Di suatu desa di Pulau Sumatera, anak SD harus menumpang truk pengangkut kayu untuk berangkat sekolah. Jarak rumah ke sekolah terdekat tidak dalam jangkauan jalan kaki. Orang tua mereka, yang pulang setiap beberapa minggu sekali, harus bekerja keras agar keluarga mereka bisa makan. Bukan hal yang aneh di ‘sana’, anak di bawah umur hidup sendirian di rumah.
Di suatu tempat di
Pulau Jawa, sempat heboh anak-anak SD mempertaruhkan nyawa di jembatan runtuh
yang hanya menyisakan sedikit tali untuk menyeberang. Di tempat tak jauh dari
situ, anak-anak harus berenang melewati sungai yang cukup deras. Semua itu
untuk menuju sekolah terdekat.
Di sebuah kepulauan,
bukan hal aneh bila anak tak masuk sekolah di musim-musim tertentu. Para orang
tua tak selalu memiliki sanak saudara yang bisa menjaga anak mereka selama
mereka pergi menunggu budidaya rumput laut maupun menunggu Bagan (rumah apung
untuk menangkap ikan). Membawa mereka ke ‘tempat kerja’ adalah satu-satunya
opsi. Tantangannya adalah, lokasi budidaya atau Bagan ini biasanya cukup jauh
dari pulau utama atau ada di pulau-pulau satelit kecil di sekitar pulau utama
tempat anak mereka bersekolah.
Belum lagi untuk naik
level pendidikan yang lebih tinggi. Menurut data BPS 2022, ada 394 ribu sekolah
di Indonesia yang didominasi SD. Jumlah SD + MI = 174992, SMP + MTs = 60102,
SMA + MA = 23443, sedangkan jumlah SMK ‘hanya’ 14198. Dengan demikian, rasio
SMP dibanding SD hanya 1:3. Kalau kebetulan nilai pas, bisa masuk SATAP bahkan
SMP lokal. Kalau beruntung nilai tinggi dan sanggup membiayai, maka bisa masuk
SMP yang lebih bagus di desa bahkan kecamatan sebelah. Apalagi untuk
urusan masuk SMA / SMK yang rasio jumlah
sekolah (dan kursinya) jelas lebih sedikit dari SMP apalagi SD.
Kompetisi sehat dan privilese
Proporsi ketersediaan
sekolah untuk memenuhi Wajib Belajar 12 tahun yang tidak merata, jelas menciptakan
seleksi alam. Seleksi alam adalah hal yang alamiah, siapa kuat dia menang. Pemenang
adalah yang terkuat, tapi kalau start awalnya berbeda, apakah itu kompetisi
sehat? Start awal yang berbeda bisa berupa ketersediaan fasilitas pendidikan
publik berkualitas yang dapat dijangkau oleh kemampuan masyarakat manapun,
kesadaran dan dukungan penuh keluarga akan pendidikan, hingga kualitas nutrisi
sejak dini untuk memastikan tumbuh kembang anak maksimal, termasuk otaknya.
Semua itu untuk memastikan setiap anak mencapai potensi dan performa terbaiknya
agar siap berkompetisi secara maksimal. Sayangnya, tidak semua anak beruntung
memiliki ‘start awal’ yang setara. Start awal yang berbeda, lebih tepatnya
keunggulan bawaan yang memastikan seorang individu mencapai potensi dan
performa terbaiknya disebut privilese.
Meninjau PPDB Daring
Penerimaan Peserta
Didik Baru (PPDB) adalah agenda tahunan
penerimaan murid baru di setiap jenjang sekolah. Pada 2020, PPDB secara daring
mulai digunakan di beberapa daerah terutama DKI Jakarta dan sekitarnya. Sistem
ini mengintegrasikan proses seleksi semua sekolah di setiap level dalam satu
zonasi. Sistem ini juga sangat praktikal di saat kasus Covid-19 makin meningkat
di Indonesia. Sampai saat ini, PPDB Daring terus digunakan dengan berbagai
peningkatan.
Petunjuk
teknis PPDB Daring di setiap daerah bisa berbeda-beda, tapi secara umum terdiri
atas Jalur Zonasi, Jalur Afirmasi, Jalur Perpindahan Tugas Orang Tua/ Wali
serta Jalur Prestasi. Jalur zonasi memberikan kesempatan bagi siswa di sekitar
koordinat sekolah, sedangkan Jalur Afirmasi memberikan kesempatan bagi calon
siswa kurang mampu dan disabilitas. Jalur Perpindahan Tugas Orang Tua/ Wali
bertujuan memfasilitasi calon siswa yang mengikutiorang tuanya bertugas, baik
antar provinsi maupun antar kabupaten / kota. Jalur terakhir yakni jalur
prestasi adalah jalur khusus bagi calon siswa di luar zona dengan syarat nilai
gabungan mencapai skor tertentu.
Hal
yang menarik dari PPDB Online adalah setiap peserta PPDB Daring akan langsung
diterima di sekolah piliihannya, selama memenuhi ketentuan yang berlaku. Sistem
daring yang terintegrasi juga memastikan bahwa peserta PPDB Daring hanya akan
diterima sebagai calon siswa di 1 sekolah. Artinya, peserta PPDB Daring tidak
mungkin diterima sebagai calon siswa di beberapa sekolah sekaligus.
Meskipun
terus dilakukan perbaikan sistem, PPDB Daring juga tetap tidak sempurna. Terpantau
pada PPDB Daring 2022, kuota sejumlah sekolah di beberapa daerah masih belum terpenuhi
hingga akhir masa PPDB Daring. Disdikbud setempat memberikan arahan kepada
sekolah-sekolah tersebut untuk memulai KBM sambil membuka PPDB Offline.
Seleksi PMB (dan kompleksitasnya)
Berbeda dengan PPDB
Daring yang diatur dengan zonasi (dengan ketentuan khusus untuk lintas zonasi
maupun jalur lain non zonasi), Penerimaan Mahasiswa Baru khususnya PTN bersifat
nasional dan diselenggarakan oleh LTMPT (Lembaga
Tes Masuk Perguruan Tinggi). Ada 2 jenis tes yang diselenggarakan oleh
LTMPT yakni SNMPTN dan SBMPTN.
SNMPTN
merupakan seleksi berdasarkan nilai akademik saja atau nilai akademik dan
prestasi lainnya yang ditetapkan oleh PTN dengan biaya subsidi penuh
pemerintah. Sedangkan SBMPTN adalah seleksi calon mahasiswa baru PTN
berdasarkan hasil Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) saja, atau hasil UTBK dan
kriteria lain yang ditetapkan bersama oleh PTN Secara garis besar, SNMPTN
diselenggarakan lebih awal, konsekuensinya, hasil seleksi SNMPTN dapat diumumkan
sebelum SBMPTN.
Selain SNMPTN dan SBMPTN, Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta juga memiliki Jalur Mandiri yang penyelengaraan dan ketentuanya diatur sendiri oleh PT bersangkutan. Meskipun demikian, pemerintah menetapkan aturan terkait kuota PMB dari masing-masing jalur.
"PMB 2022 bagi PTN, Pemerintah menetapkan kuota jalur SNMPTN minimum 20%, SBMPTN minimum 40% dan Jalur Mandiri maksimum 30%. Sedangkan bagi PTNBH, kuota SBMPTN minimum 30% dan Jalur Mandiri maksimum 50%." Plt Dirjen Dikti-Ristek, Kemendikbud-Ristek Nizam melalui MediaIndonesia.com (11 April 2022, 12:44 WIB) "
Dikutip dari
kompas.com (8 Desember 2021, 09:11 WIB) Per 25 November 2021, ada 16 PTN-BH berdasarkan Peraturan Pemerintah No.114 Tahun 2021 tentang Perguruan
Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). Keenam belas universitas tersebut
merupakan perguruan tinggi dengan kualitas tinggi dan diminati banyak siswa. Salah
satu ‘kelebihan’ PTN-BH adalah kemandirian pada pengelolaan dalam berbagai
bentuk bidang seperti bidang keuangan sarana dan prasarana serta
ketenagakerjaan, misalnya melalui kuota penyelenggaraan Jalur Mandiri yang
lebih besar daripada PTN biasa. Umumnya, Pendaftaran Jalur Mandiri dimulai
setelah hasil seleksi SNMPTN keluar, dan berakhir sebelum hasil SBMPTN keluar. Sedangkan
Ujian Jalur Mandiri bervariasi, ada yang sebelum pengumuman SBMPTN, ada yang
sesudah SBMPTN.
"Program mandiri sangat tergantung dari perguruan tinggi masing-masing karena dilaksanakan oleh masing-masing (kampus), sehingga ada perguruan tinggi yang mensyaratkan kalau sudah lulus SBMPTN, maka tidak diizinkan mengambil mandiri. Tapi hampir sebagian besar tidak mensyaratkan hal tersebut (tidak mengizinkan mengambil mandiri bila sudah lulus SBMPTN-red)". Ketua LTMPT dilansir dari detikjatim (28 Jun 2022 15:21 WIB)
Yang perlu dicermati
adalah, dalam website LTPMPT, fungsi lembaga tersebut sudah secara gamblang
dideskripsikan hanya “Mengelola dan
mengolah data calon mahasiswa untuk bahan
seleksi jalur SNMPTN dan SBMPTN oleh rektor PTN” Maka dapat diambil kesimpulan bahwa penentu kelolosan seorang peserta
tes, baik SNMPTN maupun SBMPTN apalagi jalur Mandiri, adalah PTN tujuan
masing-masing. Pertanyannya, kriteria lolos dimaksud apa? Sebab tak jarang siswa
tak lulus di SNMPTN dan SBMPTN tapi lolos di jalur Mandiri di pilihan jurusan
yang sama.
Keberpihakan dalam ‘Kompetisi mendapatkan kursi PTN’
Jadwal yang tumpang tindih dan keinginan untuk
‘mengamankan masa depan’ seringkali membuat para siswa (kadang karena dorongan
orang tua) untuk menyiapkan ‘cadangan’ sebanyak-banyaknya. Apalagi bila tidak
berkesempatan lolos di jalur SNMPTN. Siswa berlomba-lomba mengambil SBMPTN dan
Jalur Mandiri sebanyak mungkin. Ini belum termasuk Sekolah Kedinasan yang
biasanya punya jalur dan jadwal seleksiyang berbeda dari ujian ptn pada
umumnya. Bahkan di jurusan universitas high rank, ada yang tiba-tiba ‘pamit’
setelah 2 semester bahkan kurang dari 1 semester. Celetukan ‘SekDin, Jangan
Ambil Teman Kami” pernah viral dan akhirnya hanya menjadi pemakluman.
Yang lebih disayangkan, kemampuan mendaftar ke banyak
jalur sebagai cadangan lagi-lagi hanya dimiliki kaum berprivilese. Sebab biaya
tes Jalur Mandiri juga bervariasi.Simak UI berkisar Rp.500.000-Rp.600.000, SM
ITB Rp.500.000, UTUL UGM Rp.325.000 dengan 2 pilihan prodi. Biaya Pendaftaran
termurah di antara universitas favorit jatuh kepada UNPAD yakni Rp.100.000
(berbasis skor UTBK). Mengikuti Jalur Mandiri juga bukan sekadar membayar biaya
pendaftaran, tapi juga transport hingga akomodasi di lokasi ujian, terutama
bila bukan tes berbasis komputer / skor UTBK yang bisa dilakukan dari manapun. Plus,
ada universitas yang menerapkan semacam ‘uang pangkal’ di jalur Mandiri,
misalnya UGM yang menerapkan Sumbangan Sukarela Pengembangan Institusi (SSPI) bagi
yang menghendaki.
Bagi sebagian
kelompok masyarakat dengan kemampuan ekonomi yang mampu bahkan di atas
rata-rata, uang pendaftaran di atas bisa jadi ’murah’, tapi bagi sebagian lain yang
tidak memiliki privilege ekonomi, biaya ‘termurah’ pun bisa terasa mahal.
Dengan segala keterbatasan (dan harapan akan dapat bidikmisi/KIP/beasiswa
lain), kaum tanpa privilese ekonomi hanya bisa mendaftar SNMPTN (karena gratis),
cerdik memilih seleksi tertentu. Serta tentu saja, tidak ada ‘cadangan’ bagi
kelompok tanpa privilese. 1 pilihan atau tidak sama sekali. Berbanding terbalik
dengan mereka yang secara ekonomi ‘mampu’ menyiapkan cadangan sebanyak mungkin
dan ‘tinggal melepas’ yang tidak dipilih.
Kalau sistem yang ada
hanya membuat mereka yang punya ‘start awal’ alias privilese menang, itu
namanya hukum rimba. Si(apa) yang bertanggungjawab untuk mengatasi kesenjangan
‘start awal’? Kita semua. Sebab janji
kemerdekaan kita bersama adalah “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”. Ini bukan
hanya urusan negara, tapi urusan kita semua sebagai satu bangsa. Tentu saja,
ada pembagian peran yang perlu dikelola sebaik mungkin. Termasuk peran negara
untuk memastikan kompetisi berlangsung secara sehat.
Apa yang bisa dilakukan?
Kebutuhan akan rasa aman dan menciptakan kondisi untuk
mendapatkan hal terbaik sebenarnya meupakan insting alamiah. Temasuk menyiapkan
berbagai rencana cadangan bagi yang mampu. Maka, penting sekali bagi pemangku
kebijakan untuk membaca kebutuhan pasar dan menemukan regulasi yang lebih bisa memberi
rasa aman bagi semua pihak, termasuk kelompok yang perlu tambahan dukungan
untuk berada di garis start yang sama dalam kompetisi. Jika SNMPTN bisa
‘menyeleksi’ dengan rapor 5 semester saja, mengapa Jalur Mandiri dan Sekolah
Kedinasan tidak diselenggarakan lebih awal sehingga calon mahasiswa yang
menyasar tujuan tertentu bisa fokus memantapkan diri menuju impiannya? Bila
masih belum beruntung, maka perjuangan selanjutnya adalah di SNMPTN dan SBMPTN untuk
memenuhi ‘sisa’ batas maksimal kuota Ujian Mandiri.
Ditambah dengan integrasi sistem PMB,dan pengelolaan
jadwal ujian diharapkan lebih bisa memberikan tak hanya rasa aman, tapi juga
kesempatan bagi sebanyak mungkin calon mahasiswa, serta menghindari kursi
kosong yang ditinggalkan karena lolos di banyak tempat sekaligus. Lagian, masak
iya, integrasi sekelas universitas yang harusnya level kognitifnya lebih tinggi
‘kalah’ dengan PPDB?
Tapi harus diakui, secara hitungan ‘bisnis’ penataan
ulang linimasa itu bisa mengubah situasi pasar. Kondisi belum berhasil masuk
jurusan idaman di SNMPTN dan SBMPTN memancing pasar untuk mencari cadangan
sebanyak mungkin. Kalau linimasanya dibalik, alias Mandiri dan SekDin lebih
awal, faktor psikologis pasar yang sedang panik jelas hilang. Pertanyaanya,
kembali ke judul: Mencerdaskan kehidupan Bangsa (yang mana) itu tanggung jawab
siapa?
Referensi:
https://www.bps.go.id/indikator/indikator/view_data_pub/0000/api_pub/UkJNaEl6ZHRVYXNaMzZhZG9BbS9ZZz09/da_04/1
https://mediaindonesia.com/humaniora/484935/penerimaan-mahasiswa-baru-jalur-ptnbh-maksimum-50
https://www.detik.com/jatim/berita/d-6151330/sudah-lolos-sbmptn-tapi-masih-ingin-daftar-jalur-mandiri-apakah-bisa
https://ltmpt.ac.id/?mid=7