Beberapa waktu belakangan, ternyata ada sebuah wacana yang
kembali menghangat di tempat kelahiran saya: Yogyakarta. Jika bukan karena
mengikuti akun Twitter seorang professor yang saya kagumi pemikirannya, mungkin
saya bahkan tak menyadarinya. Isu tersebut tak lain tak bukan adalah perjuangan
melawan rasisme tanah oleh seorang warga Yogyakarta keturunan Tionghoa[1].
Perjuangan tersebut berupa gugatan kepada Gubernur DIY Sri Sultan HB X dan
pejabat BPN terkait kebijakan pembatasan kepemilikan Hak atas Tanah di DIY.
Usut punya usut, gugatan tersebut terkait Instruksi Kepala Daerah DIY No. K.898/I/A/1975 tanggal 5 Maret 1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah kepada
Seorang WNI Nonpribumi. ‘Kembali’? Ya, sebab ternyata, gugatan serupa sudah
pernah diajukan yang bersangkutan pada 2015 (Uji Materi ke Mahkamah Agung) dan
2016 (gugatan ke PTUN Yogyakarta)[2]
Polarisasi pribumi-nonpribumi dalam kebijakan tersebut
lantas memicu polemik. Mengingat secara legal formal, istilah tersebut tak lagi
digunakan semenjak ada instruksi presiden No 26 tahun 1998. Pun ketika istilah
nonpribumi tersebut seolah merujuk ke etnis tertentu. Isu diskriminasi hingga
rasisme pun menguar.
Beberapa pihak merasa aturan tersebut, selain diskriminatif, sudah
tak layak lagi digunakan mengingat DIY, sebagai bagian dari NKRI, wajib tunduk
dan patuh pada peraturan terkait yang bersifat nasional. Peraturan terkait Agraria,
misalnya. Hal itu dianggap sebagai konsekuensi logis masuknya Yogyakarta
sebagai bagian dari NKRI. Ben Anderson (1999) bahkan menyatakan bahwa “Banyak
orang Indonesia cenderung menganggap Indonesia sebagai ‘warisan’,bukan
cita-cita bersama.Bilaada warisan,ada ahli-waris,dan sering terjadi
pertengkaran tentang siapa yang paling berhak atas warisan itu; kadang-kadang
dengan kekerasan berlebihan” Pernyataan tersebut cukup menyentak mengingat
Instruksi Kepala Daerah yang sedang menjadi polemik ini berujung pada ‘siapa
yang berhak atas tanah di DIY’?
Tapi, benarkah begitu? Benarkah bahwa aturan tersebut
seharusnya sudah tak lagi berlaku? Dan terutama, benarkah aturan tersebut
rasis?
Menyikapi berbagai polemik di Yogyakarta, terutama yang
berkaitan dengan aturan ‘istimewa’ serta kebijakan-kebijakan untuk publik, tak
bisa lepas dari keistimewaan Yogyakarta itu sendiri. Bahwa segala bentuk keistimewaan
itu harus ditinjau dari akarnya. Akar itu bukan sekedar UU Keistimewaan DIY
yang baru 2012 lalu disahkan DPR. Ada sejarah panjang yang menjadi titik kritis
keistimewaan DIY, yang membedakan DIY dengan daerah tingkat I lain di
Indonesia.
Sejarah keistimewaan DIY itu akan sangat panjang bila
ditulis di ulasan kali ini. Bila ingin mengetahui lebih lanjut bisa membacanya
di sini. Secara umum, Yogyakarta merupakan daerah dependen saat Indonesia merdeka,
sehingga tidak mungkin dijadikan daerah kekuasaan Negara Republik Indonesia.
Demikian sebagaimana disampaikan oleh Pangeran Puruboyo, wakil
dari Yogyakarta
Kooti dalam sidang PPKI. Kebuntuan tersebut dijawab oleh
Sri Sultan HB IX selaku Raja Ngayogyakarta dengan Amanat 5 September 1945.
Amanat ini adalah pernyataan HB IX bahwa Yogyakarta
menjadi bagian dari Republik Indonesia. Pernyataan tersebut merupakan hasil
kesepakatan antara Presiden Soekarno dengan Sri Sultan HB IX terkait
kemerdekaan Indonesia dan status Kesultanan Ngayogyakarta yang saat itu bukan
daerah jajahan belanda. Berikut isi Amanat 5 September 1945 tersebut:
“Kami, Hamengku Buwono IX, Sultan Negeri
Ngayogyakarto Hadiningrat, menyatakan:
1. Bahwa Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat yang
bersifat kerajaan adalah Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia;
2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang
segala kekuasaan dalam Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat, dan oleh karena itu
berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam
Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat mulai saat ini berada di tangan kami dan
kekuasaan-kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya;
3. Bahwa perhubungan antara Negeri
Ngayogyakarto Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia
bersifat langsung dan kami bertanggung jawab atas Negeri kami langsung kepada
Presiden Republik Indonesia. Kami memerintahkan supaya segenap penduduk dalam
Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat mengindahkan amanat kami ini”.
28 Puasa, Ehe, 1876 (5 September 1945) Hamengku Buwono IX.
Amanat tersebut selain menegaskan bahwa Negeri
Ngayogyakarta merupakan bagian dari Negara Republik Indonesia, juga menegaskan
bahwa urusan internal di Yogyakarta dipegang seluruhnya oleh Sultan sebagai
Kepala Daerah. Amanat tersebut adalah titah seorang raja dari kerajaan merdeka
saat bergabung dengan negara lainnya. Berlaku tak hanya untuk urusan
pemerintahan, tetapi juga bagi penduduk dalam Negeri Ngayogyakarta.
Proses legalisasi Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa ini
menjadi perjalanan yang panjang bagi republik muda bernama Indonesia. Segera
setelah Sri Sultan HB IX menyatakan Yogyakarta bergabung bersama Republik
Indonesia, RUU Pokok Pemerintahan Pemerintahan Yogakarta telah dimulai meski
tak kunjung selesai. Akan tetapi kondisi itu tidak membuat Sri Sultan HB IX
menarik dukungan terhadap Indonesia atau bahkan terjebak politik adu domba belanda
yang sempat menjadi sebab munculnya negara boneka.
Thomas R. Dye
(2012)[3] mengatakan bahwa Public Policy is whatever governments choose to do or not to do.
Termasuk ketika tak ada kebijakan apapun untuk menyanggah Amanat 5 September
1945 segera setelah pernyataan tersebut keluar, maka bisa dikatakan pemerintah
NKRI menyepakati amanat tersebut. Satu-satunya ketentuan yang berkorelasi
dengan keistimewaan adalah Pasal 18B ayat1 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa
“Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”
Hingga kemudian lahirlah UU No.3 tahun 1950 tentang
Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. UU tersebut memberikan wewenang kepada Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta untuk mengatur rumah tangganya sendiri termasuk
masalah agraria[4]. Hal
tersebut tentu mengokohkan keistimewaan DIY. Salah satu bentuk dari kewenangan untuk
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri di bidang agraria tersebut adalah
diterbitkannya Instruksi Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor K.898/I/A/1975
tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah kepada Seorang WNI Non
Pribumi.
Bagaimana dengan
Keppres RI nomor 33 Tahun 1984?
Tanggal 9 Mei 1984 keluar Keppres RI nomor 33 Tahun 1984
tentang pemberlakuan sepenuhnya UU No 5 tahun 1950 di DIY, berlaku surut sejak
1 April 1984. Untuk melaksanakan ketentuan tersebut, ada Keputusan Menteri
Dalam Negeri No 66 tahun 1984 tentang Pelaksanaan Pemberlakuan sepenuhnya UU No
5 tahun 1950 di Provinsi DIY. Atas lahirnya peraturan tersebut, Pemda DIY sudah
mengakomodir dengan Perda DIY No.3 thn 1984 tentang Pelaksanaan Pemberlakuan
sepenuhnya UU No 5 thn 1950 di Provinsi DIY.
Yang menarik adalah sejarah lahirnya Keppres RI No 33 tahun
1984 itu justru dari Hamengku Buwono IX selaku Gubernur DIY (Yudarianto, 2007). Akan tetapi, keberadaan
Keppres No.33 tahun 1984 tidak menghilangkan keberadaan kraton Yogyakarta
sebagai suatu pemerintahan otonom di DIY sebagaimana diungkapkan Nurhasan
Ismail (2003:67)[5]
“Keberadaan tanah-tanah kesultanan dan pura pakualaman dengan sistem hukum pengaturnya sendiri harus diakui dan diperhatikan. Pengakuan tersebut bukan karena norma-norma dalam Rijksblad dan kelembagaan pendukungnya seperti ‘Panitikismo’ masih ada dan fungsional, namun juga karena Keppres No33/1984 jo Kepmendagri No 66/1984 tidak menuntut pemberlakuan UUPA sepenuhnya secara otomatis terhadap semua kelompok tanah tersebut di atas. Dalam Kepmendagri tersebut dinyatakan: “Karena masih terdapat hal-hal yang memerlukan penelitian dan pengkajian lebih lanjut agar pelaksanaan pemberlakuan itu dilakukan secara bertahap”
Di antara hal-hal yang masih harus diikaji dan diteliti ini
tentunya tanah-tanah Kasultanan dan Pura
Pakualaman karena tidak sekedar menyangkut hubungan antara kelompok-kelompok
masyarakat yang menguasai dan menggunakan tanah dengan pihak kasultanan dan
Pura Pakualaman yang tentunya berlandaskan ikatan emosional, namun juga terkait
dengan aspek politis. Bagaimanapun juga, posisi Sultan dan Paku Alam secara
politis di lingkungan kelompok-kelompok tertentu di DIY masih mempunyai
pengaruh. Di samping tentunya peranan kedua bekas kerajaan ini secara historis
terhadap RI tidak dapat diabaikan begitu saja.
Yudarianto (2007: 46) menjelaskan lebih lanjut bahwa
Konsekuensi dikeluarkannya Perda Prop DIY No 3 tahun 1984 yang merupakan aturan
pelaksana Keppres No33/1984 juncto Kepmendagri No66/1984, maka ketentuan
agraria yang dibuat oleh DIY khususnya yang bertentangan dengan UUPA tidak
berlaku lagi. Hal ini ditunjukkan oleh ketentuan pasal 3 Perda Prop DIY No 3
thn 1984 yang menyebutkan bahwa dengan berlakunya Perda ini, maka segala ketentuan
peraturan perundang-undangan DIY yang mengatur tentang agraria dinyatakan tidak
berlaku lagi. Tetapi yang harus diperhatikan, pemahaman pasal ini adalah
Pemprov DIY dalam menjalankan pemerintahannya harus memperhatikan keberadaan
pihak Kraton Yogyakarta. Pasal ini tidak dapat dapat dijadikan dasar bhw UUPA
harus diberlakukan tanpa pandang bulu di Provinsi DIY.
Instruksi Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor
K.898/I/A/1975 harus mendapat kajian yang sangat mendalam apakah bertentangan
dengan UUPA atau tidak, berdasarkan sejarah DIY dan juga tujuan, fungsi dan keefektifan
Instruksi itu sendiri.
Apakah Instruksi
Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor K.898/I/A/1975 rasis?
Untuk mengetahui apakah Instruksi tersebut rasis atau tidak, penting untuk
melihat latar belakang lahirnya aturan tersebut. Menurut KGPH Hadiwinoto
(melalui Yudarianto, 2007), adanya instruksi tersebut secara tidak langsung
berkaitan dengan tanah kraton sebab sampai pada tahun 1975 tidak ada pengakuan
hitam di atas putih di mana saja tanah kraton. Kraton bukanlah perorangan
ataupun badan usaha sehingga tidak bisa memiliki hak atas tanah.
Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa urgensi
Instruksi tersebut adalah untuk menyelamatkan tanah kraton. Cukup dapat
dipahami bahwa dengan situasi belum jelasnya definisi keistimewaan DIY, DIY
sendiri mengalami kesulitan untuk ‘mengklaim’ secara legal tanah-tanah yang
‘dimiliki’. Mengapa di kemudian hari justru isu rasisme yang merebak? Mari kita
perhatikan bunyi Instruksi tersebut:
“Guna penyeragaman policy pemberian hak atas tanah dalam wilayah DIY kepada seorang warganegara Indonesia non pribumi, dengan ini diminta: Apabila ada seorang Warganegara Indonesia non pribumi membeli tanah hak milik rakyat, hendaknya diproceskan sebagaimana biasa, ialah dengan pelepasan hak, sehingga tanahnya kembali menjadi tanah Negara yang dikuasai langsung oleh Pemerintah Daerah DIY dan kemudian yang berkepentingan / melepaskan supaya mengajukan permohonan kepada Kepala Daerah DIY untuk mendapatkan sesuatu hak”
Kata ‘non pribumi’ inilah yang kemudian menjadi polemik.
Dianggap mengurangi hak etnis tertentu. Padahal bila merujuk ke tujuan
Instruksi sebagaimana diungkapkan oleh KGPH Hadiwinoto, maka instruksi tersebut
bermaksud ‘melindungi kepentingan kraton’.
Pertanyaannya adalah: mengapa menggunakan istilah ‘non
pribumi’?
Dalam kajian linguistik ada istilah-istilah yang umum
dipakai di suatu masa, bahkan populer. Kata-kata itu bisa hilang begitu saja
saat sudah ada kata baru yang menggantikan fungsinya, atau memang diputuskan
tak lagi dipakai. Sebagaimana istilah pelakor yang akhir-akhir ini popular,
selain memiliki konotasi yang peyoratif bagi perempuan, kata itu pada masanya
pernah diwakili oleh istilah WIL alias Wanita Idaman Lain. Tentu saja keduanya
memiliki konotasi yang berbeda.
Besar dugaan saya bahwa HB IX menggunakan istilah ‘non
pribumi’ karena istilah tersebut dirasa paling mendekati situasi yang
diinginkan saat itu; bahwa penguasaan Hak atas Tanah hanya dimiliki oleh kalangan
tertentu saja. Selain itu, bisa jadi saat itu, mohon koreksi jika saya salah,
penggunaan istilah pribumi-nonpribumi belum se-sensitif saat ini. Term tersebut
secara legal memungkinkan untuk dipakai. Sebab DIY memiliki keistimewaan untuk mengatur sendiri urusan rumah tangganya. Bisa jadi beliau tidak menemukan istilah yang tepat untuk menggambarkan kedudukan penduduk asli DIY sebagai daerah istimewa (sehingga bisa mengatur secara tersendiri) dibanding istilah 'WNI' yang batasannya jelas. Sebaliknya, jika memang yang disasar adalah etnis tertentu, kenapa tak
langsung disebutkan saja secara gamblang? Menimbang profil HB IX dengan kebijaksanaannya, saya rasa beliau akan memilih istilah yang lebih baik dari 'non pribumi' jika memang ada, saat itu.
Penggunaan istilah non pribumi tak lepas dari istilah
pribumi itu sendiri sebagai kata yang dikecualikan. Istilah pribumi, yang
merupakan produk turunan Devide et Impera,
belum terasa semenyakitkan pasca reformasi 1998, di mana non pribumi menjadi
begitu lekat pada etnis tertentu disertai dengan diskriminasi. Hal itu yang
kemudian menjadi dasar Instruksi
Presiden No 26 tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan
Nonpribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan
Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintah. Dalam
Instruksi Presiden tersebut,penggunaan istilah pribumi dihentikan dalam semua
kegiatan penyelenggaraan pemerintah.
Harap diingat bahwa selain rasa sakit yang muncul akibat
penggunaan istilah tersebut, pelarangan penggunaan istilah pribumi, apalagi non
pribumi, baru muncul tahun 1998 sebagaimana dijelaskan di atas. Bahkan, baru
tahun 2008 ada undang-undang terkait istilah pribumi, yakni dalam UU No 40 tahun
2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Lalu,bagaimana
menyikapi ketentuan terkait penghentian penggunaan istilah pribumi?
Memperhatikan alasan kelahiran Instruksi Kepala Daerah Daerah
Istimewa Yogyakarta Nomor K.898/I/A/1975 terkait menyelematkan tanah kraton,
maka UU Keistimewaan telah hadir untuk menjawab kepentingan tersebut. Kraton
Ngayogyakarta kini merupakan badan hukum resmi yang memiliki kewenangan secara
legal atas tanah.
Tentu saja, sebagai daerah dengan definisi keistimewaan yang semakin jelas, DIY memiliki kewenangan untuk mengatur sendiri hal-hal terkait rumah tangganya. Salah satu urusan rumah tangga tersebut adalah urusan agraria alias pertanahan. Adalah kewenangan penuh Bagi DIY untuk menentukan siapa saja yang bisa memiliki Hak atas Tanah di DIY.
Menimbang latak belakang lahirnya Instruksi Kepala Daerah
yang fenomenal ini, Sri Sultan HB X selaku Gubernur DIY saat ini memiliki
setidaknya dua alternatif sikap. Pertama adalah mempertahankan kebijakan
tersebut dengan penyesuaian istilah. Mengingat cita-cita Instruksi tersebut
adalah menyelamatkan, dalam arti hari ini menjaga, aset-aset yang dimiliki
Kraton. Di sisi lain, istilah non pribumi sudah tidak lagi digunakan di
Indonesia. Perlu dicari istilah yang lebih baik, yang merepresentasikan
cita-cita awal, tanpa menyakiti pihak manapun. Kedua adalah meninjau kembali
kebijakan tersebut. Apakah perlu mencabut kebijakan tersebut. Tentu saja
basisnya adalah arah DIY ke depan. Mau jadi apa Yogyakarta? Dengan segala
keistimewaannya. Akankah istimewa bagi segelintir orang, istimewa bagi yang
tinggal di Yogyakarta, atau mau menjadi istimewa bagi Indonesia dan seluruh
dunia?
Tabik.
[1]
Artikel daring”Handoko: Saya Akan Terus Berjuang Melawan Rasisme Tanah” https://kumparan.com/tugujogja/soal-pertanahan-di-yogyakarta-handoko-saya-akan-terus-berjuang-melawan-rasisme-tanah
[2]
Artikel daring “Ini Penyebab WNI Keturunan di Yogya tak Bisa Punya Tanah” Kamis,
Maret 2018: http://republika.co.id/berita/kolom/wacana/18/03/01/p4v0mx385-ini-penyebab-wni-keturunan-di-yogya-tak-bisa-punya-tanah
[4]
Yudarianto,Satrio. 2007. Kedudukan
Instruksi Kepala Daerah Daerah Istimewa YogyakartaNomor K.898/I/A/1975 dalam
Perundang-undangan Indonesia dan pelaksanaannya di Kabupaten Bantu, Tesis.
UGM
[5]
Ismail,Nurhasan. 2003, Menempatkan
Realitas Pertanahan Lokal dalam Rancangan UU Keistimewaan DIY, Mimbar HukumNo.43/II/2003,
Yogyakarta