu dalam berkah.
Perkenalkan,namaku Vanvin, aliasChappy. Umurkusekitar 4 bulan, Aku ditemukan oleh Kakak HunZ di sebuah toko ritel di dekat tempat wisata air di bilangan maguwoharjo. Kakak HunZ menemukanku berada di dalam selokan, dengan kondisi tubuh bagian pinggang ke bawah tak bisa kugerakkan. Karena Kakak HunZ harus bekerja,dibawalah aku ke tempat kakak HunZ bekerja sambil memanggil dokter hewan on call. Sayangnya tidak ada respon.
Kemudian,kebetulan Kakak HunZ sedang memantau media sosialnya, Kakak HunZ melihat informasi bahwa Kakak Atina baru saja berduka atas kepergian Adik Mpus. Lantas Kakak HunZ segera menghubungi Kakak Atina. Kakak Atina pun datang menemui Vanvin. Kakak Atina, Kakak Enad dan Vanvin pun segera meluncur ke RSH FKH UGM. Di sana Vanvin langsung mendapat pertolongan dari Drh. Dwi Cahya. Karena Vanvin mengalami dehidrasi berat, maka Vanvin langsung diinfus. Kakak Atina bercerita kepada drh. Dwi Cahya tentang kronologis penemuan Vanvin, serta kondisi Vanvin yang tidak makan-minum apapun sejak ditemukan meski telah disediakan oleh Kakak HunZ. Kakak HunZ sempat memaksakan vitamin tetes untuk Vanvin alias Chappy. Vanvin juga tidak buang air besar / kecil sejak ditemukan oleh Kakak HunZ.
Berdasarkan diagnosis awal drh. Dwi Cahya, dilihat dari memar besar di perut bagian dalam Vanvin serta dislokasi di lutut kiri Vanvin, kemungkinan Vanvin ditabrak kendaraan bermotor. Drh menyarankan Vanvin untuk distabilkan dulu kondisinya selama +- 4 hari,baru dironsen, lalu diikuti tindakan lain.
Maka mulai Rabu sore itu, 18 Mei 2016, Vanvin resmi dirawat inap di RSH FKH UGM. Esok siangnya, Kamis 19 Mei 2016, Kakak Atina menjenguk vanvin, Vanvin senang sekali,... Vanvin sudah sangat ingin berjalan-jalan kembali. Meski menurut perawat Vanvin belum mau makan, tapi setidaknya kondisi vanvin tidak memburuk.
Sore harinya, Kakak Firdha menjenguk Vanvin, tapi Vanvin tidak bergerak! Kakak Virdha memanggil dokter dan langsung menindak Vanvin dengan pacu jantung. Sayang sekali,Vanvin akhirnya menyusul Mpus.
Terima kasih banyak atas bantuan doa,dukungan, semangat dan kiriman energi untuk Vanvin dari kakak-kakak semua. Semoga diganti dengan yang jauh lebih baik.
Adapun total biaya perawatan Vanvin adalah Rp. 240.100 -,
Sedangkan saldo donasi #SahabatMpus adalah Rp. 6.246.201 -, sehingga saldo Donasi #SahabatMpus adalah Rp. 6.006.101 -,

Terima Kasih Banyak Kakak-kakak, mari selamatkan kawan-kawan mpus yang lain 

Selasa, 17 Mei 2016

Laporan Pertanggung Jawaban #SaveKucingMasjidPogung

Selamat siang kakak-kakak semua,

Teriring terima kasih banyak atas segala dukungan untuk Mpus yang diduga tertembak senapan Angin.

Setelah tiga hari yang penuh drama dan haru, yakni sejak senin pagi ditemukan lemas oleh rekan-rekan masjid Pogung, lalu bertemu dengan saya, menuju Klinik Kuningan yang ternyata tutup, hingga perjuangan di ruang intensif RSH FKH UGM; akhirnya Mpus menghembuskan nafas terakhirnya pukul 21:10 WIB karena komplikasi gangguan pernafasan akibat hernia diafragma dan lubang di abdomen yang melubangi lambung (perferasi gastrium) sehingga menimbulkan akumulasi gas dan peritonitis (terlampir surat keterangan kematian dari RSH FKH UGM)

Terima kasih atas segala doa,
terima kasih atas segala kiriman energi reiki untuk mpus,
Terima kasih untuk segala donasi untuk mpus dari: Kakak Ika M, Kakak Dama, Kakak Anisa, Kakak Bea, Kakak Ryan, Kakak Aktari, Mrs. M, Kakak Annirahmah, Kakak Ringgo Y, Kakak Hasan, Kakak Belinda, Kakak Sheila, serta kakak-kakak lain yang tidak menyebutkan nama. Semoga diberi ganti yang jauh lebih baik dan barokah dari Tuhan.

Tak lupa Kakak Calon Dokter Hewan Dani dan rekan-rekan yang telah menanganimpuss sepenuh hati di Klinik Kuningan, drh. Kurnia dan rekan-rekan di RSH FKH UGM yang telah berjuang semaksimal mungkin, Kakak Tari yang telah menyediakan diri untuk merawat mpuss bila selesai perawatan, serta Kakak Firdha yang telah menemani Kakak Atina mengambil jenazah mpuss di RSH FKH UGM.
Donasi yang terkumpul hingga Rabu, 18 Mei 2016 pukul 12:00WIB berjumlah Rp. 5.920.001-,
Adapun pengeluaran yang dilakukan adala:
Biaya RSH FKH UGM sebesar Rp. 263.800 -,
Serta aktivasi +biaya sms banking agar ada notifikasi di nomor saya untuk setiap donasi dari kakak sekalian sejumlah Rp. 100.000.
Sehingga total biaya yang dikeluarkan adalah Rp. 363.800.

Kelebihan dana donasi adalah Rp. 5.920.001 – Rp. 363.800 = Rp. 5.556.201 -,

Sungguh rangkaian partisipasi yang luar biasa dari kakak-kakak sekalian untuk mpus.
Bahkan tengah malam lalu saya telah menyampaikan kondisi terkini mpus, donasi terus mengalir.

Setelah menerima masukan dari berbagai pihak,
dengan dukungan penuh seorang kawan yang merasa menjadi saksi mata kejadian, insya Allah usaha #SaveKucingMasjidPogung tidak akan berhenti. Usaha medis telah dilakukan, saat ini saya dan teman-teman sedang menyusun materi Kampanye penggunaan Senapan Angin yang sesuai ketentuan.

Sebab menurut saksi mata, mpus terlihat segar terakhir saat dibawa-bawa oleh dua anak kecil usia SD yang membawa-bawa senapan angin. Tak lama kemudia, ada suara tembakan, dan mpus tidak terlihat. Mpus kembali muncul pada senin pagi dengan kondisi lemas. Hal ini dikuatkan oleh bentuk luka bulat, dalam, rapi seperti liang serta hasil ronsen yang membenarkan adanya peluru karet di dalam badan.

Teman lain juga menyampaikan bahwa di daerah itu ternyata sering terjadi kasus penembakan kucing. Bahkan, adik saya yang sekarang kelas 2 SMP pernah ditembak lehernya dengan senapan angin oleh temannya sendiri karena dianggap mainan dulu saat di kelas bawah Sekolah Dasar.
Saya kira ini adalah sinyalemen penggunaan senapan angin yang benar-benar tidak sesuai ketentuan. Sebab mendapatkan lisensi menembak harus memiliki KTP terlebih dahulu, telah mengikuti klub menembak,dsb.

Tentu saja tidak menutup kemungkinan donasi yang terkumpul disalurkan ke kucing liar lain yang bernasib malang. Semoga menjadi berkah, amin.


Selamat Tinggal Mpus..

Dear rekan-rekan seperjuangan #SaveKucingMasjidPogung,

Terima kasih banyak untuk dukungan untuk mpus, yang bahkan belum bernama.

Dengan dukungan rekan-rekan semua (Kata Bu Dokter, Mpus merasakan dukungan dari kakak untuknya sampai titik penghabisan) Mpus terus berjuang.

Setelah ditangani oleh kakak-kakak Dokter hewan di Klinik Hewan UGM di kuningan, ternyata lukanya lebih serius dari yang terlihat.
Mpus dirujuk ke Rumah Sakit Hewan Dr Soeparwi, Fakultas Kedokteran Hewan UGM.

Di sana mpus dironsen, dan telah dijadwalkan akan operasi penjahitan dinding perut, lambung dan diafragma pada keesokan harinya, Rabu 18 Mei 2016 pukul 10.00 WIB.

Mpus cukup tenang pada sore hari sebelum ditinggal Kakak Atina.

Lalu malam ini, mpus berjuang sepenuh tenaga...

Pukul 20:39 WIB, pihak RSH menelepon Kakak Atina untuk menyampaikan bahwa Mpus sedang berjuang melewati masa Kritis, sekaligus mohon persetujuan tindakan pacu jantung dan bantuan oksigen.

Mpus dipacu jantung dan dibantu Oksigen, semua berkat dukungan kakak-kakak sekalian.

Stelah perjuangan yang luar biasa, dua puluh tiga menit yang lalu: pukul 22:22 WIB, Dokter kembali menelepon Kakak Atina, menyampaikan bahwa Mpus telah berjuang keras melewati masa kritis. Sekeras perjuangan dokter dan tim untuk memperjuangkan kehidupan bagi mpus.

Tapi ternyata Tuhan punya rencana yang lebih indah untuk Mpus,
Ia jemput mpus di antara perjuangan kerasnya, di antara doa kuat yang mengalir dari Kakak-kakak,di antara peluh Tim Dokter...

Mpus insya Allah tenang disisiNya, kata Bu Dokter.

Kata seorang kawan Kakak Atina,
Mpus telah membuktikan bahwa nyawa, sekecil apapun,layak diperjuangkan hingga titik darah penghabisan.

Terima kasih atas segala doa,
terima kasih atas segala kiriman energi reiki untuk mpus,
Terima kasih untuk segala donasi untuk mpus,
Insya Allah Mpus sudah tersenyum di sana.

P.S:
Kronologis perawatan Mpus akan diberikan Dokter esok saat RSH sudah buka, sekaligus menjemput jenazah Mpus.
Donasi sampai Selasa malam terkumpul Rp. 4.770.001
Insya Allah akan digunakan untuk melunasi biaya perawatan Mpus,
Lebihnya (yang pasti akan sangat banyak) akan disumbangkan ke lembaga yang mendedikasikan diri ke perawatan kucing liar.
adakah referensi?

#SaveKucingMasjidPogung

Dear Teman-teman,
Mohon bantuan untuk kucing malang ini serta bantuan untuk mengeshare agar jadi pelajaran bersama.

((Edit Rabu Pagi, 18 Mei 2016: semalam mpus tidak bertahan, kronologi Silahkan Cek update tulisan))

Kronologi:
Senin sore ditemukan di pelataran masjid daerah Pogung Lor, kondisi berbaring lemas, dikira kelaparan, ternyata ada luka semacam bisul bernanah di perut besar sekali, tidak mau makan / minum.
Mau dibawa ke klinik hewan kuningan, tapi sudah tutup.
Penanganan awal: disuap susu dengan pipet, tidak mau.

Selasa siang #Kucing Masjid Pogung dibawa ke klinik hewan kuningan, dikeluarkan nanahnya, terbukalah lubang sebesar kelingking, mengeluarkan cairan lambung beserta susu yang sejak malam disuap-paksakan.
Klinik hewan kuningan tidak sanggup menangani. Dirujuk ke RSH FKH UGM karena di sana bisa ronsen dan bisa operasi.

Di RSH FKH UGM dironsen,
hasil:
positif ada peluru yang sudah berpindah ke kaki (tidak masalah sekarang, tidak harus diambil)
Luka tembak menyobek:
1.       Dinding perut (menyebabkan udara masuk ke rongga perut)
2.       Diafragma à nama kasus hernia diafragma (organ perut naik ke rongga dada, menghimpit rongga dada, kucing kesulitan bernapas, merendam paru)
3.       Lambung (cairan lambung keluar ke rongga perut – jika dibiarkan jadi infeksi perut. Di sisi lain, udara juga masuk ke dalam lambung à dilatasi lambung)

Kondisi saat ini lemah, dehidrasi berat, tidak bisa lagsung ditindak.
penanganan sementara diinfus, diberi obat penguat otot paru agar kuat napas melalui infus, baru bisa dioperasi besoknya (Rabu)

Ada jadwal operasi besok Rabu 18 Mei 2016 pukul 10.00 WIB
bila setuju operasi, maksimal jam 9 sudah kasih persetujuan operasi + bayar DP.
Perkiraan biaya ke depan:
Operasi +- Rp. 1.500.000
Opname untuk pemulihan +- 1 minggu (Rp. 50.000/day) = Rp.500.000
Berarti kira-kira akan perlu 2 jutaan.
Biaya yang sudah dikeluarkan: Ronsen, infus, periksa, DP rawat inap dsb (Rp.300.000)

menurut dokter,hari ini sampai besok adalah masa kritis #KucingBR, bisa saja sebelum operasi sudah tidak terselamatkan.
Bila operasi berhasil, harus pemulihan sampai bisa makan normal.

Catatan penting:
Total biaya besar gaess,
tadi setelah dikeluarin nanahnya, dia agak legaan dikit, tapi secara medis bukan jaminan dia akan survive, karena menurut dokter, ini kasus sangat berat dan kompleks.
Kondisi sekarang sama sekali tidak bisa makan-minum karena lambung bolong.


Catatan maha penting:
Tingkat keberhasilan operasi diafragma hanya +- 10% gaes...

Jika dirasa berat,
(chance kecil, biaya besar)
maka alternatifnya adalah disuntik mati saja...

Tapi kalau mau coba sak pol kemampuan,

Setidaknya kita sudah mencoba melakukan yang terbaik yan bisa kita lakukan...

Selasa, 05 April 2016

Kekinian, kenapa tidak?

Kekinian, Kenapa Tidak?

 

Pagi tadi sebuah akun ig sekumpulan anak muda yang menyebut diri mereka ‘Remaja Masjid’ mengangkat sebuah topik menarik. Diinisiasi oleh sebuah pertanyaan tentang bagaimana mengingatkan teman yang ‘kekinian berlebihan’, akun ini mencoba berbagi pandangan tentang menjadi kekinian dari sudut pandang agama.

Di sisi lain, tidak bisa dipungkiri bahwa eksistensi (baca: self actualization) adalah salah satu dari lima kebutuhan dasar menurut Maslow. Maka, di era serba digital ini, media sosial laris manis bak kacang goreng jadi ajang mencari eksistensi diri. Tren kekinian adalah hal yang tak terhindarkan. Bahkan, kegiatan ekonomi telah merambah dunia serba digital yang membuat kita mau tidak mau terlibat dalam dunia maya.

Menyikapi fenomena ini dengan berbagai pendekatan, termasuk pendekatan agama, merupakan hal yang lumrah. Tapi di era banjir digital ini, dan di tengah masa pencarian jati diri para remaja, apakah pendekatan agama ini efektif?

Barangkali, yang kita butuhkan justru pembukaan ruang sebesar-besarnya bagi rekan-rekan Remaja Masjid untuk mewujudkan eksistensi dirinya, yang sesuai dengan tuntunan yang berlaku. Berikan apresiasi pada ketertarikan remaja masa kini sambil mendampingi mereka agar tetap dalam koridor yang telah ditentukan. Mana tau dari ruang ekspresi ini lahir fotografer kawakan yang nantinya bisa support acara-acara Remaja Masjid?

Yang perlu diingat adalah tadi, sesuai dengan koridor. Maka, daripada kita fokus pada preseden buruk, kenapa gak kita fokus pada contoh baiknya seperti apa. Mari kita bekali para remaja masa kini tak hanya dengan gadget mewah sebagai alat penyalur hobi mereka, tapi juga tata cara, etika dan tanggung jawab lain dalam berkarya.

 Analoginya, kenapa harus ribut daging babi itu haram, sedangkan yang halal dimakan itu (luar biasa) banyak? Kenapa harus fokus pada akun sebelah yang dirasa tidak syar’i, sedangkan banyak akun tetangga yang kontennya baik, bagus, dan sesuai tuntunan agama, yang bisa dijadikan contoh dalam berkarya yang ‘sesuai koridor’.

Pendekatan ini,sesuai dengan prinsip pendidikan adalah proses perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Fokus pada perubahan perilaku yang lebih baik dengan mengapresiasi setiap hal baik yang ada. Ketika terus menerus mendorong perilaku baik sampai menjadi kebiasaan, maka di situlah esensi pendidikan terwujud.

Otak kita cenderung menangkap repetisi kata kerja, bukan negasi yang dikenakan pada kata kerja. Berkali-kali mengucapkan ‘jangan lihat’ hanya akan membuat orang tergoda untuk melihat. Daripada menekankan jangan begini- jangan begitu, lebih baik mari ini dan itu.

So, menjadi kekinian, kenapa tidak?

Jumat, 01 April 2016

Sosmed, Foto dan Nama

Dalam jangka waktu seminggu ini saya terpancing membuat kultwit dengan tagar #PP (Profile Picture) dan #ProfileName di dua momen yang berbeda. Tagar pertama, yaitu tentang Profile Picture saya buat karena akhir-akhir ini muncul nomor baru menghubungi saya via WA. Sudah ujug-ujug nanya mbak bisa bantuin begini begitu tidak, tanpa menyebut nama, eh fotonya juga tidak membantu untuk mengenali ‘siapakah dia?’.

Beberapa minggu sebelumnya, adik saya sendiri sempat mengganti foto profil linenya dengan foto kedua orang tua kami. Lucu gak sih kalau di dalam grup line yang isinya anak-anak muda, tetiba nongol foto bapak-bapak sekaligus emak-emak di deretan foto anggota grup di bagian atas jendela?

Lalu siang ini, saat sedang diskusi di sebuah grup, sebuah akun dengan smile di #ProfileName-nya ikutan nimbrung. Diskusi langsung petjah dengan pertanyaan: "Siapa kamuuuuu?". Anda mungkin pernah mengalami hal serupa. Masuk ke sebuah grup yg belum semua anggotanya kita kenal (apalagi kita simpan kontaknya di gawai kita dengan nama ala kita), lalu saat ngecek ke anggota grup, ada simbol-simbol, ikon atau karakternya tak terbaca yang membuat kita tak bisa mengenali pemilik sebuah akun.
Pas nengok foto profilnya pun gak membantu~~~

Terlepas dari lucu atau enggaknya, seperti saya ulas di kultwit, foto dan nama profil adalah bagian dari identitas akun anda. Kedua hal tersebut, jija digunakan dengan tepat akan membantu orang lain untuk ‘mengenali’ anda. Sebab, modalitas (kemampuan menyerap informasi, termasuk mengingat) seseorang bervariasi. Ada yang pendekatannya Visual, yakni dengan mengingat wajah / postur tubuh seseorang. Ada pula yang pendekatan paling efektifnya adalah Audio, misalnya dengan bunyi nama seseorang. Ada juga yang mengingat seseorang dengan pendekatan kinestetik, misalnya mengingat momen / kegiatan penting yang pernah dialami.

Umumnya, akun sosmed memberikan 3 ruang untuk mendeskripsikan ketiga hal tersebut di atas. Gunakan nama yang proper agar teman kita dengan modalitas audio mudah mengingat kita. Begitu pula dengan Profil Picture kita. Menggunakan foto yang sesuai akan sangat membantu orang lain mengenali kita. Bila perlu, tuliskan hal yang lekat dengan pribadi kita di biografi untuk membantu orang lain mendefinisikan ‘yang seperti apa’ kita itu.

Jadi sodara-sodara, mari gunakan #ProfilePicture, #ProfileName dan Bio yang tepat yuk J

~@kata_atina sebuah akun yang seringkali gelisah membaca tanda-tanda alam

Selasa, 29 Maret 2016

Generasi Stiker


Belakangan, telepon genggam pintar saya lebih sering mengeluarkan notifikasi. Sebab terhitung dua minggu ke belakang, perangkat saya mendadak terpasang berbagai akun media sosial kekinian. Lebih kini dari akun Whatssap yang telah saya gunakan sejak 2014. Awalnya saya bersikukuh tidak menambah jumlah aplikasi. Saya toh pengguna aktif Facebook dan twitter. Ditambah dengan blog yang baru akhir-akhir ini kembali saya isi, keempat aplikasi tersebut dirasa cukup mewadahi segala aspirasi dan inspirasi saya.

Adalah adik ke delapan alias anak ke sepuluh keluarga kami lah yang memasang LINE di perangkat saya, diikuti instagram, skype dan blogger mobile. Dan benar saja, hari demi hari berikutnya, telepon genggam saya menjadi ‘berisik’. Sejujurnya, hal ini yang sebelumnya membuat saya enggan menambah jumlah akun media sosial di samping media yang sudah saya punya sejak dulu sudah cukup memberi ruang bagi orang di sekitar saya untuk berkomunikasi dengan saya.

Masih dalam mode penyesuaian, beberapa kejadian menarik membuat saya berpikir keras. Saya yang lebih terbiasa menulis di kertas, kemudian dibanjiri postingan panjang di akun sosial media. Bukan berarti di akun terdahulu, WA, tidak ada. Ada, tapi tak sebanyak dan tak seekstrim akun yang baru saat ini, dimana pengguna tak hanya bisa sekadar berbalas pesan pribadi, tapi juga berdiskusi di grup, bahkan mempublikasikan unggahan terkini di linimasa.

Di suatu momen, salah seorang anggota grup yang berisi anak muda menyampaikan aspirasinya. Aspirasi yang diinisiasi oleh kekecewaan. Bahasanya memang cenderung keras. Maklum lah, namanya juga anak muda, kecewa pula penyebabnya. Sudah dapat diduga, reaksi negatif bermunculan.

Momen ini mengingatkan tentang betapa pentingnya menyaring sebuah informasi. Melepas bungkus dan tendensi penyampaian, fokus pada inti bahasan.
Kita tidak bisa mencegah orang lain melibatkan emosi dalam setiap percakapan daring mereka. Yang bisa kita lakukan sebagai manusia yang berusaha menjadi waras adalah berusaha objektif, mencoba menangkap inti bahasan, bahkan hikmahnya.

Kembali ke topik bahasan tentang menanggapi. Selain tanggapan negatif yang muncul, ada juga sih yang berusaha netral. Tapi kebanyakan ‘menanggapi’ dengan mengirim stiker. Tak hanya di momen penyampaian aspirasi ini. Kebanyakan interaksi di media sosial tersebut berupa stiker. Semacam mengasosiasikan situasi / pendapat / sikap terkini ke stiker. Kalau orang dulu berusaha mencoba mengejawantahkan ekspresinya dalam rangkaian kata-kata, itu juga kadang deg-deg pyar, takut salah pilih kata, sekarang ekspresi itu disimbolkan dengan stiker.

Saya termasuk yang percaya bahwa ekspresi manusia adalah hal yang kompleks. Sebuah ekspresi yang paling sederhana saja, bisa diwujudkan dalam deretan kata yang amat panjang, bahkan bisa jadi novel, itu pun belum menggambarkan keseluruhan ekspresi. Di sinilah kelebihan para penulis ‘dewa’. Mereka mampu menarasikan sebuah ekspresi mencapai tingkat detil yang melebihi rata-rata manusia lain. So, kita para pembacanya, berani membayar ‘harga’ sebuah karya demi membaca kekayaan imaji sang penulis.

Mereka yang ingin menjadi penulis handal, praktis menghadapi tantangan yang sama. Mengembangkan imajinasi, merupakan dalam diksi, merangkai kata menjadi sebuah kalimat yang logis, dan voila, mewujud jadi sebuah keutuhan ekspresi.

Sekarang, tren yang berkembang justru kebalikannya. Merupakan kompleksitas ekspresi dalam sebuah simbol bernama stiker. Kan stikernya macem-macem? Oh ya, macem-macem. Tapi ingat, manusia itu unik. Ekspresi pembuat stiker dengan orang lain pasti berbeda. Sama-sama senang, kalau diambil persentasenya, pasti beda. Belum bicara tentang latar, kontradiksinya (senang sih, tapi...) dan lain sebagainya.

Yang paling saya khawatirkan adalah pergeseran kecenderungan, pergeseran kebiasaan, hingga nantinya pergeseran karakter. Dari karakter mengembangkan, memperjelas, mendetilkan sesuatu menjadi menyederhanakan, menyamakan dan menyamaratakan.

Sekarang mungkin hanya tentang ekspresi, ke depan barangkali hal lain. Mau ini, mau itu, pengennya yang gampang, gak mau yang susah. Dibuat mudah sajalah. Anti-ribet dalam konteks yang sesungguhnya.

Kalau dalam konteks komunikasinya kita lebih terbiasa menyimbolkan segala sesuatu, wajarlah bila kemampuan memilih kata yang pas menjadi semakin jauh dari generasi sekarang.
Generasi sekarang lebih ahli memadankan stiker 'yang sesuai' dibanding menjelaskan dengan tepat sasaran.

Am I wrong?

Sabtu, 26 Maret 2016

Cerita Bapak Ojek Daring

Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan untuk berbincang dengan seorang driver ojek daring yang menurut saya cukup menarik. Baru bergabung selama kurang lebih 6 bulan telah memberikan banyak cerita bagi beliau. Setiap hari Ia berangkat mulai pukul 6 pagi, dimulai dengan mengambil order yang paling dekat dengan tempat tinggalnya, dan berakhir sekitar pukul 10 malam dengan rute yang mendekati kediamannya. Dalam sehari beliau biasa mengambil 8 – 10 order.

Saya sempat tertegun mendengar cerita beliau. Pernah terlintas di pikiran saya bahwa keuntungan seorang driver ojek tak lebih dari sekedar produk efisiensi sebuah sistem berteknologi mutakhir. Hingga saya berkesempatan berbincang dengan beliau. Saat itu adalah hari libur sehingga order tidak seramai biasanya. Pun Ia sudah mengumpulkan 8 order sore itu. Ditanya tentang rute yang sering beliau ambil, beliau lebih banyak mengambil rute jarak pendek. Sebab, minimal payment ojek daring ini berlaku untuk jarak maksimal 10 km. Sedangkan pada hari libur, beliau cenderung mengambil rute jauh karena kuantitas order tidak sebanyak hari kerja.

Berapa jarak tempuh terdekat dan terjauh yang pernah beliau ambil? Ternyata, jarak terdekat yang pernah beliau ambil adalah setengah kilometer. Sedang untuk jarak terjauh, beliau pernah membawa konsumen hingga bekasi timur dengan nilai order 100 ribu rupiah. Dengan kecenderungan itu, beliau jarang mencapai jarak tempuh maksimal dari perusahaan, yaitu 150 km. Pihak perusahaan akan memberikan peringatan bagi driver yang tercatat melebihi batas maksimal jarak tempuh. Biasanya, jarak yang berlebih mengindikasikan kecurangan. “Lagipula gak mungkin dapat segitu, terutama hari kerja. Mana-mana macet. Kalaupun ternyata beneran narik, gak sehat karena pasti itu diforsir” beliau menjelaskan.

Selain layanan antar jemput penumpang, beliau juga sesekali mengambil order layanan antar barang / dokumen serta makanan. Bahkan beliau cenderung memilih dua order tersebut dibanding layanan antar jemput penumpang sebab tarif layanan tersebut lebih besar dari tarif ojek penumpang. Barang yang dikirim bervariasi. Mayoritas adalah surat-surat perkantoran. Suatu kali, beliau pernah mengantarkan selembar kertas bahkan sebuah kunci lemari. Namun, beliau juga pernah membatalkan order layanan antar barang karena barang yang akan dikirim melampaui batas berat maksimal yaitu 20kg. Beliau juga pernah mengambil order pembelian 20 porsi mie pangsit yang hanya berjarak kurang dari 100 meter, hanya saja pemberi order berada di lantai 23.

Taktik dan pemikiran beliau dalam menjalankan pekerjaannya membuat saya kagum. Di usia yang tak lagi muda, beliau melipatgandakan efisiensi kerja secara kontinyu. Bahkan inovasi masih menjadi hal yang spesial bagi anak muda jaman sekarang. Kebanyakan menerima begitu saja produk di sekitar mereka.

Pembawaan beliau yang sangat ramah dan informatif membuat saya bertanya-tanya, apakah beliau memiliki pelanggan tetap. Ternyata tidak. Jawaban ini cukup mengherankan bagi saya. Indonesia gitu loh, orang-orang memiliki concern lebih pada kecocokan. Faktor yang membuat kita rata-rata enggan berpindah ke orang lain saat sudah merasa nyaman.

Ternyata manajemen ojek daring ini memiliki aturan unik dimana driver hanya boleh melayani penumpang yang sama sebanyak maksimal 3 kali dalam seminggu. Lebih dari itu, driver  dicurigai melakukan tindakan kecurangan berupa order settingan. Yaitu order yang sudah dipesan dulu, baru diinput ke sistem. Tujuannya sederhana; agar pemesanan layanan berjalan tertib melalui satu pintu yakni lewat aplikasi.

Fakta ini lagi-lagi membuat saya kagum pada integritas beliau. Bekerja di jalanan bukanlah pekerjaan yang ringan. Seorang kawan pernah apes mendapat  driver yang careless without safety riding. Menyentak-nyentakkan gas serta zig-zag memotong jalur roda empat dengan santai. Dalam kondisi seperti itu, bekerja dengan orang yang menyenangkan akan menjadi pereda tingkat stress.

Ketika saya mengeluhkan bahwa malam sebelumnya seorang teman mengalami kesulitan membuat order ojek daring ini, beliau membenarkan bahwa sesekali masih ada sistem error. Namun frekuensi gangguan ini semakin jarang seiring pengembangan aplikasi oleh perusahaan. Ternyata, dibalik keluhan pelanggan atas sistem yang kurang stabil, driver menanggung resiko yang lebih besar. Jangankan order tidak datang tepat waktu, pelanggan bahkan bisa membatalkan order tanpa perlu menjelaskan ini itu. Tak jarang, saat sistem benar-benar down, order yang disetujui driver tak masuk ke perangkat konsumen sehingga saat driver datang menjemput penumpang, yang dituju sudah entah dimana..

Saya sempat bertanya apakah beliau memiliki rekan driver ojek daring yang berjenis kelamin perempuan. Sayangnya, beliau tidak memiliki rekan driver perempuan. Bahkan, beliau hanya kenal beberapa driver laki-laki. Beliau beralasan bahwa Ia jarang nongkrong di tempat-tempat yang ramai sesama driver ojek daring. Beliau menganggap bahwa kebiasaan itu membuat driver larut dalam obrolan lantas enggan mengambil order.

Di balik sikap profesional nan ramah beliau, ternyata tersimpan berbagai duka. Mulai dari pengorder yang sulit dicari keberadaannya, dipersulit menyampaikan pesanan oleh bagian keamanan kantor, hingga dipalak oleh preman saat melewati daerah tertentu lewat pukul 10 malam. Meski bayangan kesulitan mengintai setiap saat, tapi beliau menjunjung tinggi semangat dan etos kerjanya. Ah, hari itu saya benar-benar belajar banyak hal dari beliau :)

Jumat, 25 Maret 2016

Titik hitam dan kebhinekaan

Untuk kesekian kalinya saya melihat gambar epik tentang kertas putih yang ada titik hitamnya. Captionnya selalu sama. Tentang asumsi kebanyakan orang yang cenderung hanya melihat titik hitam, padahal putih lebih dominan. Asumsi ini kemudian dikorelasikan dengan teori bahwa kebanyakan orang lebih mudah melihat 1 keburukan daripada melihat 1000 kebaikan.

Merujuk asumsi dan teori di atas, logika yang dipakai adalah titik hitam merupakan representasi keburukan, sedang warna putih merupakan representasi kebaikan. Di sini, saya merasa terusik.
Mengapa hitam diidentikkan dengan hal-hal buruk saat putih identik dengan hal-hal baik. Menurut saya, identifikasi ini tidak adil. Satu-satunya yang relevan bagi saya adalah perbandingan titik hitam dengan kertas putih sebagai 1 banding 1000. Sebuah hal kecil dibandingkan dengan jumlah yang lebih banyak. Minoritas versus mayoritas. Suatu hal yang berbeda dari kebanyakan hal yang seragam. Satu hal yang berbeda dari kebiasaan.

Kemudian saya teringat tentang sebuah aksi terkini perusahaan layanan taksi reguler di ibukota yang memprotes keberadaan taksi daring. Bermacam alasan mulai dari tiadanya uji kelayakan kendaraan, hingga isu legalitas diusung mewarnai aksi ini. Sangat berbeda dengan lumrahnya taksi reguler berargo yang selama ini merajai pasar taksi di ibukota. Terlepas dari berbagai tanggapan masyarakat, saya melihat sebuah kesamaan antara wacana aksi taksi reguler ini dengan kertas putih bertitik hitam. Sebuah hal baru dari sesuatu yang menjadi kebiasaan.

Jika meninjau wacana aksi yang mengindikasikan ketidaknyamanan, atau bahkan ketidaksetujuan pihak mayoritas yang merupakan pemain lama, bisa jadi si titik hitam ini ’terlihat’ karena perbedaan yang Ia miliki, yang notabene mengusik. Maka, asumsi yang ada adalah bukan tentang baik dan buruk. Tapi tentang sesuatu yang baru adalah sesuatu yang ‘mengusik’. Apakah ini pertanda bahwa kita cenderung tidak siap pada perbedaan?

Sayang sekali, jargon pendahulu kita yang susah payah diusahakan dijadikan semboyan bangsa kita menjadi mati rasa: Bhineka Tunggal Ika

Selasa, 22 Maret 2016

Taksi Gratis Hari Ini

Semalam, setelah aksi para driver suatu brand taksi Ibu Kota, beredar berita bahwa hari ini brand tersebut menggratiskan layanan regulernya untuk daerah jadetabek.

Berhubung kebetulan hari ini saya sedang mengorbit di sana, tak ada salahnya iseng mencoba layanan tersebut. Sekaligus membuktikan, beneran gratis gak nih. :)

Saya lantas mendekati petugas pool dan bertanya, apa benar layanan taksi mereka hari ini gratis. Secara posisi saya di Cengkareng, udah bukan Jakarta. Si Mas mengiyakan pertanyaan saya. Hari ini layanan taksi reguler mereka gratis, selain ongkos tol. Langsung deh saya gercep masuk antrian.

Sempat berpikir bahwa mungkin bakal lama nih nunggunya, soalnya, apa iya para driver ini mau dan rela gak dibayar oleh penumpang? Ternyata, taksi yang saya tunggu datang tak lama setelah saya mendapat kartu antri.

Begitu masuk, langsung deh saya nembak sang driver; "Hari ini gratis kan ya Pak taksinya?" Maklum, masih gak percaya gitu. Sama seperti si Mas petugas pool, driver langsung mengiyakan dengan menambahkan keterangan sama persis keterangan petugas pool: layanan gratis tidak mencakup tarif tol.

Maka dimulailah petualangan hari itu. Menurut Pak Driver, pagi itu mereka diinstruksikan untuk keluar dan memberikan layanan gratis kepada penumpang. Kami sempat bicara ngalor ngidul tentang persaingan taksi, sistem kerja di perusahaan taksi tempat Ia bekerja hingga keluarga Pak Driver.

Tak terasa, kami tiba di gerbang tol cawang dimana saya diminta membayar biaya tol sebesar enam ribu rupiah. Selanjutnya membayar delapan ribu lima ratus di gerbang tol kayu besar. Pengeluaran Terakhir sebesar sembilan ribu lima ratus di gerbang tol meruya utama.

Dari situ, saya tiba di lokasi tujuan di daerah fatmawati. Tetap dengan profesionalismenya, Driver bahkan membukakan pintu mobil.

Hari itu saya berhemat seratus ribu rupiah lebih dari biaya taksi normal yang seharusnya mencapai 160an ribu rupiah. Atau setidaknya 20 ribuan lebih hemat dari opsi Naik damri ke Blok M lanjut angkot ke lokasi.

Sering-seringin aja gratisnya :))

Sabtu, 19 Maret 2016

Mengajar vs memberi pelajaran

Akhir-akhir ini, linimasa sedang punya topik hangat tentang candaan seorang public figure mengenai simbol negara.

Berbagai respon bermunculan. Ada yang prihatin, ada yang bereaksi keras dengan melaporkan sang public figure ke pihak berwajib, ada juga yang selo.

Saya lantas teringat sebuah kisah yang beberapa kali saya baca. Saya jumpai di beberapa media. Sepertinya kisah ini cukup populer.

Kisah ini tentang dua murid dan seorang guru. Kedua murid ini bersitegang tentang hitungan perkalian mereka. Murid pertama adalah murid paling cerdas di kelas. Ia sangat yakin bahwa 7 x 3 adalah 21. Sedangkan murid kedua adalah murid yang tidak secerdas rata-rata murid lain di kelas. Ia pun begitu yakin bahwa 7 x 3 adalah 18. Yah, delapan belas.

Murid pertama begitu percaya diri akan jawabannya. Maka karena perseteruan tidak juga berakhir -murid kedua bersikukuh bahwa 7 x 3 = 18, murid pertama menantang murid kedua untuk beradu ke sang guru.

Murid pertama: 'Bu guru, bukankah 7 x 3 adalah 21?'. Bu guru bertanya, 'lalu apa masalahnya?'. Murid pertama langsung menyahut, "murid kedua ngotot berkata bahwa 7 x 3 adalah 18!"

Sang guru tersenyum, 'benarkah begitu, Nak?'. Si murid kedua mulai gelisah, Ia mengangguk dalam diamnya.

Murid pertama kembali bicara. 'Ibu, bukankah saya benar? Saya bersumpah akan berlari 5 kali keliling lapangan bila sampai jawaban saya salah!"

Ibu guru tertegun sejenak kemudian kembali tersenyum. "Kalau begitu, kamu harus berlari keliling lapangan 8 kali. 3 untuk jawabanmu, dan 5 untuk ketidakbijakanmu" kata bu guru pada murid pertama.

Rekan-rekan, saya percaya anda semua tahu berapa hasil dari tujuh dikali tiga. Tapi di sini, mengapa sang guru malah menghukum murid pertama?

Rekan-rekan, sang guru tidak menyalahkan jawaban murid pertama, maka ia memberi konsekuensi 3 kali putaran untuk si murid. Tapi, ia memberi konsekuensi 'salah', yakni 5 kali putaran, untuk 'cara yang tidak benar' dalam menyampaikan kebenaran.

Dalam kesempatan berbeda, saya mendengar lanjutan kisah di atas dimana si murid pertama merasa kelelahan di putaran kelimanya. "Ibu, saya sudah berlari Lima putaran, bisakah saya minta keringanan tiga putaran? Sungguh saya tidak sanggup melanjutkan lari ini" kata si murid pertama dengan muka nyaris putus asa.

Ibu guru tersenyum, "Lelahmu sama dengan lelah temanmu, Nak. Hitungannya belum selesai seperti kau belum genap berlari delapan putaran. Apa jadinya kalau Ibu menyuruhmu berhenti sekarang? Tiga dan lima tidak akan pernah jadi delapan hanya karena kamu berhenti di putaran kelima"

Si murid pertama terdiam lantas menangis. "Terima kasih Ibu, saya akan selesaikan tiga putaran tersisa", katanya sambil tersenyum.

Dalam konteks kasus di atas, si murid kedua yang tidak cerdas ini bisa patah semangat dalam usaha kerasnya belajar. Bukan kebenaran yang akhirnya didapat, melainkan keputusasaan.

Rekan-rekan,
Seperti itu pula menyampaikan kebenaran. Kadang, kebenaran tidak perlu disampaikan dengan cara keras. Kebenaran selayaknya diiringi kebijaksanaan dalam menyampaikan.

Semoga bermanfaat

Seblak: Kakak senang, Adikpun tenang

So,

Malam ini saya balik kandang ke rumah jakal. Rumah utara, lebih tepatnya. Karen rumah kedua yang kami tempati terletak di jalan kaliurang alias jakal juga. Bedanya rumah sekip, si rumah kedua ini terletak lebih selatan dari rumah utara.

Nah,
Kepulangan saya ini bukan tanpa sebab *sokpenting*. Karena orang tua saya ada reuni di Kota sebelah, sedangkan adik di bawah saya pas sedang mengikuti tes pesantren pelajar, maka saya ke rumah utara untuk jadi penjaga rumah.

Penjaga rumah? Yap, beneran, dengan konotasi menyenangkan, sangat menyenangkan. Hari-hari di utara sering saya habiskan untuk masak, makan, masak lagi, makan lagi, begitu seterusnya.

Seperti malam ini, untuk mengakali adik-adik luar biasah, saya 'menyumpal' mulut mereka dengN seblak Bandung ala ala ig @lawasawal

Lumayan :))

(Calon) Pandega, SKU dan Bina Satuan

Dear kakak-kakak (calon) Pandega
Sungguh betapa beruntungnya kalian.

Diantara padatnya hiruk pikuk kehidupan kampus, dan kerasnya usaha untuk survive di tanah orang, kalian memilih untuk menempa diri lebih keras dari mahasiswa lain. Mengikat diri dengan Prasetya Racana, berjuang menjadi Pandega seperti yang sedang kalian jalani saat ini.

Oh, tidak.
Aku tidak sedang membahas privilege2 yang akan kalian dapat nanti. Kita telah sama-sama tahu ketentuannya kan?
Bukankah itu cita saat membubuhkan TTD prasetya?
Ah, sekali lagi kusampaikan salutku pada kalian, calon penerus bangsa.

Nah,
Sebelumnya, boleh kupinta waktumu sejenak untuk merenungkan apa yang akan kusampaikan?

Kita sama-sama percaya bahwa menjadi Pandega adalah awal dari sesuatu yang lain, maka di sinilah aku bicara tentang perjalanan menuju titik itu.

Teman,
Meski kegiatan ini 'cuma ekstrakurikuler', tapi di sinilah kita akan menempa diri menghabiskan kurang lebih 60th usia kita nanti.

Bukan hal yang mudah, maka mari kita bersiap-siap. Bersiap-siap agar kita dapat bertahan. Mayoritas Hidup kita toh di masyarakat kan, bukan di lab / ruang praktek dsb yg ilmunya kita pelajari di kelas.

Dan semua itu tak mudah. Penuh dengan tantangan, banyak cobaan. Dan tahukah, betapa beruntungnya kalian, para (calon) Pandega?

Hidup di dunia ini mengharuskan kita untuk berkomunikasi dengan segala jenis dan rupa manusia. Dari yang tua sampai yang muda, dari yg cuek sampai yang hobi kepo, semua ada.
Maka beruntunglah kalian yang memutuskan menjadi anggota racana. Bersama adik-adik binsat, kalian berlatih untuk berkomunikasi dengan baik. Bukankah anak-anak adalah makhluk paling jujur?
Merekalah yg akan tertarik bila kita memang menarik, dan merekalah yang pertama berpaling saat kita mulai menjadi membosankan.
Maka beruntunglah kalian yang 'berkesempatan' 'dilatih' oleh mereka :)

Teman2,
Di masa mendatang, urusan demi urusan akan bertambah, agenda demi agenda akan menumpuk, bagaimana kita menyelesaikan semuanya?
Bahkan sekarang, aku yakin tugas kuliah kalian pun menumpuk, meraung-raung minta perhatian. Pun demikian tanggung jawab kalian yang lain. Barangkali beberapa dari kalian juga berkegiatan di organisasi kampus yg lain.
Tapi ah...., toh kalian masih menyempatkan diri untuk binsat, dimana kalian harus mempersiapkan segala sesuatunya sebelumnya, rancangan materi, metode pembelajaran, alat Bantu ajar dsb...
Teman, inilah keberuntungan kalian, inilah kesempatan kita untuk berlatih mengatur diri, waktu dan tanggung jawab kita, kalau bukan sekarang, kapan lagi?
The more you wish, the more you have to do :)

Teman, pernah kesal karena adik-adik bunaan kita gak focus?
Berbagai cara dari ceramah sampai kuis, dari duduk manis sampai nungging barangkali udah kita coba, tapi teteeeeep aja, adik-adik kita sulit diatur.
Tahukah teman,
Bahwa kalian sedang melatih skill Initiating Action kalian?
Tak hanya adik-adik binsat,
Dunia kita kelak akan semakin menantang.
Kalau bukan inisiatif kita yang aktif mencari solusi, mana mungkin kita bertahan?
Mari terus berlatih :)

Teman2,
Gimana rasanya ngalamin nembak 'ditolak'. Berapa kali kita dipelengosin adik-adik?
Berapa kali ide kreatif teman2 'ditolak' pengurus karena satu dan lain hal.
Toh teman2 tidak berhenti berusaha. Banyaknya penolakan hanya membuat kita semakin kuat.
Begitulah dunia, teman2, yang kuat yang akan bertahan.
Maka, teruslah menempa diri, teman2.
Mari menjadi tangguh.

Teman2,
Jangankan menghadapi puluhan anak2,
Menghandle 4-6 anak aja udah luar biasa.
Boleh ngacung yang sering puyeng ngadepin dedek-dedek emesh-yang-kayak-minta-dilempar-saking-ajaibnya.
Tapi toh kita yang akhirnya beradaptasi, mencari berbagai macam pendekatan yg efektif.
Begitu juga dunia, teman2.
Bukan dunia yg menyesuaikan kita,
We are the one who have to fit in it.
Maka tetaplah berlatih beradaptasi, teman2 :)

Teman2,
Tentu kita gak bisa milih Siapa yg jd adik binaan kita. Kadang lucu, kadang aneh, kadang ajaib. Siapapun, tugas kita tetap, mendidik mereka.
Mbuh piye carane.
Demikian juga dunia, teman2.
Kita gak selalu bisa milih akan bekerja dengan Siapa. Kadang asyik, kadang nyebelin. Tapi toh tanggung jawab adalah tetap adanya.
Maka lewat adik-adik kita, mari kita latih skill 'building Positive working relationship'.
Mari belajar membangun hubungan kerja yg baik terlepas dr siapapun rekan kita.

Teman2,
Pernah ngerasa galau?
Ada acara kumpul2 sama temen sekolah, tapi juga ada binsat,
Ada tempat dolan asyik, tapi tugas kuliah belum kelar?
Hayooo, pilih yg mana?
Gak gampang emang. Semua keputusan ada konsekuensinya.
Maka, lewat amanah sebagai kakak binsat, mari kita latih skill Decision Making kita agar tidak ada penyesalan di kemudian hari.

Teman2,
Pernah bingung harus bersikap bagaimana? Bingung harus ngajar dgn metode apa? Bingung gimana harus ngomong tentang anak didik kita ke orang tua?
Padahal jawabannya sederhana:
Dulu, saat jadi murid, kita pengen diperlakukan bagaimana oleh guru kita?
Dulu, kita pengen guru kita ngomong apa ke ortu kita?
Dulu, kita pengen diajar dgn cara bagaimana, oleh guru kita?
Mari kita mulai dengan menerapkan seperti apa kita ingin diperlakukan.
Gak gampang emang.
Maka mari kita latih dr sekarang :)

Teman2,
Menjaga komitmen untuk menyelesaikan amanah itu tidak mudah.
Kadang rasa malas muncul, kadang blank mau ngapain. Belum lagi soal SKU, kadang gak nggayuh mau digarap.
Tapi itulah dunia, teman2,
Kalau menjaga komitmen pribadi saja tidak berhasil, bagaimana kita bisa menjalin komitmen dgn org lain?

Terakhir,
Akan seperti apa kita ingin dikenang, teman2.
Apapun yg kita lakukan akan berdampak. Melarang anak melakukan sesuatu akan berbeda dgn membuat mereka mengerti mengapa tidak boleh melakukan sesuatu.
Kemampuan itu-membuat seseorang melakukan / tidak melakukan sesuatu bukanlah kemampuan yang tiba2 muncul.
Perlu latihan dan pembiasaan.
Mari kita mulai dari belajar 'memberi pengaruh' adik-adik binaan kita kita.

Wah,
Ternyata banyak sekali ya 'keberuntungan' dan 'kesempatan' kita.
Semangat!
Terus berjuang teman2?
Ingat bahwa segala sesuatu perlu latihan, mari kita mulai dr Binsat, dan tentu saja SKU masing2 dr kita.

Salam salut dari pengagummu.

Earth Hour dan Kemunafikan sebuah Idealisme

*tulisan ini saya buat beberapa tahun yang lalu, diposting ulang untuk mengingatkan teman2 sekalian akan konsistensi kita untuk berkontribusi*

Sabtu, tanggal 27 Maret lalu, beberapa pesan pendek masuk ke ponsel saya. Semua membawa pesan yang sama, “Matikan lampu selama 1 jam, mulai pukul 20.30 hingga 21.30, dalam rangka Earth Hour, mencegah global warming”. Sebelah alis saya pun mengernyit...
Pesan itu tak terhenti disitu, sebagian besar teman saya sibuk menyerukan secara lisan ajakan itu dengan menggebu-gebu, “Cegah global Warming mulai sekarang”. Begitu katanya. Sebagian lagi merasa gelisah, was-was jika nanti, tepat pukul 20.30, listrik akan padam. Maklum, saat itu kami sedang berada di asrama Tafsir Qur'an. Bisa dibayangkan, betapa lampu sangat dibutuhkan. Jika lampu padam, kegiatan belajar mengajar tentu akan ikut terhenti pula.

“Ayo cepetan, keburu listriknya dimatiin.” kata salah seorang teman. Aku hanya tersenyum, dan berujar, “Nggak mungkin lah, PLN nggak ada sangkut pautnya ama program ini, Ini kan tergantung kesadaran pribadi tiap orang. Mau ikut berpartisipasi ya ayuk, kalo nggak ya udah....”. Dan si Mbak dengan ngototnya menyanggah, “Ya nggak mungkin, ini tuh program seluruh dunia, pasti ntar bakal mati listriknya!”. Maka kami pun menunggu....
Teng,...
Pukul 20.30 tepat, listrik tetap menyala....

Aku teringat masa-masa SMP, ketika slogan “Jogjaku Bersih” ramai didengung-dengungkan. Setiap PNS menjadi duta kebersihan dengan pin tersenat di dada kanan, lengkap dengan lambang Pemkot Yogyakarta dan gambar orang membuang sampah. Dinas kebersihan sibuk memasang 2 jenis tempat sampah, Biru untuk sampah organik, dan oranye untuk sampah plastik di setiap sudut kota. Tanaman-tanaman peneduh dipasang di pinggir-pinggir jalan, tak lupa, berbagai pamflet disebar di banyak tempat mengkampanyekan program tersebut.

Tapi,....
Beberapa waktu berselang, pin berslogan “Jogjaku Bersih” masih dengan tertib terpasang di dada para pegawai, tapi 'budaya' berkata lain. Sampah-sampah masih berserakan, pohon-pohon perindang tak lagi terawat. Yang paling menyedihkan, sampah bercampur baur hingga kadang menimbulkan bau tak sedap. Bahkan tak jarang, tempat sampah-tempat sampah tersebut hilang ditelan waktu...

Jauh sebelum program Jogjaku Bersih dicanangkan, pemerintah telah 'menunjukkan kepedulian yang cukup nyata' terhadap isu ini. Kali ini berkaitan dengan ragam administratif. Standar kertas yang digunakan dalam administrasi resmi 'turun pangkat' dari HVS 90 gram menjadi HVS 80 gram. Sayangnya, sosialisasi kebijakan ini belum mencapai 'akar rumput'. Belum semua instansi memberlakukan kebijakan ini.

Ketika pemerintahan SBY naik pangkat, 'operasi lawan global warming' makin marak. Tak kurang, SBY sendiri yang menyerukan minimalisasi penggunaan AC, serta menyerukan penggunaan batik sebagai pengganti jas, untuk mengurangi kegerahan. Tapi, seruan tinggal seruan. Hampir semua pejabat telah kembali 'nyaman' dengan jas masing-masing. “Toh, yang bayar listrik kan negara....” Begitu mungkin pikiran mereka.

Dan kita tak bisa begitu saja melupakan ajakan PLN untuk mematikan sebuah lampu pada jam-jam puncak beban listrik, yaitu antara pukul 18.00-06.00. Hanya yang sayang, sekali lagi, tak semua masyarakat bersedia berpartisipasi pada program ini.

Kita kembali pada isu Earth Hour, saat itu, terutama remaja, saling berlomba-lomba untuk berpartisipasi. Tapi seolah lupa, di luar Earth Hour time, berapa jam televisi menyala di rumah-rumah mereka tanpa ada yang menonton, berapa lama listrik terbuang ketika kita membiarkan charger HP kita tetap menempel semalaman? berapa banyak listrik terbuang untuk komputer, dan radio yang menyala tak henti di kamar untuk sekedar 'menemani tidur'?, Atau, berapa banyak listrik terbuang untuk menghidupkan kembali sebuah komputer / laptop yang kita tinggal sejenak, sulitkah untuk meng-hibernate-kan gadget kita?. Sulitkah mengubah profil Hp kita menjadi “Energy saving mode”, atau mengosongkan wallpaper, menggunakan modus getar, atau segera mengangkat telepon / membuka pesan sehingga ringtone tak perlu mengalun lebih lama?

Lalu saat sebagian remaja lain berjuang meneriakkan penyelamatan hutan, sebagian yang lain 'membuang' berlembar-lembar kertas hanya karena 'salah ketik'. Beberapa civitas akademika masih mempertahankan tradisi kuno, mengumpulkan tugas yang hanya sekian puluh kata dalam bentuk print out. Pernahkah kita berpikir, berapa hektar hutan papirus yang bisa kita selamatkan jika kita mau 'sedikit' berevolusi dengan memaksimalkan penggunaan E-mail?

Yang mencengangkan, sebagian dari kita yang meneriakkan upaya cegah global warming, terkadang melupakan detil-detil kecil yang sesungguhnya cukup berarti. Misalnya, berapa literkah air yang telah kita buang saat kita mandi? Berapa kubikkah polutan yang telah kita muntahkan dari kendaraan kita? Kemanakah bungkus permen yang kita makan isinya? Berapa banyak energi yang 'dibuang' sebuah pabrik untuk membuat makanan instan, sulitkah untuk memilih makanan olah?

Tapi, tak ada salahnya terus berjuang, Masih banyak hal-hal yang perlu kita pertahankan. Masih ingat Kalpataru? Penghargaan khusus dari RI1 untuk kota/ daerah Tk II yang dinyatakan paling bersih ini masih cukup menjadi alasan beberapa daerah untuk mewujudkan kebersihan lingkungan.

Kita bisa melihat perubahan yang cukup berarti di Ibu kota dengan program Jakarta Go Green. Program yang merambah sekolah-sekolah dasar dan daerah tingkat RW ini bisa dikatakan cukup berhasil.
Yang harus diingat, gerakan cegah global warming tak dapat terlaksana dengan satu-dua program mandiri, alias tak akan berguna tanpa tindak lanjut yang signifikan. Kita tak harus serta-merta mengandangkan kendaraan bermotor kita, atau menyingkirkan semua peralatan elektronik kita. Yang perlu kita lakukan hanyalah menggunakan semua itu dengan sebijak mungkin.

Tentu tak sulit untuk mematikan lampu yang tidak digunakan, ataupun mematikan meteran listrik saat meninggalkan rumah dalam keadaan kosong, semua itu akan mencegah listrik terbuang percuma. Merencanakan rute perjalanan harian agar tak bolak-balik juga bisa mengurangi polutan [dan menyelamatkan kantong kita].
Bila keadaan memungkinkan, menggunakan kendaraan umum adalah alternatif yang cukup menguntungkan. Pertama, kita tak harus mengeluarkan biaya bahan-bakar pribadi, akan sangat menguntungkan dalam perjalanan jauh. Kedua, kita ikut andil mengurangi calon tambahan polutan yang mungkin terjadi jika kita menggunakan kendaraan pribadi. Dan jangan lupa untuk secara teratur menyervis kendaraan kita agar tetap terawat dengan baik. Kendaraan yang terawat dengan baik akan meminimalisir jumlah polutan yang dikeluarkan. Amat sangat disarankan untuk memilih jenis bahan bakar hemat energi untuk kelangsungan hidup planet kita ini, tentu jika keadaan [kantong] memungkinkan.

Selain itu, kita juga bisa menghemat cukup banyak listrik dengan mengganti lampu bohlam dengan lampu TL. Sebab, lampu TL mengubah 70% listrik menjadi cahaya, sedangkan lampu bohlam 'hanya' mengubah sekitar 30% energi listrik menjadi cahaya, sisanya dikonversi menjadi kalor.

Tak lupa, jadilah konsumen cerdas untuk ikut berpartisipasi dalam usaha cegah global warming ini. Membawa kantong belanja dari rumah akan mengurangi jumlah konsumsi plastik, dan memilih alat listrik hemat energi merupakan langkah bijak yang nantinya juga akan menyelamatkan kantong kita dari ancaman tagihan listrik yang membengkak. Tak lupa pula untuk memilih barang-barang yang bisa didaur ulang. Dan tahukah kalian, lebih memilih produk lokal dan organik juga membantu mencegah global-warming lho! Bayangkan, berapa banyak energi [bensin] terbuang untuk mengangkut produk impor masuk wilayah kita? Dan bayangkan berapa banyak polusi yang mencemari tanah dari pupuk kimia untuk menumbuhkan bahan makanan non-organik?

So, tidak sulit bukan untuk ikut berpartisipasi mencegah global warming. Untuk kehidupan yang lebih baik, mari kita mulai dari sekarang, dari diri sendiri, dan dari hal-hal kecil!

Tulisan asli bisa ditemukan di link:

https://mobile.facebook.com/notes/atina-handayani/earth-hour-dan-kemunafikan-sebuah-idealisme/355486386636/?refid=7