Selasa, 29 Maret 2016

Generasi Stiker


Belakangan, telepon genggam pintar saya lebih sering mengeluarkan notifikasi. Sebab terhitung dua minggu ke belakang, perangkat saya mendadak terpasang berbagai akun media sosial kekinian. Lebih kini dari akun Whatssap yang telah saya gunakan sejak 2014. Awalnya saya bersikukuh tidak menambah jumlah aplikasi. Saya toh pengguna aktif Facebook dan twitter. Ditambah dengan blog yang baru akhir-akhir ini kembali saya isi, keempat aplikasi tersebut dirasa cukup mewadahi segala aspirasi dan inspirasi saya.

Adalah adik ke delapan alias anak ke sepuluh keluarga kami lah yang memasang LINE di perangkat saya, diikuti instagram, skype dan blogger mobile. Dan benar saja, hari demi hari berikutnya, telepon genggam saya menjadi ‘berisik’. Sejujurnya, hal ini yang sebelumnya membuat saya enggan menambah jumlah akun media sosial di samping media yang sudah saya punya sejak dulu sudah cukup memberi ruang bagi orang di sekitar saya untuk berkomunikasi dengan saya.

Masih dalam mode penyesuaian, beberapa kejadian menarik membuat saya berpikir keras. Saya yang lebih terbiasa menulis di kertas, kemudian dibanjiri postingan panjang di akun sosial media. Bukan berarti di akun terdahulu, WA, tidak ada. Ada, tapi tak sebanyak dan tak seekstrim akun yang baru saat ini, dimana pengguna tak hanya bisa sekadar berbalas pesan pribadi, tapi juga berdiskusi di grup, bahkan mempublikasikan unggahan terkini di linimasa.

Di suatu momen, salah seorang anggota grup yang berisi anak muda menyampaikan aspirasinya. Aspirasi yang diinisiasi oleh kekecewaan. Bahasanya memang cenderung keras. Maklum lah, namanya juga anak muda, kecewa pula penyebabnya. Sudah dapat diduga, reaksi negatif bermunculan.

Momen ini mengingatkan tentang betapa pentingnya menyaring sebuah informasi. Melepas bungkus dan tendensi penyampaian, fokus pada inti bahasan.
Kita tidak bisa mencegah orang lain melibatkan emosi dalam setiap percakapan daring mereka. Yang bisa kita lakukan sebagai manusia yang berusaha menjadi waras adalah berusaha objektif, mencoba menangkap inti bahasan, bahkan hikmahnya.

Kembali ke topik bahasan tentang menanggapi. Selain tanggapan negatif yang muncul, ada juga sih yang berusaha netral. Tapi kebanyakan ‘menanggapi’ dengan mengirim stiker. Tak hanya di momen penyampaian aspirasi ini. Kebanyakan interaksi di media sosial tersebut berupa stiker. Semacam mengasosiasikan situasi / pendapat / sikap terkini ke stiker. Kalau orang dulu berusaha mencoba mengejawantahkan ekspresinya dalam rangkaian kata-kata, itu juga kadang deg-deg pyar, takut salah pilih kata, sekarang ekspresi itu disimbolkan dengan stiker.

Saya termasuk yang percaya bahwa ekspresi manusia adalah hal yang kompleks. Sebuah ekspresi yang paling sederhana saja, bisa diwujudkan dalam deretan kata yang amat panjang, bahkan bisa jadi novel, itu pun belum menggambarkan keseluruhan ekspresi. Di sinilah kelebihan para penulis ‘dewa’. Mereka mampu menarasikan sebuah ekspresi mencapai tingkat detil yang melebihi rata-rata manusia lain. So, kita para pembacanya, berani membayar ‘harga’ sebuah karya demi membaca kekayaan imaji sang penulis.

Mereka yang ingin menjadi penulis handal, praktis menghadapi tantangan yang sama. Mengembangkan imajinasi, merupakan dalam diksi, merangkai kata menjadi sebuah kalimat yang logis, dan voila, mewujud jadi sebuah keutuhan ekspresi.

Sekarang, tren yang berkembang justru kebalikannya. Merupakan kompleksitas ekspresi dalam sebuah simbol bernama stiker. Kan stikernya macem-macem? Oh ya, macem-macem. Tapi ingat, manusia itu unik. Ekspresi pembuat stiker dengan orang lain pasti berbeda. Sama-sama senang, kalau diambil persentasenya, pasti beda. Belum bicara tentang latar, kontradiksinya (senang sih, tapi...) dan lain sebagainya.

Yang paling saya khawatirkan adalah pergeseran kecenderungan, pergeseran kebiasaan, hingga nantinya pergeseran karakter. Dari karakter mengembangkan, memperjelas, mendetilkan sesuatu menjadi menyederhanakan, menyamakan dan menyamaratakan.

Sekarang mungkin hanya tentang ekspresi, ke depan barangkali hal lain. Mau ini, mau itu, pengennya yang gampang, gak mau yang susah. Dibuat mudah sajalah. Anti-ribet dalam konteks yang sesungguhnya.

Kalau dalam konteks komunikasinya kita lebih terbiasa menyimbolkan segala sesuatu, wajarlah bila kemampuan memilih kata yang pas menjadi semakin jauh dari generasi sekarang.
Generasi sekarang lebih ahli memadankan stiker 'yang sesuai' dibanding menjelaskan dengan tepat sasaran.

Am I wrong?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar