Sabtu, 10 November 2018

Pelecehan Seksual (dan Bagaimana Cara Pers Memberitakan)



Setelah berdiskusi dengan beberapa kawan, serta didesak untuk menulis sebuah opini utuh, tak sekedar mengkritisi tulisan lain, akhirnya saya memutuskan untuk mencoba menulis kembali. Sudah lama saya tidak menulis hal yang cukup serius. Jadi biarkan saya menulis dengan logat tutur ala warganet kekinian. Semoga tidak mengurangi minat rekan-rekan untuk mebaca sedikit curahan pikiran saya. Sebuah peringatan awal dari saya, tulisan ini akan menggunakan beberapa kata yang vulgar. Jadi jika anda tidak suka dengan kata-kata yang vulgar, dan atau belum sampai pada usia yang cukup, silahkan balik kanan.

Tentang pelecehan seksual, sebuah term yang seksi bagi sebagian pihak, sangat menarik untuk dibahas, tetapi masih menjadi tanda tanya besar bagi sebagian yang lain. Merujuk pada berita yang viral beberapa waktu yang lalu, yakni dugaan kasus pemerkosaan mahasiswa sebuah PTN oleh rekan sesama mahasiswa di sebuah kegiatan kampus, warganet yang terlibat pada perdebatan penggunaan istilah ‘perkosaan’ atau ‘pelecehan’ adalah contoh dari sekelumit kelompok yang memiliki literasi cukup, dibanding mereka yang bahkan masih bertanya-tanya apa itu pelecehan.

Saya sendiri merasakan jurang pemahaman itu ketika di lingkungan terkecil saya muncul pertanyaan: “Sebenarnya batasan tindakan terhadap perempuan yang dianggap sebagai pelecehan itu kayak gimana?”

Cukup mengejutkan, mengingat pertanyaan itu muncul dari seorang rekan dengan latar belakang antropologi. Bisa jadi, yang bersangkutan hanya sekadar melakukan tes ombak. Tapi kebisuan yang merebak menjadi salah satu sinyal kuat bagi saya bahwa pemahaman yang kuat belum menjadi bagian dari pengetahuan dasar kelompok tersebut. Bisa jadi sebagian tahu, tapi tidak cukup yakin untuk menyampaikan pendapat. Di kehidupan sehari-hari, bisa jadi kelompok ini adalah bagian yang masih ragu mengkategorikan sebuah tindakan sebagai ‘pelecehan’.

Maka, jangankan term pelecehan seksual, kata ‘pelecehan’ saja, bagi sebagian pihak, masih cukup asing. Saya cukup memahami kondisi ini, misalnya di suatu daerah yang nuansa kekeluargaannya masih cukup kental. Sapaan yang mengandung pujian memang tulus. Biasa digunakan sehari-hari untuk merekatkan hubungan sosial.

Secara umum, ada dua istilah yang diperdebatkan untuk merujuk dugaan kasus itu, pelecehan dan perkosaan. KOMNAS Perempuan (sebelumnya saya menyebut KOMNAS HAM) menyebut bahwa Perkosaan adalah serangan dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual dengan memakai penis ke arah vagina, anus atau mulut korban. Bisa juga menggunakan jari tangan atau benda-benda lainnya. Serangan dilakukan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, penahanan, tekanan psikologis, penyelahgunaan kekuasaan, atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang penuh paksaan. Definisi ini, merupakan definisi paling mutakhir menyikapi kasus perkosaan dengan gagang pacul yang sempat viral beberapa waktu yang lalu.

Sedangkan menurut KUHP, yang hingga kini belum direvisi, dugaan kasus kemarin hanya tergolong pencabulan (bahkan bukan pelecehan!) karena tidak ada persetubuhan yang dimaknai sebagai penetrasi penis ke vagina. Secara rinci Pasal 285 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan, “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.” Menurut tulisan yang viral beberapa waktu yang lalu, terduga pelaku diduga menggerayangi dan menciumi tubuh terduga korban serta memasukkan jarinya ke vaginanya. Maka hal itu bukan pemerkosaan melainkan pencabulan, sebagaimana diatur dalam Pasal 289 KUHP.

Informasi di atas, sebenarnya justru informasi yang perlu disampaikan pada masyarakat. Bahwa spektrum hukum kita belum direvisi cakupannya, bahwa mulai ada definisi-definisi yang lebih berpihak pada keadilan terduga korban, dan sebagainya.

Kurangnya literasi masyarakat di isu ini sebenarnya merupakan ‘lahan garapan’ potensial bagi pers untuk menjalankan peran sebagai media pendidikan masyarakat. Pers, perlu mengambil langkah yang progresif terkait kurangnya literasi ini dengan tetap memperhatikan fungsi dan etika yang mengikat. Lantas, bagaimana seharusnya pers berperan?

Sebagai media informasi, penting bagi pers untuk menyuarakan dugaan kasus yang diduga tak kunjung mendapat penangan yang optimal ini. Harus diakui, dalam usaha menyajikan data, investigasi yang dilakukan oleh Balairung sangat luar biasa hebat. Berani menyentil berbagai pihak terkait. Bisa jadi, penanganan yang berlarut dan tak kunjung memberikan hasil yang diharapkan oleh terduga korban membuat terduga korban akhirnya memutuskan untuk buka suara dengan segamblang-gamblangnya, termasuk mengizinkan Balairung untuk menuliskan secara detil apa yang ia alami. Di sinilah ujian bagi pers yang diikat beberapa etika seperti perlindungan korban dan netralitas.

Mendapat ijin bukan berarti lantas perlu dipublikasikan. Sebab selain sebagai media informasi, pers juga menanggung fungsi sebagai media pendidikan masyarakat. Dengan informasi yang segamblang itu, apakah masyarakat siap, cukup dewasa untuk menerima informasi tersebut alih-alih fokus pada kekepoan mencari tahu persona terlibat? Apakah informasi yang akan disebar mampu secara efektif mendidik masyarakat tentang apa yang diduga terjadi dan mengapa itu disebut pelecehan dan atau perkosaan? Apakah tulisan yang dibuat cukup memberikan keadilan bagi pihak-pihak yang diduga terlibat? Apakah berita yang ditulis mampu mendorong masyarakat untuk bersikap adil? Masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain.

Pada kasus dugaan perkosaan tersebut di atas, pemberitaan oleh lembaga pers mahasiswa setempat bisa menjadi titik balik. Kasus ini menjadi perhatian banyak sekali pihak, penanganannya turut menjadi sorotan. Bisa jadi, keberanian persma untuk mengungkap dugaan kasus ini menjadi angin segar penegakan keadilan atas kasus serupa. Mendorong pengampu kepentingan untuk memiliki sistem penanganan terbaik atas hal-hal serupa. Selain evaluasi mendalam agar kasus serupa tak lagi terulang.

Tak dapat dipungkiri, pilihan persma setempat untuk menyertakan identitas terduga korban menjadi polemik (baru) tersendiri. Sebagian warganet justru gagal fokus; terpancing untuk mencari identitas terduga korban maupun terduga pelaku alih-alih ‘pembelajaran’ kasus. Bahwa hal demikian adalah perkosaan menurut komnas perempuan, serta pencabulan menurut KUHP yang belum juga direvisi. Bahwa berdasarkan ulasan ahli, terduga pelaku diancam apa, dan lain sebagainya. Warganet malah sibuk dengan identitas dan luapan emosional masing-masing. Bahkan indikasi persekusi pun merebak.

Pilihan persma untuk menulis secara detil kronologi dugaan kasus juga membuka ruang debat yang cukup besar. Mulai dari perdebatan pilihan term yang paling sesuai, perdebatan tentang aspek kepantasan, hingga perdebatan akar rumput yang kurang literasi sehingga justru mengecilkan dugaan kasus tersebut dengan kata ‘hanya’. Bukan satu dua kali saya mendengar ada yang berkomentar ‘itu kan cuma’, ‘ah sudah biasa’, ‘sudah dari dulu’, hingga ‘dikawinkan saja, keduanya’.

Sungguh amat disayangkan. Menurut hemat saya, persma tersebut kehilangan momen mendidik masyarakat tentang batapa seriusnya kasus ini lewat kemasan yang elegan. Pilihan deskripsi kejadian justru mencuri perhatian warganet ke ruang diskusi liar. Melanggengkan kebutuhan informasi detil berlebih yang berujung persekusi, dan lain sebagainya.

Salut atas investigasi yang dalam, tapi tetap menyayangkan pilihan cara penyampaian.
Di sisi lain, pilihan persma untuk menyampaikan secara gamblang deskripsi dugaan kasus tak lepas dari kebutuhan akan info yang semakin dalam dari pembaca. Pembaca kini tak lagi dapat ‘dipuaskan’ dengan kata-kata implisit. Pers seolah dituntut jadi mata dan telinga pembaca dengan tanpa saringan. Bagaimana ini bisa terjadi?

Saya masih ingat betul di kisaran tahun 1996 saat saya baru mulai bisa membaca koran, media begitu tertib menjaga identitas terduga korban maupun terduga pelaku. Hanya usia saja yang menyertai inisial. Gambar yang ditampilkan juga selalu ditutup dengan blok hitam, tak sekedar blur atau pose menundukkan kepala. Saya juga masih ingat betul, di tahun-tahun itu sedang heboh kasus Robot Gedek. Saat itulah saya mengenal kata sodomi untuk pertama kalinya. Penggunaan kata yang vulgar sudah ada sejak dulu, tapi cukup dengan kata sodomi, tanpa perlu kronologis yang berlebih.

Anak kecil seperti saya saat itu, mendapat penjelasan yang ‘cukup’ dari orang tua saat membaca berita. Bahwa sodomi adalah kejahatan menyakiti anak kecil di bawah umur, yang sangat jahat. Di tahun-tahun berikutnya setelah saya lebih besar, akhirnya saya tahu arti sodomi justru dari hadist, di sesi pengajian yang saya ikuti, merujuk pada azab ke bangsa sodom. Saya tak bisa membayangkan bila saat itu, di kisaran tahun 1996 yang saya baca bukanlah kata ‘sodomi’, melainkan memasukkan penis ke dubur. Secara logika, sangat tidak mungkin sodomi terjadi begitu saja, pasti ada proses rayuan, yang bila si wartawan memilih untuk menuliskan kronologisnya, bisa saja jadi paragraf-paragraf tersendiri, mengingat banyaknya korban.

Saya beruntung, di masa awal saya mampu menyerap informasi, saya berada di era pers yang cukup, tak berlebihan. Sehingga informasi bisa masuk ke diri saya secara cukup dan bertahap. Pertanyaan tentang ‘rinci atau tidak rinci’ ini kemudian menimbulkan tanda tanya baru. Sejak kapan pers kita harus sedemikian merinci secara sangat detil?

Saya menduga semua ini bermula dari hingar bingar citizen journalisme, yang kemudian digandakan dengan era internet di mana setiap orang bisa mengakses apapun yang dia mau. Semangat citizen journalisme mendorong orang untuk terlibat menyampaikan berbagai kejadian di sekitar mereka, yang sayangnya tak selalu diimbangi dengan kemampuan jurnalistik dasar yang cukup. Jangan tanya soal validitas, netralitas apalagi cover both side. Pemenuhan 5w+1h sebagai unsur pokok berita kadang defisit, kadang surplus. Harap maklum, tak semua penulis bisa menulis dengan baik. Saya salah satunya sih, tak bisa menulis dengan benar. Hhehe

Informasi dari sesama warganet yang begitu melimpah membuat kebutuhan akan informasi menjadi semakin besar: harus tahu persis, segera, sedetil mungkin. Akun lambe-lambe adalah contoh paling mudah untuk menunjukkan betapa warganet sekarang sangat perlu detil kehidupan seseorang, yang kadang sebenarnya bukan hak mereka. Apa daya, label tokoh publik dan ketersediaan informasi yang memang melimpah ruah, membuat warganet merasa sah-sah saja untuk ingin tahu.

Pertanyaannya adalah: bisa mengakses dan bisa mengetahui, apakah berhak tahu? Apakah harus tahu sampai sedetil itu? Perilaku warganet saat ini yang sampai pada tahap ‘harus disajikan kronologi dengan gamblang dan detil agar dapat meyakinkan pembaca’ ini adalah buah dari proses yang saya sebut di atas. Jangan-jangan, kita memang sudah seharusnya sampai di tahap keterbukaan informasi yang sangat ekstrim. Bahkan mungkin, perlu ada evaluasi batas antara ruang privat dan publik.


Teman Hidup


Ini adalah cerita tentang seorang teman, yang menjadi teman hidup. Ia yang benar-benar secara nyata ada di sekitar kita, membersamai kita menuju kedewasaan. Teman itu mungkin tidak bisa kita peluk. Mungkin juga bahwa lebih banyak luka yang tergores daripada senyum yang tersungging. Bila yang kau cari adalah bunga yang semerbak, cari saja taman. Kalau yang kau cari adalah tawa yang menderai, selalu, maka cari saja kekasih.

Teman, yang bersamanya mungkin tak pernah mudah. Tapi bersamanya kita belajar apa itu indah, karena Ia mengenalkan kita pada perih. Ia membuat kita menghargai rasa, karena Ia menunjukkan pada kita senyap. Kadang, Teman membuatmu tahu apa itu kesetiaan, karena Ia memperlihatkan kepadamu pengkhianatan.

Banyak teman lalu lalang dalam kehidupan kita. Pada hidupku, tentu berbilang lebih dari hitungan jari-jemari, juga. Namun ada seseorang yang begitu terkenang. Pada bilangan jeda bernama jarak yang membuatnya berada pada tahap teman. Cukup mengenalnya lebih dari sekedar tahu, tapi juga tak begitu dalam hingga bergeser menjadi sahabat.

Adalah Ia yang bersamanya, kami melewatkan satu tahun beberapa bulan masa yang sangat luar biasa. Dimulai dari kecanggunganku untuk menjadi lepas, selepas persona-persona lain yang begitu mengalir di suatu persiapan menuju amanah. Entah kenapa ada penolakan luar biasa yang lantas kurasakan darinya. Pelajaran berharga pertama kumulai di momen itu. Mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Saat segala usaha telah kucoba, dan nampaknya tak juga menampakkan hasil. Maka di antara rasa letih dan perasaan nyaris berputus-asa, lagi-lagi aku belajar darinya : untuk tidak pernah menyerah.

Setahun bersamanya di antah-berantah dengan segala kebisuannya mengajariku lebih dalam : ada karena berusaha ada. Bahwa pusat kehidupan selalu dinamis, dan sebagai yang hidup, tugas kita untuk bertahan. Tiga ratus kata tak akan pernah cukup untuk menarasikannya selain memparalelkan kata ‘teman’, ‘hidup’ dan ‘pelajaran berharga’.

Apakah kamu pelajaran berharga selanjutnya?

Jumat, 09 November 2018

Sikap Saya Terkait Berita Nalar UGM Pincang atas Kasus Perkosaan oleh Balairung Press.

"Menurut saya tulisan ini cukup lengkap—meski akan lebih baik lagi jika dilengkapi pernyataan dari HS, sang tertuduh."
~Evi Mariani, Remotivi

======
Akhirnya saya menemukan kritik yang cukup komprehensif atas berita tentang (dugaan) pemerkosaan yang dirilis oleh sebuah Balairung beberapa hari yang lalu.

Bahwa saya mendukung penegakan keadilan, iya betul. Keadilan bagi seluruh pihak.

Yang perlu ditekankan di sini adalah peran media yang terikat beberapa fungsi dan etika. Balairung memang 'hanya' pers mahasiswa, tapi justru, di titik inilah, idealisme lebih layak untuk dilatih dan diperjuangkan.

Maka jelas, bagi saya, lepas dari artikel di atas, ada 3 aspek terkait fungsi dan etika yang perlu diingat kembali:

1. Pers harus netral: cover both side. Sangat disayangkan, tulisan Balairung tidak menyertakan pernyataan dari tertuduh. Saya suka istilah tertuduh yang digunakan dalam tulisan Remotivi ini. Karena belum ada kekuatan hukum tetap terkait kasus ini. Maka jelas, atas nama netralitas, semua info yang disajikan masih bersifat dugaan.

Mari tunggu lembaga peradilan menetapkan hukum, sebelum melekatkan stempel (terbukti) salah dan benar pada siapapun.

2. Soal Identitas: saya sangat sepakat dengan tulisan tersebut bahwa seharusnya, media melindungi identitas korban, bukan hanya nama tapi juga informasi lain yang bisa membuka identitasnya (nama sekolah, tempat tinggal).
Saya masih ingat, di masa-masa awal saya bisa membaca koran, hanya usia yang menyertai inisial pelaku. Oleh karena itu, pembaca bisa fokus mengetahui bahwa ada dugaan kasus terjadi, dan pasal apa yang diduga (iya diduga, karena belum terbukti melakukan kejahatan) dilanggar. Jika ada foto, maka selalu ada blok hitam yang menutupi wajah.

Sekarang, nama terduga korban maupun terduga pelaku tersebar ke mana-mana. Netizen bukan lagi fokus untuk mengetahui bahwa sesuatu adalah kejahatan, tapi malah sibuk mencari tahu identitas, yang berujung pada: persekusi

Di titik ini, pers sebagai media pendidikan masyarakat telah gagal.

3. Tentang rinci, atau tidak rinci?
Pers sebagai media informasi memang perlu menyampaikan informasi-informasi yang perlu diketahui oleh masyarakat, tapi ingat, pers juga berfungsi sebagai media pendidikan masyarakat, ada nilai² yang memang perlu disampaikan ke masyarakat.

Di era kekinian, meski bertajuk pers mahasiswa, kita tak bisa naif menganggap bahwa hanya kelompok usia tertentu dengan bekal pengetahuan dan literasi yang cukup, yang membaca berita tersebut.
Maka informasi, perlu disampaikan dengan sebijak mungkin agar pesan utama sampai ke tangan pembaca. Tidak lebih, tidak kurang.

Bahwa telah terjadi dugaan pemerkosaan (atau disebut pelecehan oleh beberapa pihak), bahwa berdasarkan ahli terduga korban (iya terduga, karena belum ada kekuatan hukum tetap) mengalami trauma dll, bahwa menurut sumber, kasus belum tertangani dengan maksimal. Bahwa jika memang terbukti, maka kejahatan tersebut melanggar pasal sekian dan sekian.

Efek penulisan yang rinci bukan hanya membuat pembaca salah fokus. Yang lebih parah adalah, pembaca dengan literasi kurang akan menganggap kasus ini berlebihan; 'ah cuma begitu'.
Padahal, menilik dari term perkosaan, maka segala paksaan yang berkaitan dengan kegiatan seksual, adalah perkosaan.
Pendeknya, segala aktifitas seksual, bila tanpa consent, maka itu adalah perkosaan!
Perlakukan sebagai dugaan pemerkosaan, titik.

Tambahan keterangan:
Balairung, sebagai media pendidikan masyarakat, seharusnya menjelaskan kepada publik dasar penggunaan term 'perkosaan' yang mereka pakai untuk merujuk dugaan kasus tersebut di atas.

Perlu diketahui bahwa term perkosaan yang digunakan untuk merujuk dugaan kasus tersebut berdasar pada term yang digunakan komnas HAM.
Sedangkan di mata hukum, yang bersumber dari KUHP (yang belum direvisi hingga kini) menyebut dugaan kasus di atas sebagai pelecehan.

Perbedaan term ini, menurut saya, penting juga untuk diinformasikan untuk mendidik masyarakat.

Tulisan dari Balairung Press:
http://www.balairungpress.com/2018/11/nalar-pincang-ugm-atas-kasus-perkosaan/

Tulisan tanggapan dari Remotivi:
http://www.remotivi.or.id/amatan/495/Seberapa-Rinci-Wartawan-Bisa-Menulis-Berita-Pemerkosaan?

Sabtu, 28 April 2018

Pelaksanaan Hukum bagi Pelaku Zina di Aceh; Sudahkah sesuai Syariat?


Hal yang menjadi perhatian akhir-akhir ini adalah pelaksanaan hukum cambuk bagi pelaku zina lajang dengan ditonton oleh orang banyak di Aceh. Poin yang menjadi kegelisahan sejauh yang dapat saya tangkap bertumpu pada pelaksanaan hukum ini yang disaksikan banyak orang termasuk anak-anak. Alih-alih terbatas pada isu ini, saya juga mempertanyakan apakah proses penetapan hukuman sudah sesuai dengan konteks pelaksanaan hukum serupa di jaman Nabi?

Mari kita cermati bersama.

Saya memahami bahwa Aceh berusaha menerapkan Syariat Islam sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut:

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman” (QS Annur:2)
Ayat di atas secara umum menjelaskan hukum bagi orang yang melakukan zina yakni dicambuk sebanyak 100 kali (bagi pelaku yang belum pernah menikah) serta pelaksanaan hukum tersebut disaksikan oleh orang-orang beriman.

Bagi saya, ayat tersebut memunculkan dua pertanyaan dasar:
  1. Bagaimana praktek pelaksanaan hukum bagi pelaku zina di jaman Rasulullah SAW?
  2. Siapa saja yang menyaksikan proses eksekusi tersebut?

Ada banyak rujukan terkait pelaksanaan hukum bagi orang yang berzina,di sini saya ingin mengajukan sebuah dalil alternatif yang mungkin belum diketahui oleh orang banyak. Abu Daud meriwayatkan beberapa hadist terkait hal ini, berikut saya sitirkan:
[Yazid bin Nu'aim bin Hazzal berkata:"Maiz bin Malik adalah seorang anak yatim yang diasuh oleh bapakku. Dan ia pernah berzina dengan seorang budak wanita dari suatu kampung. Bapakku lalu berkata kepadanya, "Datanglah kepada Rasulullah SAW, kabarkan kepada beliau dengan apa yang telah engkau lakukan, semoga saja beliau mau memintakan ampun untukmu."
Demikian itu bapakku (Bapaknya Yazid) menginginkan hal itu agar Maiz mendapatkan jalan keluar, lalu ia bergegas menemui Rasulullah SAW.
(Kepada Rasulullah SAW) Maiz lantas berkata: "Wahai Rasulullah, aku telah berzina, maka laksanakanlah hukum Kitabullah terhadapku!"Beliau berpaling darinya. Maka Maiz mengulangi (perkataan) lagi: "Wahai Rasulullah, aku telah berzina, maka laksanakanlah hukum Kitabullah terhadapku!"
Beliau berpaling. Maiz mengulanginya lagi, "Wahai Rasulullah, aku telah berzina, maka laksanakanlah hukum Kitabullah terhadapku!"
Ia (Maiz) ulangi hal itu hingga empat kali. Rasulullah SAW kemudian bersabda: "Engkau telah mengatakannya hingga empat kali, lalu dengan siapa kamu melakukannya?" Maiz menjawab, "Dengan Fulanah." Beliau bertanya lagi: "Apakah menidurinya?" Maiz menjawab, "Ya." beliau bertanya lagi: "Apakah kamu menyentuhnya?" Maiz menjawab, "Ya." beliau bertanya lagi: "Apakah kamu menyetubuhinya?" Maiz menjawab, "Ya."
Akhirnya Rasulullah SAW memerintahkan untuk merajamnya. Maiz lantas dibawa ke padang pasir, maka ketika ia sedang dirajam dan mulai merasakan sakitnya terkena lemparan batu, ia tidak tahan dan lari dengan kencang. Namun ia bertemu dengan Abdullah bin Unais, orang-orang yang merajam Maiz sudah tidak sanggup lagi (lelah), maka Abdullah mendorongnya dengan tulang unta, ia melempari Maiz dengan tulang tersebut hingga tewas.
Kemudian Abdullah menemui Nabi SAW dan menyebutkan kejadian tersebut, beliau bersabda: "Kenapa kalian tidak membiarkannya, siapa tahu ia bertaubat dan Allah menerima taubatnya] HR Abu Daud.
Hadis tersebut menunjukkan bahwa pangkal pelaksanaan hukum terhadap pelaku zina adalah pengakuan zina dari pelaku. Hal yang perlu diperhatikan adalah sebelum Rasulullah SAW memutuskan hukum tersebut, Rasulullah SAW sempat mengabaikan pengakuan Mu’iz beberapa kali. Mengapa hal ini terjadi?
Dalam hadist lain yang bercerita tentang Maiz bin Malik, dikisahkan bahwa Ia mengakui perbuatannya tersebut kepada Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Akan tetapi keduanya menganjurkan Maiz untuk menutupi aib tersebut dan memintanya untuk bertobat. Karena tidak puas dengan jawaban tersebut, maka Maiz menemui Rasulullah SAW untuk minta disucikan dari dosa yang Ia lakukan.

Hadist berpalingnya Abu Bakar,Umar bin Khattab bahkan Rasulullah SAW dari Maiz menunjukkan bahwa mereka malu atas klaim tersebut. Ucapan mereka agar Maiz bertobat menjadi penguat agar Maiz menyimpan aib tersebut dan bertobat, alih-alih membuka aib tersebut. Hal itu selaras dengan hadist bahwa Allah SWT menutup aib seseorang.

“Setiap umatku dimaafkan kecuali orang yang terang-terangan dalam bermaksiat. Yaitu seseorang yang telah berbuat dosa di malam hari lantas di pagi harinya ia berkata bahwa ia telah berbuat dosa ini dan itu padahal Allah telah menutupi dosanya. Pada malam harinya, Allah telah menutupi aibnya, namun di pagi harinya ia membuka sendiri aib yang telah Allah tutupi.” (HR. Bukhari)

Di titik ini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa:
  • Seseorang yang berdosa telah ditutup aibnya oleh Allah SWT. Ia tak harus membuka aibnya sendiri, lebih baik bertobat.
  • Pangkal pelaksanaan hukum bagi pelaku zina adalah pengakuan

Pada kasus Maiz, Maiz terus memaksa, terjadilah dialog antara Maiz dengan Nabi yang disaksikan oleh para sahabat. Pada dialog tersebut, yang berdasarkan pengakuan Maiz sekaligus paksaan dari Maiz untuk minta dihukum untuk mensucikan dosanya, Nabi meneliti fakta dengan terperinci. Nabi mengecek kesadaran Maiz saat itu, adakah Ia sedang mabuk atau gila. Nabi juga meneliti barangkali Maiz hanya sekedar mencium, meraba atau menyentuh pasangannya.

Bahkan, Rasulullah SAW memastikan dengan pertanyaan apakah saat itu (kemaluanmu) hilang (masuk ke dalam kemaluan perempuan). Maiz menjawab, "Ya." Mendapat jawaban begitu, Rasululah masih bertanya apakah kejadian tersebut seperti pensil celak masuk ke dalam botolnya, dan seperti tali timba masuk ke dalam sumur?" Maiz pun menjawab dengan “Ya”

Apakah setelah kejadian rinci tersebut terkuak sudah cukup untuk Rasulullah SAW menetapkan hukum? Ternyata tidak, sebab dalam hadist di mana beliau memastikan kejadian, Rasulllah SAW juga menanyakan apakah Maiz mengerti zina itu apa yang kemudian dijawab oleh Maiz, "Ya. Aku mendatangi wanita yang haram bagiku layaknya laki-laki yang mendatangi isterinya secara halal."
Setelah kejadian sudah jelas dan pelaku memahami betul bahwa apa yang ia lakukan adalah zina, sudah cukupkah bagi Rasulullah SAW menjatuhkan hukum? Tidak. Setelah menginterogasi Maiz, Rasulullah SAW melanjutkan dengan pertanyaan: "Apa yang kamu inginkan dari jawaban itu?" Maiz menjawab, "Aku ingin agar engkau membersihkan dosaku." Barulah Rasulullah SAW memerintahkan agar Maiz dirajam.

Dari titik ini, kita menemukan kesimpulan lanjutan bahwa:
  • Harus dipastikan betul telah terjadi perbuatan Zina, pelaku melakukan dalam keadaan sadar dan tidak gila serta memahami bahwa yang ia lakukan adalah perbuatan zina.
  • Dasar pelaksanaan hukum bagi pelaku zina adalah permintaan pelaku dalam tujuan membersihkan dosa.


Meninjau hadis-hadis terkait permintaan Maiz untuk dirajam, maka itu juga bermakna bahwa kedudukan Rasulullah SAW saat itu sebagai amirul mukmin minkum (yang memegang perkara di antara orang-orang iman) adalah fasilitator atas pembersihan diri dari dosa. Bukan sebagai pengambil kesimpulan apakah seseorang terbukti bersalah sehingga harus dihukum dengan metode tertentu menurut pendapat amirul mukmin.

Apakah aspek ini sudah diterapkan juga dalam rangka mewujudkan keadilan?

Lanjut ke pertanyaan kedua, siapakah yang menyaksikan eksekusi tersebut?

Saya pernah mendengar sebuah keterangan hadis, yang sayangnya saya cari kembali namun belum ketemu, bahwa pelaksanaan hukuman rajam ataupun cambuk pada jaman Rasululah SAW dilakukan setelah ibadah shalat Jumat. Mohon koreksi dari Anda yang lebih mengetahui hal ini.


Meninjau kondisi pada jaman Rasulullah SAW bahwa jumlah Masjid masih sedikit serta jarak ke Masjid rata-rata tidak dekat, maka biasanya yang melaksanakan shalat jumat hanya lelaki dewasa saja. Sementara perempuan dan anak-anak tinggal di rumah untuk melaksanakan sholat Dhuhur di rumah. Maka, bila dikaitkan dengan pelaksanaan hukum bagi pelaku zina setelah shalat jumat, maka lahirlah kesimpulan ke-4 bahwa yang berhak menyaksikan eksekusi hukuman ini (dalam beberapa hadist  ikut mengeksekusi; ikut melempar batu pada pelaku zina yang diirajam) hanya lelaki iman yang sudah dewasa.

Oleh karena itu, kehadiran anak-anak serta perempuan yang bahkan merekam eksekusi dengan wajah sumringah menurut saya perlu dievaluasi. Semoga agama membuat kita menjadi lebih manusiawi, menjadi rahmatan lil alamin termasuk bagi anak di bawah umur yang secara psikologis tidak pas untuk melihat adegan kekerasan. Meskipun itu bertajuk menegakkan keadilan.


Minggu, 08 April 2018

Tentang Perspektif dan Kemerdekaan Berpikir

Sore tadi tiba-tiba tulisan lawas saya diunggah kembali oleh seorang kawan lama. Kawan yang tulisannya memikat saya. Sempat malu karena di rentang waktu penulisan tersebut, tulisan saya alay dan kualitasnya buruk sekali. Lantas saya baca ulang tulisan tersebut.
Memang terasa betapa payahnya tulisan saya tersebut. Tapi kenangan akan asal-muasal tulisan itu juga kembali hadir. Begitu nyata, begitu hangat. Rasa-rasanya, masih cukup kontekstual dengan masa kini. Rasanya sayang, bila dipendam begitu saja, dengan buruknya tulisan saya dahulu. Maka inilah, reproduksi tulisan tersebut.

***

Pendidikan Indonesia, Pendidikan Mainstream?

Petang ini saya berbagi cerita dengan Ibu. Beliau berkisah tentang cerita masa kecilnya. 

Adalah Uwak, kakak laki-laki Ibu saya. Suatu kali, ia pulang dengan menangis tersedu-sedu. Ombai (nenek dalam bahasa Komering, alias Ibu dari Ibu saya) mencoba bertanya apa yang telah terjadi:
Masih dengan isak tangis, Uwak bercerita:

"Tadi ada tugas menggambar pesawat. Semua teman-teman menggambar pesawat dari samping; ada badan pesawat dan ekornya. Di ujung yang lain, ada moncong pesawat. Semua anak di kelas dapat nilai A, Tapi aku cuma dapat C” 
Ombai mengernyitkan dahi,
“Kenapa bisa begitu?” tanya Ombai
" Ibu Guru bilang tidak paham apa yang kugambar. Padahal, aku kan sudah menggambar pesawat seperti kata Ibu Guru!

Ombai yang masih bingung dengan apa yang terjadi mencoba melihat apa yang digambar Uwak.
Ombai pun tersenyum.

Tahukah kalian apa yang Uwak gambar?
Sebuah lingkaran agak pipih dengan tangkai horizontal disertai baling-baling di kanan-kiri lingkaran-agak-pipih tersebut. Sesuatu serupa jambul nangkring di bagian atas lingkaran-agak-pipih. Ah, jangan lupakan 2 kaki yang bertengger di bawah lingkaran-agak-pipih tersebut.

Uwak menggambar pesawat dari depan, tak seperti anak lain yang 'kompak' menggambar pesawat dari samping.
Tak ada yang memahaminya.

Saya tertawa,
Ibu bercerita tentang tahun 60-an. Saat itu, pesawat adalah sesuatu yang ‘mahal’, bahkan untuk sekedar melihat rupa pesawat secara langsung.
Uwak termasuk beruntung, di usia dini telah beberapa kali berkendara dengan pesawat, sehingga mengenal baik bentuk utuh pesawat.
Berbeda dengan anak lain yang hanya bisa 'meraba' pesawat dari imaji masing-masing, imaji yang linier, tentu saja....

Lalu saya teringat kisah Dosen saya,
“Kemarin, tiba-tiba saya dipanggil oleh sekolah anak saya. Setiba di sana, anak saya sedang menangis tersedu-sedu.
Seorang guru di sana mencoba menjelaskan bahwa anak saya, konon telah menggambar hal tak senonoh. Saking tak senonohnya, sang Guru kesenian pun marah” demikian beliau membuka kisah.

“Saya bingung. Tak lama berselang, si Guru kesenian masuk. Mukanya masih merah. Entah apa yang terjadi. Yang jelas masih muda” kata beliau melanjutkan. 

Mendengar kata ‘gambar tak senonoh’, dengan konteks anak dosen kami masih duduk di sekolah dasar, kami pun ikut mengernyit.

“Ora tedeng aling-aling, guru tadi bilang begini:
[Maaf, Anak Ibu sangat keterlaluan. Baru umur segini,... (ia tidak meneruskan kata-katanya),
dia menggambar ... (si guru tidak meneruskan kata-katanya),... ini]
Guru muda itu pun menunjukkan sesuatu ke saya” lanjut dosen saya dengan ritme lebih pelan.

“Kemudian saya amati gambar tersebut. Dua buah lingkaran besar warna coklat kehijauan, hampir tak beraturan, berjejer. Sebuah lingkaran yang jauh lebih kecil, hampir berada di tengah masing-masing lingkaran besar. Bentuknya tak beraturan juga, berwarna kehitaman. Gambar apa ini?”

Kami yang sekedar mendengar cerita dari dosen kami pun ikut membayangkan.

"Saya tanya ke si guru kesenian, gambar apa ini? Kalian mau tahu jawaban dia?
[Tanyakan saja pada anak Ibu, yang jelas, perintah saya adalah menggambar gunung!] kata si guru muda ketus"

"Saya bingung", kata Dosen saya saat bercerita,

"Kemudian saya memutuskan untuk bertanya pada anak saya" kata dosen saya melanjutkan.
“[Adik, bu Guru kan minta Adik gambar Gunung? yang Adik gambar ini apa?]

[Adik udah bikin gambar seperti yang Bu Guru minta Ma, Adik ‘kan gambar Gunung Merapi Merbabu seperti yang Mama kasih tunjuk dari pesawat kemarin....] begitu kata anak saya” Kali ini, dosen saya bercerita dengan lirih.

Dosen saya menghela nafas panjang, perlahan Ia menatap seluruh kelas. Kelas menjadi senyap, hingga Ia melanjutkan kata-katanya;
“Tahukah kalian, di samping gambar anak saya, ada tumpukan gambar anak lain tersusun rapi.
Semua seragam. Dua pasang kerucut, dengan matahari di tengahnya. Ada awan, Ada burung beterbangan, ada sawah di kaki kerucut. Ada jalan yang 'muncul' dari antara 2 kerucut: melengkung meliuk, beberapa dengan rumah-rumahan dan orang-orangan sawah, kontras dengan gambar anak saya"

***
Uwak dan anak dosen saya bukan satu-satunya yang mendapat masalah terkait perspektif. Apakah guru mereka 'salah'? Tidak juga. Bagi saya,kedua guru tersebut sekadar terpasung oleh perspektif mereka. Secuil perspektif yang tak jua dikonfirmasi ke para murid mereka: uwak saya dan anak dosen saya. Padahal, seandainya mau,mereka bisa bertanya baiik-baik: gambar apa ini?. Lebih disayangkan, mereka adalah pemegang kekuasaan atas 'nilai' di kelas. Nilai yang diputuskan tanpa negosiasi.

Saya percaya anda semua yang membaca tulisan saya, punya perspektif yang lebih luas daripada gambaran pesawat dari samping saja, atau gunung dari bawah saja.  Tapi tak dengan kedua guru di cerita di atas. Cerita yang sungguh-sungguh nyata ada di Indonesia.
Di belahan kehidupan lain, entah berapa banyak sudut pandang yang dibatasi oleh pengalaman dan pengetahuan. Akankah kita sadar bahwa yang apa yang kita sebut kebenaran ini dibatasi oleh batas-batas kemampuan diri? Akankah kita belajar untuk terus meluaskan ilmu dan sudut pandang kita saat menemui hal baru? Akankah kita mampu, mau atau bisa menerima perspektif lain?

Semua, terserah anda.

Yang jelas, cita-cita saya sederhana; saya ingin suatu saat nanti, di kelas-kelas belajar kita, anak-anak bangsa menggambar pemandangan pegunungan dengan perspektif yang begitu beragam. Saya ingin, kelas-kelas kita menjadi kelas yang merdeka. Membebaskan anak-anak bangsa dari segala doktrin yang meracuni dan membatasi pikiran mereka. Semoga mimpi saya tak ketinggian.

Tabik.

Jumat, 02 Maret 2018

Instruksi Kepala Daerah DIY No K.898/I/A/1975 rasis?


Beberapa waktu belakangan, ternyata ada sebuah wacana yang kembali menghangat di tempat kelahiran saya: Yogyakarta. Jika bukan karena mengikuti akun Twitter seorang professor yang saya kagumi pemikirannya, mungkin saya bahkan tak menyadarinya. Isu tersebut tak lain tak bukan adalah perjuangan melawan rasisme tanah oleh seorang warga Yogyakarta keturunan Tionghoa[1]. Perjuangan tersebut berupa gugatan kepada Gubernur DIY Sri Sultan HB X dan pejabat BPN terkait kebijakan pembatasan kepemilikan Hak atas Tanah di DIY.

Usut punya usut, gugatan tersebut terkait Instruksi Kepala Daerah DIY No. K.898/I/A/1975 tanggal 5 Maret 1975 tentang Penyeragaman Policy  Pemberian Hak atas Tanah kepada Seorang WNI Nonpribumi. ‘Kembali’? Ya, sebab ternyata, gugatan serupa sudah pernah diajukan yang bersangkutan pada 2015 (Uji Materi ke Mahkamah Agung) dan 2016 (gugatan ke PTUN Yogyakarta)[2]

Polarisasi pribumi-nonpribumi dalam kebijakan tersebut lantas memicu polemik. Mengingat secara legal formal, istilah tersebut tak lagi digunakan semenjak ada instruksi presiden No 26 tahun 1998. Pun ketika istilah nonpribumi tersebut seolah merujuk ke etnis tertentu. Isu diskriminasi hingga rasisme pun menguar.

Beberapa pihak merasa aturan tersebut, selain diskriminatif, sudah tak layak lagi digunakan mengingat DIY, sebagai bagian dari NKRI, wajib tunduk dan patuh pada peraturan terkait yang bersifat nasional. Peraturan terkait Agraria, misalnya. Hal itu dianggap sebagai konsekuensi logis masuknya Yogyakarta sebagai bagian dari NKRI. Ben Anderson (1999) bahkan menyatakan bahwa “Banyak orang Indonesia cenderung menganggap Indonesia sebagai ‘warisan’,bukan cita-cita bersama.Bilaada warisan,ada ahli-waris,dan sering terjadi pertengkaran tentang siapa yang paling berhak atas warisan itu; kadang-kadang dengan kekerasan berlebihan” Pernyataan tersebut cukup menyentak mengingat Instruksi Kepala Daerah yang sedang menjadi polemik ini berujung pada ‘siapa yang berhak atas tanah di DIY’?

Tapi, benarkah begitu? Benarkah bahwa aturan tersebut seharusnya sudah tak lagi berlaku? Dan terutama, benarkah aturan tersebut rasis?

Menyikapi berbagai polemik di Yogyakarta, terutama yang berkaitan dengan aturan ‘istimewa’ serta kebijakan-kebijakan untuk publik, tak bisa lepas dari keistimewaan Yogyakarta itu sendiri. Bahwa segala bentuk keistimewaan itu harus ditinjau dari akarnya. Akar itu bukan sekedar UU Keistimewaan DIY yang baru 2012 lalu disahkan DPR. Ada sejarah panjang yang menjadi titik kritis keistimewaan DIY, yang membedakan DIY dengan daerah tingkat I lain di Indonesia.
Sejarah keistimewaan DIY itu akan sangat panjang bila ditulis di ulasan kali ini. Bila ingin mengetahui lebih lanjut bisa membacanya di sini. Secara umum, Yogyakarta merupakan daerah dependen saat Indonesia merdeka, sehingga tidak mungkin dijadikan daerah kekuasaan Negara Republik Indonesia. Demikian sebagaimana disampaikan oleh Pangeran Puruboyo, wakil dari Yogyakarta Kooti dalam sidang PPKI. Kebuntuan tersebut dijawab oleh Sri Sultan HB IX selaku Raja Ngayogyakarta dengan Amanat 5 September 1945.

Amanat ini adalah pernyataan HB IX bahwa Yogyakarta menjadi bagian dari Republik Indonesia. Pernyataan tersebut merupakan hasil kesepakatan antara Presiden Soekarno dengan Sri Sultan HB IX terkait kemerdekaan Indonesia dan status Kesultanan Ngayogyakarta yang saat itu bukan daerah jajahan belanda. Berikut isi Amanat 5 September 1945  tersebut:

“Kami, Hamengku Buwono IX, Sultan Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat, menyatakan:
1. Bahwa Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia;
2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat mulai saat ini berada di tangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya;
3. Bahwa perhubungan antara Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung dan kami bertanggung jawab atas Negeri kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Kami memerintahkan supaya segenap penduduk dalam Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat mengindahkan amanat kami ini”.

28 Puasa, Ehe, 1876 (5 September 1945)  Hamengku Buwono IX.

Amanat tersebut selain menegaskan bahwa Negeri Ngayogyakarta merupakan bagian dari Negara Republik Indonesia, juga menegaskan bahwa urusan internal di Yogyakarta dipegang seluruhnya oleh Sultan sebagai Kepala Daerah. Amanat tersebut adalah titah seorang raja dari kerajaan merdeka saat bergabung dengan negara lainnya. Berlaku tak hanya untuk urusan pemerintahan, tetapi juga bagi penduduk dalam Negeri Ngayogyakarta.

Proses legalisasi Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa ini menjadi perjalanan yang panjang bagi republik muda bernama Indonesia. Segera setelah Sri Sultan HB IX menyatakan Yogyakarta bergabung bersama Republik Indonesia, RUU Pokok Pemerintahan Pemerintahan Yogakarta telah dimulai meski tak kunjung selesai. Akan tetapi kondisi itu tidak membuat Sri Sultan HB IX menarik dukungan terhadap Indonesia atau bahkan terjebak politik adu domba belanda yang sempat menjadi sebab munculnya negara boneka.

Thomas R. Dye (2012)[3] mengatakan bahwa Public Policy is whatever governments choose to do or not to do. Termasuk ketika tak ada kebijakan apapun untuk menyanggah Amanat 5 September 1945 segera setelah pernyataan tersebut keluar, maka bisa dikatakan pemerintah NKRI menyepakati amanat tersebut. Satu-satunya ketentuan yang berkorelasi dengan keistimewaan adalah Pasal 18B ayat1 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”

Hingga kemudian lahirlah UU No.3 tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. UU tersebut memberikan wewenang kepada Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta untuk mengatur rumah tangganya sendiri termasuk masalah agraria[4]. Hal tersebut tentu mengokohkan keistimewaan DIY. Salah satu bentuk dari kewenangan untuk menyelenggarakan rumah tangganya sendiri di bidang agraria tersebut adalah diterbitkannya Instruksi Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor K.898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah kepada Seorang WNI Non Pribumi.

Bagaimana dengan Keppres RI nomor 33 Tahun 1984?

Tanggal 9 Mei 1984 keluar Keppres RI nomor 33 Tahun 1984 tentang pemberlakuan sepenuhnya UU No 5 tahun 1950 di DIY, berlaku surut sejak 1 April 1984. Untuk melaksanakan ketentuan tersebut, ada Keputusan Menteri Dalam Negeri No 66 tahun 1984 tentang Pelaksanaan Pemberlakuan sepenuhnya UU No 5 tahun 1950 di Provinsi DIY. Atas lahirnya peraturan tersebut, Pemda DIY sudah mengakomodir dengan Perda DIY No.3 thn 1984 tentang Pelaksanaan Pemberlakuan sepenuhnya UU No 5 thn 1950 di Provinsi DIY.

Yang menarik adalah sejarah lahirnya Keppres RI No 33 tahun 1984 itu justru dari Hamengku Buwono IX selaku Gubernur DIY  (Yudarianto, 2007). Akan tetapi, keberadaan Keppres No.33 tahun 1984 tidak menghilangkan keberadaan kraton Yogyakarta sebagai suatu pemerintahan otonom di DIY sebagaimana diungkapkan Nurhasan Ismail (2003:67)[5]
“Keberadaan tanah-tanah kesultanan dan pura pakualaman  dengan sistem hukum pengaturnya sendiri harus diakui dan diperhatikan. Pengakuan tersebut bukan karena norma-norma dalam Rijksblad dan kelembagaan pendukungnya seperti ‘Panitikismo’ masih ada dan fungsional, namun juga karena Keppres No33/1984 jo Kepmendagri No 66/1984 tidak menuntut pemberlakuan UUPA sepenuhnya secara otomatis terhadap semua kelompok tanah tersebut  di atas. Dalam Kepmendagri tersebut dinyatakan: “Karena masih terdapat  hal-hal yang memerlukan penelitian dan pengkajian lebih lanjut agar pelaksanaan pemberlakuan itu dilakukan secara bertahap”


Di antara hal-hal yang masih harus diikaji dan diteliti ini tentunya  tanah-tanah Kasultanan dan Pura Pakualaman karena tidak sekedar menyangkut hubungan antara kelompok-kelompok masyarakat yang menguasai dan menggunakan tanah dengan pihak kasultanan dan Pura Pakualaman yang tentunya berlandaskan ikatan emosional, namun juga terkait dengan aspek politis. Bagaimanapun juga, posisi Sultan dan Paku Alam secara politis di lingkungan kelompok-kelompok tertentu di DIY masih mempunyai pengaruh. Di samping tentunya peranan kedua bekas kerajaan ini secara historis terhadap RI tidak dapat diabaikan begitu saja.

Yudarianto (2007: 46) menjelaskan lebih lanjut bahwa Konsekuensi dikeluarkannya Perda Prop DIY No 3 tahun 1984 yang merupakan aturan pelaksana Keppres No33/1984 juncto Kepmendagri No66/1984, maka ketentuan agraria yang dibuat oleh DIY khususnya yang bertentangan dengan UUPA tidak berlaku lagi. Hal ini ditunjukkan oleh ketentuan pasal 3 Perda Prop DIY No 3 thn 1984 yang menyebutkan bahwa dengan berlakunya Perda ini, maka segala ketentuan peraturan perundang-undangan DIY yang mengatur tentang agraria dinyatakan tidak berlaku lagi. Tetapi yang harus diperhatikan, pemahaman pasal ini adalah Pemprov DIY dalam menjalankan pemerintahannya harus memperhatikan keberadaan pihak Kraton Yogyakarta. Pasal ini tidak dapat dapat dijadikan dasar bhw UUPA harus diberlakukan tanpa pandang bulu di Provinsi DIY.

Instruksi Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor K.898/I/A/1975 harus mendapat kajian yang sangat mendalam apakah bertentangan dengan UUPA atau tidak, berdasarkan sejarah DIY dan juga tujuan, fungsi dan keefektifan Instruksi itu sendiri.

Apakah Instruksi Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor K.898/I/A/1975 rasis?

Untuk mengetahui apakah Instruksi tersebut rasis atau tidak, penting untuk melihat latar belakang lahirnya aturan tersebut. Menurut KGPH Hadiwinoto (melalui Yudarianto, 2007), adanya instruksi tersebut secara tidak langsung berkaitan dengan tanah kraton sebab sampai pada tahun 1975 tidak ada pengakuan hitam di atas putih di mana saja tanah kraton. Kraton bukanlah perorangan ataupun badan usaha sehingga tidak bisa memiliki hak atas tanah.

Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa urgensi Instruksi tersebut adalah untuk menyelamatkan tanah kraton. Cukup dapat dipahami bahwa dengan situasi belum jelasnya definisi keistimewaan DIY, DIY sendiri mengalami kesulitan untuk ‘mengklaim’ secara legal tanah-tanah yang ‘dimiliki’. Mengapa di kemudian hari justru isu rasisme yang merebak? Mari kita perhatikan bunyi Instruksi tersebut:
“Guna penyeragaman policy pemberian hak atas tanah dalam wilayah DIY kepada seorang warganegara Indonesia non pribumi, dengan ini diminta: Apabila ada seorang Warganegara Indonesia non pribumi membeli tanah hak milik rakyat, hendaknya diproceskan sebagaimana biasa, ialah dengan pelepasan hak, sehingga tanahnya kembali menjadi tanah Negara yang dikuasai langsung oleh Pemerintah Daerah DIY dan kemudian yang berkepentingan / melepaskan supaya mengajukan permohonan kepada Kepala Daerah DIY untuk mendapatkan sesuatu hak”

Kata ‘non pribumi’ inilah yang kemudian menjadi polemik. Dianggap mengurangi hak etnis tertentu. Padahal bila merujuk ke tujuan Instruksi sebagaimana diungkapkan oleh KGPH Hadiwinoto, maka instruksi tersebut bermaksud ‘melindungi kepentingan kraton’.

Pertanyaannya adalah: mengapa menggunakan istilah ‘non pribumi’?

Dalam kajian linguistik ada istilah-istilah yang umum dipakai di suatu masa, bahkan populer. Kata-kata itu bisa hilang begitu saja saat sudah ada kata baru yang menggantikan fungsinya, atau memang diputuskan tak lagi dipakai. Sebagaimana istilah pelakor yang akhir-akhir ini popular, selain memiliki konotasi yang peyoratif bagi perempuan, kata itu pada masanya pernah diwakili oleh istilah WIL alias Wanita Idaman Lain. Tentu saja keduanya memiliki konotasi yang berbeda.

Besar dugaan saya bahwa HB IX menggunakan istilah ‘non pribumi’ karena istilah tersebut dirasa paling mendekati situasi yang diinginkan saat itu; bahwa penguasaan Hak atas Tanah hanya dimiliki oleh kalangan tertentu saja. Selain itu, bisa jadi saat itu, mohon koreksi jika saya salah, penggunaan istilah pribumi-nonpribumi belum se-sensitif saat ini. Term tersebut secara legal memungkinkan untuk dipakai. Sebab DIY memiliki keistimewaan untuk mengatur sendiri urusan rumah tangganya. Bisa jadi beliau tidak menemukan istilah yang tepat untuk menggambarkan kedudukan penduduk asli DIY sebagai daerah istimewa (sehingga bisa mengatur secara tersendiri) dibanding istilah 'WNI' yang batasannya jelas. Sebaliknya, jika memang yang disasar adalah etnis tertentu, kenapa tak langsung disebutkan saja secara gamblang? Menimbang profil HB IX dengan kebijaksanaannya, saya rasa beliau akan memilih istilah yang lebih baik dari 'non pribumi' jika memang ada, saat itu.

Penggunaan istilah non pribumi tak lepas dari istilah pribumi itu sendiri sebagai kata yang dikecualikan. Istilah pribumi, yang merupakan produk turunan Devide et Impera, belum terasa semenyakitkan pasca reformasi 1998, di mana non pribumi menjadi begitu lekat pada etnis tertentu disertai dengan diskriminasi. Hal itu yang kemudian menjadi  dasar Instruksi Presiden No 26 tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Nonpribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintah. Dalam Instruksi Presiden tersebut,penggunaan istilah pribumi dihentikan dalam semua kegiatan penyelenggaraan pemerintah. 

Harap diingat bahwa selain rasa sakit yang muncul akibat penggunaan istilah tersebut, pelarangan penggunaan istilah pribumi, apalagi non pribumi, baru muncul tahun 1998 sebagaimana dijelaskan di atas. Bahkan, baru tahun 2008 ada undang-undang terkait istilah pribumi, yakni dalam UU No 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Lalu,bagaimana menyikapi ketentuan terkait penghentian penggunaan istilah pribumi?


Memperhatikan alasan kelahiran Instruksi Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor K.898/I/A/1975 terkait menyelematkan tanah kraton, maka UU Keistimewaan telah hadir untuk menjawab kepentingan tersebut. Kraton Ngayogyakarta kini merupakan badan hukum resmi yang memiliki kewenangan secara legal atas tanah.

Tentu saja, sebagai daerah dengan definisi keistimewaan yang semakin jelas, DIY memiliki kewenangan untuk mengatur sendiri hal-hal terkait rumah tangganya. Salah satu urusan rumah tangga tersebut adalah urusan agraria alias pertanahan. Adalah kewenangan penuh Bagi DIY untuk menentukan siapa saja yang bisa memiliki Hak atas Tanah di DIY.

Menimbang latak belakang lahirnya Instruksi Kepala Daerah yang fenomenal ini, Sri Sultan HB X selaku Gubernur DIY saat ini memiliki setidaknya dua alternatif sikap. Pertama adalah mempertahankan kebijakan tersebut dengan penyesuaian istilah. Mengingat cita-cita Instruksi tersebut adalah menyelamatkan, dalam arti hari ini menjaga, aset-aset yang dimiliki Kraton. Di sisi lain, istilah non pribumi sudah tidak lagi digunakan di Indonesia. Perlu dicari istilah yang lebih baik, yang merepresentasikan cita-cita awal, tanpa menyakiti pihak manapun. Kedua adalah meninjau kembali kebijakan tersebut. Apakah perlu mencabut kebijakan tersebut. Tentu saja basisnya adalah arah DIY ke depan. Mau jadi apa Yogyakarta? Dengan segala keistimewaannya. Akankah istimewa bagi segelintir orang, istimewa bagi yang tinggal di Yogyakarta, atau mau menjadi istimewa bagi Indonesia dan seluruh dunia?

Tabik.



[1] Artikel daring”Handoko: Saya Akan Terus Berjuang Melawan Rasisme Tanah” https://kumparan.com/tugujogja/soal-pertanahan-di-yogyakarta-handoko-saya-akan-terus-berjuang-melawan-rasisme-tanah
[2] Artikel daring “Ini Penyebab WNI Keturunan di Yogya tak Bisa Punya Tanah” Kamis, Maret 2018: http://republika.co.id/berita/kolom/wacana/18/03/01/p4v0mx385-ini-penyebab-wni-keturunan-di-yogya-tak-bisa-punya-tanah
[3] Dye, T. R. 2012. Understanding Public Policy. Pearson.
[4] Yudarianto,Satrio. 2007. Kedudukan Instruksi Kepala Daerah Daerah Istimewa YogyakartaNomor K.898/I/A/1975 dalam Perundang-undangan Indonesia dan pelaksanaannya di Kabupaten Bantu, Tesis. UGM
[5] Ismail,Nurhasan. 2003, Menempatkan Realitas Pertanahan Lokal dalam Rancangan UU Keistimewaan DIY, Mimbar HukumNo.43/II/2003, Yogyakarta

Selasa, 27 Februari 2018

Mengapa Yogyakarta (begitu) Istimewa

Peringatan: bagi Anda yang tidak tahan membaca artikel panjang, silahkan langsung menuju ke bagian paling bawah tulisan, telah tersedia resume artikel.


Tulisan ini bermula pada 12 Desember 2010, saat Walikota Yogyakarta saat itu menyampaikan puisi berjudul “Jangan Lukai Merah Putih” 







65 Tahun Bendera Merah Putih Berkibar di Bumi Indonesia
65 Tahun Semangat Merah Putih Berkibar di Hati Sanubari Bangsa Indonesia
Bangsa Indonesia telah menoreh Sejarahnya,
Sejarah yang ditopang oleh cita-cita,
Sejarah yang ditopang oleh Komitmen,
Sejarah yang ditopang oleh Pengorbanan,
Sejarah yang ditopang oleh Kesepakatan,
Sejarah yang ditopang oleh Kebersamaan dalam Kebhinekaan,
Maknailah Sejarah Merah Putih dengan Kearifan Hati Merah Putih,
Maknailah Amanat HB IX/PA VIII 5 September 1945 dengan Kearifan Hati Merah Putih,
Maknailah Keistimewaan Yogyakarta dengan Kearifan Hati Merah Putih,
Dengarkan Aspirasi Yogyakarta dengan Kearifan Hati Merah Putih
Suarakanlah Aspirasi Yogyakarta dengan Kearifan Hati Merah Putih
Sejarah adalah garis waktu yang hakiki,
Sejarah tidak bisa semata dimaknai untuk dihapus dengan Perspektif Regulasi
Sejarah tidak bisa semata dimaknai untuk dilupakan dengan Perspektif Politik
Amanat 5 September 1945 adalah Bagian sejarah Berkibarnya Merah Putih
Keistimewaan Yogyakarta adalah Bagian sejarah Berkibarnya Merah Putih
Jangan Lukai Merah Putih...
Salam Jogja, Salam Indonesia... Jaya!
Yogyakarta, 12 Desember 2010
Herry Zudianto






Ada apakah gerangan?

Beberapa waktu lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melontarkan pernyataan terkait status Keistimewaan Yogyakarta. Pernyataan beliau lantas memicu polemik dan perdebatan. (Liputan 6; 13/12/2010 12:28: Polemik Keistimewaan Yogyakarta Berlanjut)

Dalam pernyataannya pada tanggal 26 November 2010, SBY menegaskan 3 hal,
1. Pilar (yang digunakan-red) adalah pilar nasional yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dalam Undang-undang Dasar telah diatur dengan gamblang.
2. Keistimewaan DIY itu sendiri berkaitan dengan sejarah dari aspek-aspek lain yang harus diperlakukan secara khusus sebagaimana pula yang diatur dalam Undang-undang Dasar.
3. Indonesia adalah negera hukum dan negara demokrasi.
(sumber: RIMA; Senin, 29 Nov 2010 08:29 WIB: Inilah Pernyataan SBY Soal RUU Keistimewaan Yogyakarta)

Perdebatan ini sebenarnya sudah dimulai sejak Senin, 21 September 2008, saat SBY menyatakan bahwa kepala daerah harus dipilih langsung bukan ditunjuk. Esoknya (23 September 2008), menanggapi pernyatan ini Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X menyatakan RUU Keistimewaan DIY sebaiknya tidak usah diteruskan. "Tidak usahlah. UU Yogya tak akan dibuat," ujar Sultan. (Tempo Interaktif Nasional; Rabu, 24 September 2008 | 14:18 WIB: Andi Mallarangeng: Pernyataan Presiden Berdasarkan UUD 45)

Masih dari Tempo, saat itu Andi Mallarangeng justru menantang kekecewaan Sultan dengan mempertanyakan rakyat yang mana yang menginginkan Sultan ditetapkan sebagai Gubernur DIY.
"Masyarakat yang mana? Presiden kan mengutip UUD 1945 jelas bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis," kata Andi Mallarangeng seperti dikutip oleh Tempo.

Puncaknya adalah saat SBY menyampaikan pandangan pada Jumat, 26 November 2010, dalam pidato rapat pengantar Rapat Terbatas, di Kantor Presiden terkait RUU Keistimewaan Yogyakarta. Dalam pidatonya tersebut SBY mengatakan, Rancangan Undang-Undang tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta tidak boleh mengabaikan nilai-nilai demokrasi, termasuk tetap memperhatikan aspek Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan karena tentu tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan baik dengan konstitusi maupun nilai demokrasi.

===========================
Nah, daripada pusing-pusing dengan polemik itu, mending kita runut sejarah Kesultanan Ngayogyakarto Hadiningrat, kali ini, mari berterima kasih sama mbah Google yang memberikan berlimpah data (tolong ralat tulisan ini yah, kali aja ada yg salah gitu,..)

Kesultanan Ngayogyokarto Hadiningrat resmi berdiri sejak ditandatanganinya Perjanjian Giyanti, 13 februari 1755. Berdasarkan perjanjian ini, wilayah Mataram dibagi dua: wilayah di sebelah timur Kali Opak (melintasi daerah Prambanan sekarang) dikuasai oleh pewaris tahta Mataram (yaitu Sunan Pakubuwana III) dan tetap berkedudukan di Surakarta, sementara wilayah di sebelah barat (daerah Mataram yang asli) diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi sekaligus ia diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifattullah I, atau disingkat menjadi  Sultan Hamengkubuwana I yang berkedudukan di Yogyakarta. Di dalamnya juga terdapat klausul, bahwa pihak VOC dapat menentukan siapa yang menguasai kedua wilayah itu jika diperlukan.

Kesultanan Yogyakarta dibagi menjadi 3 daerah, yaitu Nagari Ngayogyakarta yang merupakan ibukota, Nagara Agung (wilayah utama, Yogyakarta saat ini), dan Manca Nagara (wilayah luar, daerah eksklave seperti Madiun, Surabaya, Semarang, Rembang, Kediri).
Dalam perjalanannya, daerah Eksklave direbut oleh Belanda lewat tangan Daendels dan Raffles.
Setelah Perang Diponegoro selesai pada 1830, pemerintah Hindia Belanda akhirnya merampas seluruh wilayah Manca Nagara. Pada tahun itu pula ditandatangani Perjanjian Klaten pada 27 September 1830 yang menegaskan wilayah dan batas-batas Kasultanan Yogyakarta dengan Kasunanan Surakarta. Wilayah Kasultanan Yogyakarta hanya meliputi Mataram dan Gunungkidul dengan luas 2.902,54 km persegi. Di wilayah tersebut terdapat daerah Enklave Surakarta (Kotagede dan Imogiri), Mangku Negaran (Ngawen), dan Paku Alaman (Kabupaten Kota Paku Alaman).

Sampai 1792 Kasultanan Yogyakarta secara de facto merupakan negara merdeka dan VOC hanyalah mitra yang sejajar. Untuk menjamin posisinya maka VOC menempatkan seorang Residen di Yogyakarta untuk mengawasi Kesultanan. Kedudukan Residen ini mulanya berada di bawah Sultan dan sejajar dengan Pepatih Dalem. Daendels menaikkan kedudukan Residen menjadi Minister, yang merupakan menteri Raja/Ratu Belanda dan mewakili kehadiran Gubernur Jenderal.
Dengan kedatangan Raffles sistem pemerintahan berubah lagi. Sultan tidak diperbolehkan mengadakan hubungan dengan negara lain sebab kedaulatan berada di tangan pemerintah Inggris. Begitu pula dengan Pepatih Dalem, Pengurus Kerajaan (Rijkbestuurder), diangkat dan diberhentikan berdasar kebutuhan pemerintah Inggris dan dalam menjalankan pekerjaannya harus sepengetahuan dan dengan pertimbangan Residen Inggris. Sultan mulai dibebaskan dari pemerintahan sehari-hari yang dipimpin oleh Pepatih Dalem yang dikontrol oleh Residen.
Selepas Perang Diponegoro selesai pada 1830, pemerintahan Nagari yang berada di tangan Pepatih Dalem dikontrol secara ketat sekali oleh Belanda untuk mencegah terjadinya pemberontakan. Kasultanan Yogyakarta secara de facto dan de jure menjadi negara protektorat 1 dari Koninkrijk der Nederlanden (Kerajaan Belanda), dengan status zelfbestuurende landschappen (swapraja: daerah-daerah kerajaan atau berpemerintahan sendiri). Selain itu Pemerintah Hindia Belanda selalu mengajukan perjanjian politik yang dinamakan kontrak politik bagi calon Sultan yang akan naik tahta. Perjanjian ini diberlakukan terhadap Sultan Hamengkubuwana V - Sultan Hamengkubuwana IX. Kontrak politik terakhir dibuat pada 18 Maret 1940 antara Gubernur Hindia Belanda untuk Daerah Yogyakarta, L. Adam dengan HB IX.

Pada 1900-an Belanda mencampuri birokrasi pemerintahan Kesultanan secara intensif dengan maksud memasukkan birokrasi barat modern. Untuk membiayai birokrasi tersebut maka pada 1915 APBN Kasultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua yaitu APBN untuk Parentah Ageng Karaton dan APBN untuk Parentah Nagari yang berada dalam kontrol Hindia Belanda. Untuk belanja dan mengurus keperluan istana, setiap tahun Sultan mendapat uang ganti rugi yang disebut Daftar Sipil yang ditentukan dalam kontrak politik yang dibuat sebelum Sultan naik tahta. Dengan demikian Sultan benar-benar tersingkir dari pemerintahan Nagari dan hanya berperan di istana saja.

Perubahan besar dalam pemerintahan terjadi pada saat Sultan Hamengkubuwono IX (HB IX) naik tahta pada tahun 1940, khususnya selama pendudukan  Jepang (1942-1945). Secara perlahan namun pasti, Sultan melakukan restorasi (bandingkan dengan restorasi Meiji). Sultan membentuk badan-badan pemerintahan baru untuk menampung urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Tentara Pendudukan Jepang. Badan tersebut dinamakan Paniradya yang masing-masing dikepalai oleh Paniradyapati. Paniradyapati tidak lagi berada di bawah kekuasaan Pepatih Dalem melainkan langsung berada di bawah kekuasaan Sultan. Dengan perlahan namun pasti Sultan HB IX memulihkan kembali kekuasaannya selaku kepala pemerintahan.
Pada pertengahan 15 Juli 1945, Pepatih Dalem terakhir, KPHH Danurejo VIII, mengundurkan diri karena memasuki usia pensiun. Sejak saat itu Sultan tidak menujuk lagi Pepatih Dalem sebagai penggantinya melainkan mengambil alih kembali kekuasaan pemerintahan negara. Sebagai kelanjutannya birokrasi kesultanan dibedakan menjadi dua bagian yaitu urusan dalam istana (Imperial House) dan urusan luar istana. Urusan dalam istana ditangani oleh Parentah Ageng Karaton yang mengkoordinasikan seluruh badan maupun kantor pemerintahan yang berada di istana yang terdiri dari beberapa badan atau kantor. Semuanya dipimpin dan diatur secara langsung oleh saudara atau putera Sultan.
Sultan memimpin sendiri lembaga luar istana, yang terdiri dari beberapa Paniradya yang secara administratif dipimpin oleh Bupati.

SAAT PROKLAMASI KEMERDEKAAN RI
Pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI, Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII mengirim berita kawat kepada Presiden RI, menyatakan bahwa Daerah Kesultanan Yogyakarta dan Daerah Paku Alaman menjadi bagian wilayah Negara Republik Indonesia, serta bergabung menjadi satu, mewujudkan sebuah Daerah Istimewa Yogyakarta yang bersifat kerajaan. Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII kemudian menjadi Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala Daerah Istimewa dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

Sejak Kemerdekaan Indonesia, setidaknya terdapat 7 periode penyelenggaraan pemerintahan DIY,
Diawali dengan Periode I (1945- 1946) yang merupakan masa sambutan kemerdekaan Indonesia dimana pada tanggal 18 Agustus 1945 HB IX dan PA VIII mengucapkan selamat kepada Soekarno-Hatta atas Kemerdekaan Indonesia. Esoknya, Sidang PPKI yang membahas daerah Istimewa mengalami kebuntuan, karena daerah istimewa yang ada merupakan daerah dependen (bukan daerah terjajah) sehingga tidak mungkin dijadikan daerah kekuasaan, sebab jika dijadikan daerah otonom, seperti yang diungkapkan Pangeran Puruboyo, wakil dari Yogyakarta Kooti, akan bertentangan dengan konsep negara kesatuan yang telah disepakati sehari sebelumnya.
Kemudian perubahan mendasar terjadi setelah HB IX mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi, barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945, Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Sri Paduka PA VIII pada hari yang sama.

Pada tahun 1950 secara resmi Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat ini, bersama-sama dengan Kadipaten Pakualaman menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi sebagai bagian Negara Kesatuan Indonesia. Dengan demikian status Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai sebuah negara (state) berakhir dan menjelma menjadi pemerintahan daerah berotonomi khusus. Sedangkan institusi istana kemudian dipisahkan dari "negara" dan diteruskan oleh Keraton Kasultanan Yogyakarta.

Pergolakan mengenai status keistimewaan Yogyakarta mulai muncul pada Tanggal 1 September 1965, sebulan sebelum terjadi G30S/PKI, Pemerintah mengeluarkan UU No. 18 tahun 1965 tentang pemerintahan daerah. Dalam UU ini Yogyakarta dijadikan sebuah Provinsi (sebelumnya adalah Daerah Istimewa Setingkat Provinsi). Dalam UU ini pula seluruh “swapraja” yang masih ada baik secara de facto maupun de jure yang menjadi bagian dari daerah lain yang lebih besar dihapuskan. Dengan demikian Yogyakarta menjadi satu-satunya daerah bekas swapraja yang diakui oleh Pusat. UU ini juga mengisyaratkan penghapusan status istimewa baik bagiAceh maupun Yogyakarta di kemudian hari. Mulai dengan keluarnya UU No 18/1965 dan UU pemerintahan daerah selanjutnya, keistimewaan Yogyakarta semakin hari semakin kabur.

Semakin kabur lagi setelah wafatnya HB IX pada tahun 1988, bukannya mengangkat HB X sebagai Gubernur pengganti, Pemerintah Pusat justru menunjuk PA VIII sebagai Penjabat Gubernur/Kepala Daerah Istimewa. Pada 1998, beberapa bulan setelah lengsernya Soeharto, PA VIII pun mangkat. Keadaan ini menimbulkan kekosongan kekuasaan, sehingga atas desakan rakyat, Sultan HB X ditetapkan sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa oleh Pemerintah Pusat untuk masa jabatan 1998-2003. (Pro-kontra Suksesi Gubernur I)
Karena suksesi di Puro Paku Alaman untuk menentukan siapa yang akan bertahta menjadi Pangeran Adipati Paku Alam tidak berjalan mulus, maka Sultan HB X tidak didampingi oleh Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa. Pada tahun 1999 Sri Paduka Paku Alam IX naik tahta, namun beliau belum menjabat sebagai Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa.

Pro kontra suksesi Gubernur II
Ketika masa jabatan Sultan HB X berakhir di tahun 2003, kejadian di tahun 1998 terulang kembali. DPRD Prov DI Yogyakarta menginginkan pemilihan Gubernur sesuai UU 22/1999. Namun kebanyakan masyarakat menghendaki agar Sultan HB X dan Sri Paduka PA IX ditetapkan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur. Sekali lagi Sultan HB X dan Sri Paduka PA IX diangkat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur dengan masa jabatan 2003-2008.

Tidak segera rampungnya RUUK Keistimewaan Yogyakarta yang sempat digawangi oleh Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM membuat pada akhirnya HB X dan PA IX lagi-lagi diangkat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur untuk masa jabatan 2008-2013.

Catatan yang cukup penting adalah, berdasarkan UU No 3/1950 (setelah resmi menjadi Daerah Istimewa), para pangeran di Kesultanan tidak ada kedudukan. Yang menjadi Gubernur adalah Sultan, tapi keluarga pangeran tidak ada kaitan dengan birokrasi. Inilah penjelasan bahwa DIY juga B U K A N merupakan monarki konstitusi, seperti yang sempat disebut-sebut oleh SBY.

Mengapa Jogja disebut Istimewa?
Untuk membahas topik ini, coba kita baca kutipan berikut, yang saya ambil dari Sociopolitica’s Blog berjudul “Kisah Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat Dalam Kebutaan Sejarah“ (November 30, 2010)

... SEHARI setelah Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang terbentuk sejak 7 Agustus 1945, memutuskan tiga hal penting. Pertama, menetapkan UUD 1945 sebagai Undang-undang Dasar negara. Kedua, memilih Ir Soekarno dan Drs Mohammad Hatta, sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Ketiga, sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat, pekerjaan Presiden untuk sementara waktu dibantu oleh Komite Nasional. Kabinet Republik Indonesia yang pertama terbentuk 2 September 1945 dengan 16 menteri ditambah seorang Sekertaris Negara, seorang Ketua Mahkamah Agung dan seorang Jaksa Agung. Pada hari yang sama diangkat 8 Gubernur dari provinsi-provinsi Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil (Bali hingga Timor), Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Saat itu, de factodan de jure,  Kesultanan Yogya atau Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat, yang memiliki suatu eksistensi yang jelas –bahkan secara internasional lebih jelas dari eksistensi republik muda yang bernama Indonesia– adalah sebuah wilayah yang memiliki kedaulatan tersendiri. Letak geografisnya yang berbatasan dengan Jawa Tengah tidak dengan sendirinya membawanya ke dalam Negara Republik Indonesia yang baru diproklamirkan, walaupun tercatat kehadiran sejumlah tokoh yang berasal dari wilayah itu dalam berbagai gerakan kebangsaan sebelum Indonesia merdeka.
Tak ada kondisi objektif yang memaksa Kesultanan Yogya untuk harus bergabung dengan Republik Indonesia. Ia memiliki syarat minimal untuk menjadi sebuah negara tersendiri. Memiliki tata pemerintahan yang per waktu itu telah berlangsung hampir dua abad, memiliki wilayah dengan sumber-sumber kehidupan, memiliki rakyat, memiliki garis pantai, tak terkepung penuh oleh suatu wilayah negara lain. Jika menghendaki berdiri sendiri, Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat, bisa melanjutkan eksistensinya sebagai suatu negara dengan kedaulatan sendiri. Kalau Republik Indonesia ingin memasukkan Kesultanan Yogyakarta sebagai bagian wilayahnya, diperlukan aneksasi. Tapi itu semua tidak perlu terjadi. Ada faktor keterkaitan moral yang menghubungkan Sultan Yogya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dengan Republik Indonesia, sehingga setelah bertemu dengan Presiden RI yang pertama, Ir Soekarno, ia bersepakat untuk menjadikan Yogya sebagai bagian dari negara baru Republik Indonesia pada hari ke-20 kemerdekaan Indonesia.
Tanggal 5 September 1945 keluar sebuah maklumat. “Kami, Hamengku Buwono IX, Sultan Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat, menyatakan: 1. Bahwa Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia; 2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat mulai saat ini berada di tangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya; 3. Bahwa perhubungan antara Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung dan kami bertanggung jawab atas Negeri kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Kami memerintahkan supaya segenap penduduk dalam Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat mengindahkan amanat kami ini”.  Di bawah maklumat tersebut tercantum tanggal 28 Puasa, Ehe, 1876 (5 September 1945), dan nama Hamengku Buwono IX.
Saatnya makin pragamatis dan melepaskan diri?
Kita harus mengakui bahwa maklumat Sultan Hamengku Buwono IX, 5 September 1945, itu sangat besar artinya bagi negara muda Republik Indonesia, yang satu dan lain hal terkait dengan aspek legitimasi dan psikologis. Bukan hanya itu, pada akhir 1945 keamanan Jakarta menjadi buruk, termasuk terhadap tokoh-tokoh pemimpin pemerintahahan negara, dengan masuknya kembali tentara Belanda yang membonceng pasukan sekutu. Tentara Belanda melakukan sejumlah aksi militer dan teror di Jakarta. Tanggal 30 Desember 1945 marinir Belanda mendarat melalui Tanjung Priok. Keadaan yang dinilai makin memburuk dan membahayakan, menyebabkan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta memutuskan untuk pindah ke Yogyakarta 4 Januari 1946. Pemerintahan Indonesia juga turut pindah ke Yogyakarta, dan hanya PM Sjahrir yang tetap di Jakarta.
Praktis selama hampir 4 tahun, Yogyakarta menjadi ibukota tempat pusat pemerintahan negara dijalankan. Selama 4 tahun itu Sultan Hamengkubuwono IX mengkontribusikan tak sedikit dari hartanya, untuk menutupi biaya pemerintahan, termasuk gaji pegawai dan tentara. Presiden Soekarno baru kembali ke Jakarta 28 Desember 1949 dan mulai memangku jabatan selaku Presiden Republik Indonesia Serikat. Selama menjadi ibukota negara, setidaknya dua kali Yogya menjadi sasaran agresi militer Belanda. Bisa dikatakan bahwa Yogyakarta tak pernah bisa dilepaskan dari sejarah perjuangan mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia, bersenjata maupun bentuk perjuangan lainnya mengisi kemerdekaan. Di tengah gejolak perjuangan politik dan perjuangan bersenjata, 3 Maret 1946, didirikan Balai Perguruan Tinggi Kebangsaan Gajah Mada, yang kelak di kemudian hari berkembang menjadi Universitas Gajah Mada. Lembaga pendidikan tinggi ini merupakan perguruan tinggi nasional yang pertama didirikan oleh pemerintah Indonesia merdeka. Tempat belajar perguruan tinggi ini pada masa-masa awal adalah Pagelaran dan Sitihinggil yang merupakan bagian dari Keraton Yogya yang dipinjamkan oleh Sultan Hamengku Buwono IX. Dan sepanjang menyangkut seorang yang kita kenal sebagai Sultan Hamengku Buwono IX, ada satu daftar panjang tentang jasa dan pengorbanannya bagi bangsa ini hingga akhir hayatnya. Kalau ada di antara kita yang tak mau lagi –entah dengan alasan politik atau apapun– memandang Sultan Hamengku Buwono X, tetaplah jangan melupakan Sultan Hamengku Buwono IX salah satu manusia Indonesia yang langka karena kemampuan pengorbanannya yang luar biasa. Ia adalah raja yang sesungguhnya dalam kehidupan bernegara di negeri  ini. Di bawah Sultan Hamengkubuwono IX, Yogya tak pernah terbawa ke dalam kancah gerakan separatis untuk membentuk negara boneka. Banyak tokoh di berbagai daerah yang terperangkap strategi dr Van Mook, sehingga membentuk negara-negara boneka, seperti Negara Pasundan atau Negara Jawa Barat, Negara Madura, Negara Jawa Timur, Negara Sumatera Timur, Negara Jawa Tengah, Negara Indonesia Timur, Dewan Federal Borneo Tenggara, Daerah Istimewa Borneo Barat, serta Republik Maluku Selatan. Yogya tetap teguh kepada Republik Indonesia.
Tanpa mengecilkan arti perjuangan kemerdekaan di wilayah lain Indonesia, Yogya bagaimanapun menjadi wilayah yang secara luar biasa telah memberi arti bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sudah tibakah saatnya untuk makin pragmatis dan melepaskan diri dari apa yang oleh sebagian pemimpin masa kini mungkin dianggap sebagai ‘belenggu’ hutang budi dan rasa terimakasih dalam konotasi beban sejarah?...


Resume:
Yogyakarta disebut Istimewa bukan hanya karena latar sejarahnya (merupakan wilayah merdeka saat proklamasi Indonesia), tapi juga dari segi perannya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kebudayaannya yang begitu melimpah, bisa disebut miniatur Indonesia, perannya dalam memajukan Pendidikan nasional, kesetiaannya pada NKRI, dan lain sebagaianya.
Penetapan HB dan PA sebagail Gubernur dan Wagub DIY merupakan bentuk penghargaan  dari bangsa Indonesia (dalam bentuk UU No. 5 Tahun 1974 (UU Pemda 1974), yang mengukuhkan penetapan Sri Sultan HB IX sebagai Gubernur DIY.

Kekisruhan muncul karena hingga saat ini tidak jelas, apa itu 'keistimewaan DIY', serta regulasi yang tetap mengenai hal itu.
Belum lagi berbagai kejadian setelah wafatnya HB IX, meski pada akhirnya HB X, sebagai pengganti HB IX, diangkat menjadi Gubernur DIY pada 1998.
RUU Keistimewaan yang muncul semenjak 2002 tak kunjung selesai seolah menggantungkan staus DIY.
Polemik menjadi semakin panas sejak Pak BeYe menyebut sistem yang ada di Jogja ini sebagai sistem 'monarki konstitusional'.

Berikut kronik sejarah DIY:
13 Februari 1755   : Kesultanan Ngayogyokarto Hadiningrat berdiri
                  1830     : Pemerintah Hindia Belanda merampas Daerah Manca milik Kesultanan Ngayogyokarto Hadiningrat
27 September 1830      : Wilayah Kasultanan Yogyakarta hanya meliputi Mataram dan Gunungkidul dengan luas 2.902,54 km persegi.
~  1792                  :  Kasultanan Yogyakarta secara de facto merupakan negara merdeka dan VOC hanyalah mitra yang sejajar
kedatangan Raffles : Sultan mulai dibebaskan dari pemerintahan sehari-hari yang dipimpin oleh Pepatih Dalem yang dikontrol oleh Residen Inggris.
~   1830                 : . Kasultanan Yogyakarta secara de facto dan de jure menjadi negara protektorat dari Koninkrijk der Nederlanden, dengan status zelfbestuurende landschappen.
18 Maret 1940       : Kontrak politik terakhir antaraGubernur Hindia Belanda untuk Daerah Yogyakarta, L. Adam dengan HB IX.
1940                       :  Sultan HB IX melakukan restorasi. Sultan membentuk badan-badan pemerintahan baru untuk menampung urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Tentara Pendudukan Jepang. Badan tersebut dinamakan Paniradya yang masing-masing dikepalai oleh Paniradyapati. Paniradyapati tidak lagi berada di bawah kekuasaan Pepatih Dalem melainkan langsung berada di bawah kekuasaan Sultan. Dengan perlahan namun pasti Sultan memulihkan kembali kekuasaannya selaku kepala pemerintahan.
 15 Juli 1945         :  Pepatih Dalem terakhir, KPHH Danurejo VIII, mengundurkan diri karena memasuki usia pensiun. Sejak saat itu Sultan tidak menujuk lagi Pepatih Dalem sebagai penggantinya melainkan mengambil alih kembali kekuasaan pemerintahan negara.  birokrasi kesultanan dibedakan menjadi dua bagian yaitu urusan dalam istana (Imperial House) dan urusan luar istana. Urusan dalam istana ditangani oleh Parentah Ageng Karaton yang mengkoordinasikan seluruh badan maupun kantor pemerintahan yang berada di istana yang terdiri dari beberapa badan atau kantor Semuanya di pimpin dan diatur secara langsung oleh saudara atau putera Sultan. Sultan meminpin sendiri lembaga luar istana, yang terdiri dari beberapa Paniradya yang dipimpin oleh Bupati. Daerah di sekitar istana dibagi menjadi lima kabupaten yang administrasi lokalnya dipimpin oleh Bupati.
18/19 Agustus 1945      : Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) dan Sri Paduka Paku Alam VIII (PA VIII) mengirimkan ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta atas kemerdekaan Indonesia dan atas terpilihnya mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia.
19 Agustus 1945    : Sidang PPKI membahas daerah Istimewa, buntu.
5 September 1945 : Dekrit Resmi Kerajaan Untuk Berintegrasi kepada RI (Amanat 5 September 1945)
29 Oktober 1945   : Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945 ) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legislatif pada BP KNI Daerah Yogyakarta
16 Februari 1946  : keluar Maklumat No. 11 yang berisi penggabungan seluruh birokrasi yang ada ke dalam satu birokrasi Jawatan (Dinas) Pemerintah Daerah yang untuk sementara disebut dengan Paniradya. Selain itu melalui Maklumat-maklumat No 7, 14, 15, 16, dan 17, monarki Yogyakarta mengatur tata pemerintahan di tingkat kalurahan (sebutan pemerintah desa saat itu).
1945 – 1946                : Penyusunan RUU Pokok Pemerintahan Yogyakarta
18 Mei 1946          : Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII dengan persetujuan BP DPR DIY (Dewan Daerah) pada 18 Mei 1946 mengeluarkan Maklumat No. 18 yang mengatur kekuasaan legeslatif dan eksekutif
1951                       : Pemilu Lokal (Tingkat Daerah) Pertama untuk memilih anggota DPRD, Pemisahan dan Pembagian Urusan Pemerintahan Keraton dengan Pemda DIY
1 September 1965 : Yogyakarta dijadikan sebuah Provinsi (sebelumnya adalah Daerah Istimewa Setingkat Provinsi (UU No 18/1965)
1988                    : HB IX Wafat
1998                     : PA VIII wafat, Suksesi Gubernur I
2001                     : Pengusulan RUU Keistimewaan
2003                     : Suksesi Gubernur II
7 April 2007       : Sultan HB X menolak dipilih lagi menjadi Gubernur DIY


Tulisan pembanding:
http://politik.kompasiana.com/2010/12/05/haruskah-sultan/

1 Protektorat: negara atau wilayah yang dikontrol, bukan dimiliki, oleh negara lain yang lebih kuat. Sebuah protektorat biasanya berstatus otonomi dan berwenang mengurus masalah dalam negeri. Pemimpin pribumi biasanya diperbolehkan untuk memegang jabatan kepala negara, walupun hanya sebatas nominal saja. Negara pengontrol mengurus hubungan luar negeri dan pertahanan protektoratnya, seperti yang tertulis dalam perjanjian. Singkat kata, protektorat merupakan salah satu jenis wilayah dependensi.



Referensi:
-          http://berita.liputan6.com/politik/201012/311141/Polemik.Keistimewaan.Yogyakarta.Berlanjut
-          http://www.rimanews.com/read/20101129/7509/inilah-pernyataan-sby-soal-ruu-keistimewaan-yogyakarta
-          http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2008/09/24/brk,20080924-137229,id.html
-          http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Ngayogyakarta_Hadiningrat
-          http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Keistimewaan_dan_Pemerintahan_Prop._DIY
-          http://sociopolitica.wordpress.com/2010/11/30/kisah-negeri-ngayogyakarto-hadiningrat-dalam-kebutaan-sejarah/