Minggu, 15 November 2015

Ceritanya Initiating Action

Kembali berkegiatan ala-ala anak muda, saya tertarik melihat profil seseorang, ditambah dengan ujaran “Kowe sehat? Ora” yang dilontarkan seorang kakak di perjalanan pulang, saya tergelitik menengok laman facebooknya. Pucuk dicita, ulam pun tiba. Voila, saya menemukan tulisan ini:
“Kowe Sehat ? Ora ;) Ketidakwarasan inilah yang membuat kita mau melakukan semua ini. Kalo waras, pasti kita ga bakal mau menanggung semuanya.Pengorbanan ? Bukan. Ini hanyalah sebuah pilihan. Pilihan untuk berbuat sesuatu, pilihan untuk melakukan, dan pilihan untuk tidak menyesal.Yup...tidak menyesal karena tidak melakukan hal-hal yang seharusnya bisa kita lakukan tapi urung di lakukan dengan alasan lelah, ga mood, bukan jobdescnya maupun alasan konyol seperti ga paham apa yang harus dilakukan tapi ga mau bertanya. Rasa lelah dan kantuk yg melanda, demam bahkan opname tak kan mampu menghentikan kita.Demi apa ? Demi kesuksesan acara...bukan Demi membantu teman...bukan Demi penghargaan...bukan Demi harta...bukan (kl dapat ga nolak loh :-D) Demi apa ya ??? Entahlah. Mungkin demi kepuasan pribadi.”

Saya teringat sebuah kata: Initiating Action. Sebuah perilaku melakukan lebih dari yang diminta. Mengerjakan tugas melebihi tugas pokok yang dibebankan. Tapi ada ragu yang terbersit. Apa iya, itu yang dimaksud dengan Initiating Action?
Saya teringat diskusi saya dengan seseorang mengenai definisi Initiating Action ini. Meninjau perilaku saya yang selalu memback-up tugas guru lain yang sering kali, bahkan tiba-tiba tidak hadir ke sekolah. Menghandle kelas rangkap di angka dua atau tiga Rombel adalah suatu ‘hal biasa’. Bahkan pegang 4-5 kelas bersamaan hampir pasti terjadi tiap minggu. Saya merasa telah melakukan Initiating Action, dimana tanggung jawab saya sebagai wali kelas 3 hanyalah ‘sekedar’ menangani kelas tersebut. Harapannya sih, rekan guru yang lain meniru perilaku saya itu, dengan senang hati menghandle tugas rekan lain yang tidak masuk. Tentu saja saya berharap esok mereka tak lagi-lagi tidak masuk tanpa pemberitahuan. Atau bahkan bergantian mengisi kelas saya saat saya tak bisa masuk kelas. Sekali dua kali, sebulan dua bulan, hal itu terjadi berulang kali, tapi perubahan yang saya harapkan tak jua muncul. Saya mulai lelah, lantas memutuskan untuk berdiskusi, barangkali ada yang kurang tepat dari metode saya.
Setelah sesi curhat yang cukup panjang, sampailah pada giliran rekan yang saya curhati untuk memberi feed back. Ia bertanya tentang faktor apa yang mungkin jadi penyebab belum ada perubahan sikap (pada rekan guru), meski sudah diberi contoh berulang kali. Jawaban saya tentu sederhana: Kasihan anak-anak, sudah semangat sekolah, tapi tidak ada yang mengajar. Ia bertanya: "Sudah disampaikan kah?"
Lalu saya teringat, tujuan itu, tujuan yang tak pernah tersampaikan ke para rekan guru. Sehingga bisa jadi tugas lebih yang saya over-handle saat itu tak memberikan hasil yang signifikan. Justru hal sama berulang terus.
Lantas saya terpikir untuk meninjau kembali definisi Initiating Action. Menurut sebuah buku pegangan tentang Kompetensi Kepemimpinan yang dibuat oleh sebuah lembaga dimana saya sempat terlibat di dalamnya, definisi Initiating Action adalah “Kemampuan untuk bertindak segera untuk mencapai tujuan; melakukan tindakan untuk meraih sasaran melampaui yang disyaratkan, bersikap proaktif. Perilaku utama: 1. Berespon dengan cepat, 2. Bertindak independen, 3. Melakukan lebih dari yang disyaratkan.
Gotcha, ada satu hal yang saya lupakan: tujuan besar. Kompetensi Initiating Action tidak sekedar reaktif memback up tugas orang lain. Tapi melakukan hal yang seharusnya dilakukan untuk mencapai target. Di tempat saya bekerja saat itu jelas, tujuan besarnya adalah perubahan perilaku. Maka, (selalu) memback up tugas rekan lain seperti yang biasa saya lakukan saat itu justru menjadi semacam ‘parasit’, mendukung ketidakseimbangan selalu terjadi dengan menambal setiap lubang yang ada. Padahal, yang harus diperbaiki adalah sistemnya, menata ulang tata kerja.

Bagaimana cara kerjanya? Komunikasi. Sampaikan hal-hal yang memang perlu dibenahi. Kita bukan Superman yang bisa selalu mebereskan semua hal. Toh kita tak selamanya ada di situ, Pun, yang paling penting, sistem yang bekerja secara optimal dan kontinyu oleh semua komponen lah yang menajdi tujuan akhirnya, kan? Seperti tubuh yang sakit, minum obat bukanlah jawaban utama untuk ‘sembuh’, perubahan perilaku agar luka yang sama tidak terjadi lah yang terpenting. Bukan begitu?

Selasa, 27 Oktober 2015

Berbeda

Beberapa orang bilang bahwa menjadi berbeda adalah menyenangkan. Being different, and proud. Beberapa yang lain, yang merasa minoritas, merasa tertekan. Tidak menjadi kebanyakan orang membuat gerak mereka terbatas. Belum lagi bullying-bullying yang menerpa. Semakinmempertegas perbedaan yang ada. Benarkah?
Apa yang membuatmu nyaman?
Seorang kawan menyebar sebuah kuis di grup bincang-bincang online. Kuis tentang kepribadian berdasarkan situasi yang membuat kita nyaman. Sambutan anggota grup cukup riuh. Ada yang bahkan mengganti pilihannya. Saya sendiri terpaku. Merasa asing pada pilihan yang ada. Bukan karena tak pernah mengalami. Hanya saja definisi situasi yang ditawarkan sama sekali tak memberikan kesan tenteram pada diri saya. Meski telah sekuat tenaga membayangkan. Lantas saya mencoba membalik premis. Tarik nafas dalam-dalam, and I bring myself into peace. Very cozy and comfort place. Then I open my eyes. Slowly but sure. Darkness, total darkness.
Sempat tertegun sampai akhhirnya saya menyadari bahwa kegelapan dalam arti sesungguhnya lah, yang selama ini menenangkan diri saya sendiri. Ada alasan, mengapa mennarik napas panjang hampir selalu diiringi memejamkan mata. Sebuah alasan yang sama, mungkin saat sebuah semburat silau menantang, kelopak cenderung menyipit dan menoleh ke belakang. Sometime we need to get back. Make some space from the world. Manage ourself in a milisecond to face the bright, in darkness.
Kita mungkin saja sangat menikmati hamparan luas salju putih. Selentingan memori kanak-kanak membuat salju begitu menggoda. Seolah permen kapas yang siap dijilat. Bayangan permainan ski juga melambai-lambai. Meluncur dengan luncuran sempurna.
Kita mungkin saja begitu bahagia di tengah padang savana. Angin sepoi-sepoi dengan aroma rerumputan, belaian ilalang di tangan seiring perjalanan. Hangat matahari seakana memeluk erat tubuh.
Atau bisa saja kita begitu menyukai deburan ombak, bunyi angin yang begitu merdu beradu dengan kelintingan yang saliing berdenting. Bau garam ikut meninabobokan raga.
Atau barangkali hutan hujan tropis membuat kita nyaman? Dengan bermacam buah menggelantung, pekik hewan-hewan membentuk harmoni, sejuk embun mencumbu setiap inci kulit kita.
Tapi ingatkah kita apa yang membuat lelah kita benar-benar hilang? Yang menenangkan kita setelahnya? Yang sebentar saja mengisi kembali semangat kita?
Tidur. Tidur yang berkualitas. Tidur yang kita lakukan dengan memejamkan mata. Mengantarkan jiwa dan raga pada ... gelap.

Masihkah kita berbeda?
Masing-masing dari kita punya cara sendiri untuk mendeskripsikan diri.  Ada yang monoton, ada yang multiwarna. Jangan pernah lupa, semua memiliki kesamaan: warna

Kamis, 20 Agustus 2015

Merdeka?

Tanggal 17 Agustus baru saja berlalu. Hingar-bingar kemerdekaan masih terasa kental. Suasana yang sungguh sangat menyenangkan, sekaligus mengusik. Kemerdekaan macam apa yang kita ‘anut’?
Saya teringat perbincangan dengan seorang dua orang kawan, yang satu teman ‘seperjuangan’ selama setahun ke belakang mengajar di tempat dengan kualitas pendidikan yang tak sebaik Ibukota (saya memilih istilah tersebut daripada tempat-terluar-tertinggal-terisolir, sebab sebagian tempat mengabdi ada yang jaraknya hanya sekian jam dari ibukota, masih di pulau Jawa, tapi kondisinya sangat berbeda dengan daerah di jawa pada umumnya), yang satu lagi memilih bekerja di perusahaan asing  di bidang perminyakan. Si teman pertama, teman seperjuangan saya, menyelutuk bahwa si teman kedua ini adalah pengkhianat rakyat; bekerja di usaha yang jelas-jelas merampok sumber daya alam indonesia.”Kapan mau ikut serta membayar janji kemerdekaan untuk mencerdaskan anak bangsa?” katanya dengan nada menyindir.
Si teman kedua ini terdiam. Pelan-pelan ia berkata adakah si teman pertama ini bicara demikian karena kiprahnya setahun belakangan?.
“Jelas sih bedanya, elu setahun ngajar di tempat terpelosok, bikin anak-anak yang tadinya gak bisa baca jadi baca, orang-orang jadi nganggep pendidikan itu penting banget. Beda yah, sama gue. Kerja dapet duit banyak dari hasil rampok minyak (bangsa-red) sendiri” Ia terdiam sejenak sebelum akhirnya melanjutkan.
“Tapi gua percaya, gua gak akan selamanya di sini (di perusahaan minyak-red). Gua Cuma ngumpulin modal seperlunya, biar nanti bisa berbuat sesuatu. Mungkin Cuma sekedar nyekolahin anak orang setinggi-tingginya, tapi gue janji gue akan berbuat sesuatu dari duit rakyat ini” suaranya mulai bergetar, dan saya mendapat afirmasi dari keluhannya selama ini. Lulusan perguruan tinggi teknik ternama di Bandung ini kadang merasa berdosa bekerja di perusahaannya sekarang, seringkali kuanggap sebagai guyonan. Jaman sekarang, mana ada sih yang gak suka dapat duit banyak?
Saya pun merasa malu, setahun di daerah pun sebenarnya gak banyak-banyak amat yang kami kerjakan. Rasanya sombong sekali membanggakan apa yang telah kami lakukan, padahal di sana jauh lebih banyak yang ‘melakukan sesuatu’ tanpa publisitas yang jor-joran. Sebuah karya tanpa gema. Hanya karena kami utusan sebuah LSM pendidikan yang prestisius, apa yang kami kerjakan seringkali diberitakan dengan sangat positif seolah-olah hal tersebut adalah yang luar biasa. Padahal sebenarnya biasa-biasa saja.
Lantas saya teringat perbincangan di malam sebelum peringatan hari kemerdekaan digelar. Seorang teman lain, yang juga teman seperjuangan di daerah selama setahun melempar bola panas: mau apa besok di tanggal 17. Pesannya jelas: mengajak semua untuk berdiri sejenak, menghargai jasa para pahlawan. Demikian itu lebih baik daripada tidur seharian. “Masak para pahlawan udah mengorbankan nyawanya agar kita merdeka,dan elo Cuma tidur seharian?!”
Saya separo setuju dengannya. Sepakat bahwa kita harus menghargai mereka yang telah berjuang untuk kita, yang telah ataupun belum mendahului kita di dunia. Tapi bagi saya, caranya tak melulu dengan upacara di pagi hari.
Saya teringat seorang tua yang saya temui di Shalat Idul Fitri di kampung, tapi tak saya temui di perayaan 17an kampung. Memeriahkan lomba pun tidak. Ia masih membanting tulang. Bukan untuk mengisi kemerdekaan, tapi sekedar untuk mengisi perut anak-anaknya. Lantas, setelah setahun penuh berpeluh demi sesuap nasi, bahkan di hari raya. Alih-alih berkumpul bersama keluarga, Ia mengumpulkan koran bekas sisa Sholat Ied untuk dijual. Maka hari itu, hari kemerdekaan yang sesungguhnya baginya. Hari dimana Ia benar-benar merdeka, dimana Ia mendapatkan haknya sebagai pekerja secara utuh: libur.
Seperti apa konsep merdekamu? Apakah kita masih akan memaksakan konsep merdeka kita pada yang lain? Mewarisi kultur primordialisme yang mengagungkan keseragaman sudut pandang? Saya memilih untuk merdeka; menghargai setiap pilihan yang dibuat oleh orang lain, pun juga diri saya sendiri.

PS: Tulisan ini fiksi, bila ada kesamaan tokoh dan cerita, demikian hanya kebetulan semata

Jumat, 24 Juli 2015

Taklif

Ganda berdecak. Sebuah carrier 70 liter, daypack 35 liter berlogo Ekspedisi, sebuah drypack 50 liter serta sebuah slingback telah berjajar rapi. Telepon genggamnya bergetar, sebuah pesan pendek masuk. Nomor baru.
“Ibu tulus uih ayiena?”[1]
“Nyah, Ulah ceurik nyah...”[2]
“Moal Bu, mun kangen bae Parid mah... Ibu engke kadie deui doang Pak Agung jeung Pak Bagus lin?[3]
Ternyata dari Parid, anak multitalenta yang baru saja lulus sekolah dasar.
“Insya Allah...”
Setahun sudah perjalanan Ganda. Kali ini bermetamorfosis menjadi guru. Berjibaku, mencoba berbagi kisah-kisah perjalanannya. Bergulat dengan keterbatasan, mencoba melengkungkan sedikit bibir membentuk senyum, senyum kepercayaan bahwa dengan belajar, kesempatan semakin terbuka. Setahun yang penuh dengan cerita.
Rasanya baru kemarin, Ia datang dan berjabat tangan dengan pendahulunya. Melepas mereka untuk purna tugas, sambil mereka-reka; bagaimana melewati satu tahun ambisius penuh penanda kemajuan. Ia bukan tipikal perempuan tulen yang merebut hati anak-anak dan ibu-ibu dengan kelembutan. Tapi toh Ia hanya sekedar ‘terduga laki-laki’ –meminjam istilah Sudjiwotedjo untuk manusia yang menganggap dirinya laki-laki, tapi tak mendapati barang bukti di balik sarungnya- yang tidak cukup macho untuk bergulat bersama pemuda dan bapak-bapak di kompetisi sepakbola. Ia, Ganda, hanya seorang laki-laki yang berbungkus raga perempuan.
Sampai Ia memutuskan untuk lepas. Mengalir dalam alunan bertajuk takdir. Sisi maskulin dalam dirinya menolak menjadi lemah. Dan feminitas dalam raganya menunjukkan jatidirinya. Ia harus bertahan hidup. Perjalanan setahun tiba-tiba terasa seperti sekelebat bayangan. Adu sengit strategi tim di kompetisi bola, saling sahut dengan anak-anak di perayaan kemerdekaan, mengompori rekan guru untuk membuat kemah kecamatan, mencicipi kuliner di setiap rumah murid dengan alibi kunjungan wali murid, bermalam bersama anak-anak dari satu lombake lomba lain. Bersenda gurau di antara pelajaran tambahan, suara yang meninggi dipicu perkelahian antar murid, bergosip di antara sharing dengan rekan guru. Sungguh perjalanan melawan batas diri.
Rasanya tetap seolah belum melakukan apapun, rasanya masih banyak yang harus digarap, rasanya ah... rasanya sulit membayangkan orang lain mampu meneruskan perjalanan ini. Tapi ganda harus bergegas. Waktunya telah habis, saatnya beranjak. Bukan berbalik, pergi dan tak pernah kembali. Bukan lari dan acuh. Ini tentang mereka, bukan lagi tentangnya. Setiap orang punya masa, setiap masa punya orang.
 
Gambar diambil dari Album Facebook Kreshna Aditya yang berjudul Pasar Bahasa


P.S: Tulisan ini terinspirasi dari Pasar Bahasa Kreshna Aditya


[1] Ibu jadi pulang sekarang? Bahasa Sunda Banten
[2] Iya, jangan nangis ya...
[3] Tidak akan, Parid takut kangen. Ibu nanti datang ke sini lagi seperti Pak Agung dan Pak Bagus kan?

Selasa, 21 Juli 2015

Bonsai

Bonsai menurut wikipedia adalah tanaman atau pohon yang dikerdilkan di dalam pot dangkal dengan tujuan membuat miniatur dari bentuk asli pohon besar yang sudah tua di alam bebas.

we know that.

Bonsai, sebuah kata yang tak asing lagi, kita tahu apa itu bonsai, meski tak selalu kita jumpai. Mungkin hanya di daerah saya saja sih. Bahkan, di era saya remaja, bonsai jadi sebuah ledekan hangat bagi seorang kawan yang tentu saja berbadan mungil, alias semampai; semeter tidak sampai.

Secara ringkas, tanaman yang dibonsai harus dipotong dahannya secara rutin sesuai dengan rencana agar tumbuh sesuai dengan rencana. Tentu saja, dahan yang dipotong adalah semua dahan yang tidak diinginkan, dahan yang tumbuh tidak sesuai harapan. Meski dahan itu terlihat bagus, kuat dan sehat. bila tak sesuai dengan bentuk ideal, maka dia harus dipotong. Sebaliknya, meski dahan yang tumbuh ringkih, dahan tersebut akan dirawat; bisa jadi dibiarkan tumbuh, atau dipotong terlebih dahulu agar tumbuh tunas pengganti yang lebih kuat.

Saya tak sedang membahas teknis membuat bonsai, saya bukan ahli bonsai.

Saya hanya sedang teringat akan bonsai saat berbincang dengan seorang kawan, tentang kehidupan.

No one have to take responsibility of my life except myself. I am the united of my past choices
kata-kata itu tertancap kuat di kepala saya akhir-akhir ini. Hingga seorang kawan menyelutuk; 
".. So by seeing the condition that I am in right now,  my choices were not good"

Saya tersentak.
I have nothing to said.

Perlu hampir 45 menit bagi saya untuk berpikir keras, berusaha memahami kata-kata kawan tadi.

Lantas saya teringat, beberapa kali dalam hidup saya, saya merasa telah mengambil keputusan yang 'salah'. Lalu saya mencoba membayangkan, bila saat itu saya mengambil keputusan yang berbeda, bagaimana keadaan saya sekarang? Pasti tidak sama. Mungkin lebih baik, jauh lebih baik, tidak lebih baik atau bahkan tidak baik.

Life is about choices, even it's just a yes no question.
Disadari dan diakui atau tidak, kita selalu punya pilihan untuk kita pilih. Kita yang memilih untuk bangun pagi pukul berapa, dan melakukan apa setelahnya. Kita bisa memilih melanjutkan hari-hari membosankan yang telah kita lalui, atau membuat arah baru. Kita bisa memilih untuk 'memilih' orang yang kita cinta, atau memilih orang yang 'memilih' mencintai kita. Kita bisa memilih merasakan kehadiranNya atau mengabaikanNya. 

Persis seperti bonsai.
Setiap bonsai dibentuk mengacu bentuk dasar tertentu. Tegak lurus, tegak berkelok-kelok, miring, sarung angin, dan sebagainya. 
Seorang pembonsai harus memotong setiap dahan yang tak sesuai dengan bentuk dasar yang diacu. Dahan yang tak diinginkan, yang tak sesuai dengan bentuk dasar acuan, bisa jadi dahan yang sangat bagus sehat, kuat. Tapi 'bagus', 'sehat' dan 'kuat' saja tak cukup. Hingga pada akhirnya, parameter 'benar' maupun 'salah' adalah kesesuaian bentuk bonsai saat ini, dengan bentuk dasar acuan. Hanya dahan yang sesuai dengan bentuk dasar acuan yang boleh tumbuh.

I am not the Bonsai. I have no blue print of my life.

And yes we are, but we do have a blue print. Sebuah tinta biru kehidupan yang bisa jadi belum kita pahami bentuk keseluruhannya. Sebuah rencana kehidupan maha dahsyat yang bekerja secara menakjubkan, mengarhkan kita pada pengambilan keputusan tertentu yang mungkin nampak random, tapi pada akhirnya bagian dari pola yang begitu personal. There is harmony in chaos. Saya menyebutnya Takdir.
(sumber gambar: wikipedia)