Rabu, 31 Januari 2018

Doa

Matahari telah lama sembunyi saat perjalanan dimulai.

Bahkan bulan, sempat ditelan bayangan bumi dengan begitu sempurna.

A long journey, saat doa-doa mengalir.
Panjang dan deras. Saat kusadar bahwa kesempatan terkabul terbuka lebar.

Lantas imaji berlari ke suatu tempat yang rasanya begitu kukenal. Serta sebuah sosok. Begitu penasaran. Begitu ingin tahu.

Jika kesempatan itu ada, aku ingin sekali memanjatkannya. Tapi apa?

Aku benci menebak.

Terlebih saat setuju adalah jawaban.

Adakah sebenar-benarnya?

Maka akhirnya kuucap;
Kekasih, tetapkan iman untuknya.
Tetapkan yang baik dan yang terbaik untuknya.
Kekasih, mudahkan apa-apa yang Ia usahakan. Kabulkan apa-apa yang Ia pinta.

Progo:
150 menit sejak keberangkatan.

P.S: apa lagi yang harus kupanjat, Kekasih?

Sabtu, 27 Januari 2018

Pulang

“Aku terbang besok, jam sepuluh” bisikku padanya, lewat telepon di genggamanku.
“Kamu, pasti balik ‘kan?” jawabnya.
Dan leherku tercekat.

Di pesawat, begitu kuletakkan pinggulku di kursi, kukirim gambar boarding  passku padanya.
“Aku tunggu kamu kembali”
Kumatikan gawaiku. Kupilih untuk memejamkan mata. Satu setengah jam ditambah tiga jam penerbangan lanjutan bukan waktu tempuh yang pendek. Aku perlu menenangkan jiwa dan pikiranku.


“Aku ingin Ibu yang cerdas untuk anak-anakku nanti. Ibu yang tangguh. Ibu terbaik yang akan menjaga anak-anakku nanti. Perempuan hebat yang seperti itu, ya kamu” matanya menusuk jantungku.
“Stop, jangan teruskan. Kau tahu aku tak bisa. Once I started, I can’t go back”
“Maka mulai lah…”
“Kita pulang yuk” Dan aku pun berdiri. Membayar makanan kami malam itu.
“Hei…” digenggamnya pergelangan tanganku saat kuulurkan tanganku ke kasir.
“Aku bisa membayar makananku sendiri kok, dan tadi sore kamu sudah bayar makan sore kita. Let me pay this time” Dan dia berangsur melepas genggamannya.

Aku terbangun,
Mimpi ternyata membawaku ke malam itu, jumpa terakhirku dengannya. Pilot mengumumkan bahwa pesawat akan segera mendarat. Maka kutegakkan sandaran kursiku.

Jakarta,
Akhirnya kuinjakkan kembali kakiku di sini.
Rasanya sangat lama, padahal baru lebaran kemarin aku mudik. Tapi tidak untuk kali ini. Entah kapan aku akan menapakkan langkah di sini lagi. Terutama untuk terbang ke timur, lagi.
Dua minggu berlalu, aku memilih sekedar menjawab sekadarnya pesan-pesan darinya.
Tapi tak untuk setiap pertanyaannya tentang ‘pulang’.

Hingga pagi itu kubaca status aplikasi perpesannya:
“Before 2017 ends, inbox me something that you’re always wanted to tell me. It’s gonna stay secret between us two. Post this as your status and maybe someone will surprise you”

Klik reply:
I love you, tidak kurang tidak lebih.
Maaf jika mencukupkan diri, sebab aku tak sanggup membiarkanmu jatuh dengan cinta yang sama, tapi tak sanggup menanggung rindu.

Save as draft

Selasa, 02 Januari 2018

Kuis bego-begoan: Seberapa 'bego' kamu?

Hello People,

Gimana liburan kalian, rame gak? Kalau beta rame di timeline saja, sibuk menjawab kuis bego-begoan yang malang melintang di status WA dan belakangan ikut bikin rame story instagram. Buat kalian yang berhasil jawab bener terus, selamat ya! Buat yang harus ngerepost, harap bersabar, ini baru latihan ujian, hhehe. Buat yang belom sempet dapet kuis ini, kayaknya kalian kurang gaul deh, :p

Oke,mari kita kupas kuis tersebut dari yang paling gampang.

Kamu sedang tidur di kamar,kemudian Ibumu datang mengetuk pintu membawakan roti, selai dalam toples dan segelas susu.Mana yang kamu buka duluan?

Kuis ini adalah kuis yang paling banyak direpost oleh penghuni linimasa status WA saya. Lho, berarti banyak yang jawab salah dong? Berarti susah? Eits, tunggu dulu. Memang banyak yang salah, tapi jawaban yang dianggap benar hanya 1. Bisa disimpulkan bahwa pola pengambilan keputusan menuju jawaban yang dianggap benar sejatinya hanya 1 jalur saja.

Kita akan memulai bahasan dari jawaban-jawaban yang dianggap salah terlebih dahulu; mulai dari selai, toples, roti, hingga pintu. Loh terus jawaban yang benar apa?

Dalam dunia psikologi, kemampuan manusia untuk berfikir kompleks, serta kemampuan penalaran dan pemecahan masalah disebut kemampuan kognitif. Ada beberapa teori yang menjelaskan aspek kognitif manusia. Mayers (1996) menjelaskan bahwa kognisi merupakan kemampuan membayangkan dan menggambarkan benda atau peristiwa dalam ingatan dan bertindak berdasarkan penggambaran ini. Sedangkan menurut Chaplin, kognisi adalah konsep umum yang mencakup seluruh bentuk pengenalan, termasuk didalamnya mengamati, menilai, memerhatikan, menyangka, membayangkan, menduga, dan menilai.

Kaitannya dengan kuis di atas adalah, jawaban yang dianggap benar adalah hasil dari kemampuan kognitif yang baik. Kemampuan kognitif yang baik ini ditunjukkan dengan kemampuan untuk memahami teks secara utuh. Tidak sekedar membaca teks secara sepenggal demi sepenggal. Kemampuan kognisi yang baik membuat kita mampu membayangkan keseluruhan konteks kuis tersebut sehingga memungkinkan kita untuk menentukan langkah pertama yang harus diambil berdasarkan gambaran tersebut.

Mari kita cermati baik-baik kalimat di atas. [Saya sedang tidur] Lah namanya juga orang sedang tidur, tau darimana itu yang ngetuk pintu Ibu, lengkap dengan bawaannya pula. Logika darimana orang tidur bisa tahu fakta dibalik pintu? Kecuali kamu bisa project astral, kemungkinan besar kamu sedang bermimpi.

Maka jelas, pertanyaan apa yang dibuka dulu bukan pintu, roti, selai toples apalagi susu. Sebab susu tinggal diminum, eh. Apa yang dibuka dulu ini berkaitan dengan aktifitas tidurmu. Tangi cuk, alias wake up. Nha untuk bangun dan sadar sepenuhnya dari mimpi, ya buka muatamuuuuu (baca: Mata)

Afahamtum?


Mari kita lanjutkan obrolan kita ke kuis kedua yang gak kalah seru.

1+4 =5
2+5=12
3+6 =21
5+8= …
Ingat 98% orang salah menjawab tes ini. Bila anda menjawab dengan benar berarti anda jenius.

Hayooo, siapa yang jawab benar?
:p

Dengan bekal teori kognitif tadi, mohon baca baik-baik kuis di atas. Sementara itu, saya mau sedikit cerita tentang paragraf padu dan silogisme.

Paragraf Padu merupakan paragraf yang kalimat-kalimatnya tersusun secara logis dan serasi. Sehingga untuk menyusun kalimat menjadi paragraf padu, kalimat-kalimat penyusunnya haruslah memiliki urutan yang logis. Selain itu, antara kalimat satu dengan kalimat yang lain disambungkan dengan kata sambung atau konjungsi yang sesuai membentuk keserasian. Jadi jelas ya, kalimat-kalimat dalam sebuah paragraf itu harus disambung dengan kata sambung yang sesuai agar bisa disebut paragraf padu.

Selanjutnya adalah Silogisme. Silogisme adalah suatu proses penarikan kesimpulan secara deduktif. Silogisme disusun dari dua proposisi (pernyataan) dan sebuah konklusi (kesimpulan). Preposisi yang mendukung silogisme disebut dengan premis yang kemudian dapat dibedakan menjadi premis mayor (premis yang termnya menjadi predikat), dan premis minor ( premis yang termnya menjadi subjek). Dalam silogisme, sebuah kesimpulan, atau dalam hal ini jawaban, hanya bisa diambil dari dua pernyataan yang saling berhubungan.

Mari kita kembali lagi ke ‘kuis’ di atas. Seorang kawan menjawab 43. Saya tanya kenapa bisa begitu, dia jawab sebab hasil akhir hitungan adalah adalah gabungan seluruh nilai yang ada. “Coba liat tin, itu satu ditambah empat jadi 5.Tapi kok dua ditambah lima jadi dua belas? Kalau dipikir-pikir, dua belas itu kan dua ditambah lima ditambah value sebelumnya (5) yak? Nah, pas masuk ke 21 bener tuh. Harusnya jawaban terakhir itu empat puluh tiga dong. Kan lima tambah delapan plus 21” begitu katanya dengan menggebu. ‘Harusnya’? Iya, karena setelah itu dia melanjutkan curhatnya; ”Tapi kok salah ya?”

Jadi begini Mas,

Tolong cermati baik-baik kuis di atas. Apa judulnya? Oh situkan anak matematika yak, kalau dalam silogisme, premis mayornya yang mana, premis minornya yang mana? Loh kok jadi soligisme? Lha iya, kan situ mau cari konklusi alias kesimpulan tho? Dan masnya pun mak klakop. Tidak ada. Oke kalau begitu, teori silogisme tidak bisa dipakai njih. Ndak usah nggathuk-nggathukke angka-angka yang ada. Lanjut, di bawah angka-angka itu ada informasi yang cukup mencengangkan: ‘Ingat 98% orang salah menjawab tes ini. Bila anda menjawab dengan benar berarti anda jenius.

Mari kita baca baik-baik. ‘tes ini’. Hm, ‘ini’ merujuk kemana ya? Di mana kata sambung yang menghubungkan ‘itu’ dengan referensinya? Lha wong di atas tidak ada ‘kata’ tes kok. 
Berarti jawabannya apa? Di kalimat selanjutnya, shay. Bila anda menjawab dengan benar berarti anda jenius. ‘Dengan’ itu ‘cara’, pembuat ‘kuis’ udah baik banget tuh ngasih jawaban, kok situ masih ngeyel. LAGIAN KAN UDAH GUE BILANG DI ATAS SONO NOH!


Nah,kali ini kuisnya agak kompleks. Sebab ada beberapa versi jawaban benar. ‘Sebenar’ apa sih jawaban mereka? Mari kita cek kuis ketiga berikut:

Ada bus, isinya supir, ada nenek, ada orang buta, ada anak kuliah, ada pekerja kantor, semuanya turun di halte yang sama. Ketika berhenti di halte, yang turun duluan adalah....


Sekali lagi, mari baca baik-baik kuis di atas. Seperti biasa, saya akan memulai dengan memampang jawaban yang salah: Siapapun pilihan anda,jawaban anda tetap salah. Loh kok bisa? Sebab sejauh yang saya dapat, jawaban yang dianggap benar adalah ‘kecepatan’, ‘spedoometer’, ‘ban’ dan ‘kaki’. Dari keempat jawaban tersebut, mana yang menurut anda paling benar?

Setelah membaca kuis tersebut dengan seksama, jika kemampuan kognitif anda berkembang dengan baik, seharusnya kita bisa sama-sama membayangkan reka ulang kejadian. Sebuah bis dengan berbagai penghuninya. Masuk ke frase pertama kalimat kedua: Ketika berhenti di halte. Momennya adalah saat berhenti. Berhenti artinya tidak ada perpindahan tempat, berarti V = 0. Maka, opsi jawaban ‘kecepatan’ menjadi batal demi nalar. Kecuali jika premisyang diajukan adalah ‘ketika akan berhenti’. Paham beda antara ‘akan berhenti’ dengan ‘berhenti’, kan? Hal ini berimbas pada opsi jawaban ‘spedoometer’. Sebab ‘Spedoometer’ adalah bacaan data dari kecepatan. Kalau kecepatan nol ya jarum spedoometer juga di titik nol.

Bagaimana dengan Ban dan Kaki? Hm, mari kita bayangkan situasi kuis tersebut. Bus berisi beberapa orang yang akan turun di halte yang sama. Ketika si Bus sudah berhenti? Yang turun duluan adalah orang-orang di dalam Bus tersebut lah. Tapi siapapun orangnya, yang pasti turun duluan adalah kaki mereka!


Hal yang menarik dari ketiga kuis di atas adalah bagaimana kuis tersebut bisa memunculkan jawaban yang berbeda-beda. Rekan-rekan yang salah menjawab rata-rata ‘terjebak’ pada nomina yang disebutkan dalam kuis. Pilihannya? Tergantung pada pengalaman yang pernah mereka alami berkenaan nomina-nomina itu.Yang jawab roti ya karena biasanya ambil rotinya dulu. Yang jawab selai, ya karena biasanya ambil selai dulu.

Dalam kajian ilmu semantik, ada petanda dan penanda. Petanda adalah nomina terkait sedangkan penanda adalah konsep dalam kepala kita terkait petanda. Jadi ketika menyebut ‘selai’, maka otak kita akan membayangkan warna, bau serta rasa selai itu. Itulah kesatuan konsep tentang selai di di pikiran kita. Nah, Otak manusia ini unik, dia menyukai sesuai yang berbeda, yang melibatkan sebanyak mungkin indera. Ini adalah ‘jawaban’ mengapa nomina alias kata benda lebih cepat ditangkap oleh otak manusia sebagai fokus daripada kata kerja. Selanjutnya, tergantung pengalaman J


Bila kita mau sedikit berefleksi, sesungguhnya inilah sifat asli manusia. Cenderung fokus pada hal-hal yang lebih ‘menarik’. Harap diingat bahwa ‘menarik’ tidak selalu memiliki referen bernilai positif. Inilah yang sangat disayangkan. Ketika udah terlanjur benci, kita bisa dengan mudah ‘mengabaikan’ hal-hal baik dari seseorang. Bahkan, kita bisa mengabaikan keseluruhan konteks hanya karena terlanjur fokus ke satu titik.

Di kuis kedua, ini agak kompleks nih. Kecerdasan kadang membuat kita merasa paling benar dan nggathuk-nggathukke berbagai hal. Padahal tidak semua hal perlu disambung-sambungin. Mari belajar bersabar, melihat keseluruhan konteksdan melihat konektifitas satu hal dengan yang lain alih-alih terburu mengambil kesimpulan. Bila tidak ada penghubung antar titik, ya ndak usah dihubung-hubungkan.

Hayo ngaku, di dunia nyata, siapa yang suka uthak-athik gathuk, kesel sendiri, eh taunya Cuma asumsi doank. Heheheh

Nah, kalau yang ketiga ini sih sebenernya sederhana. Gunakan nalarmu sebaik-baiknya. Sebaik apapun pertimbanganmu, tetaplah kritis untuk menemukan pangkal dari segala hal.


Salam Nalar,

Afahamtum?


Senin, 01 Januari 2018

Ayat-ayat cinta 2 dan Rentetan Ironi tentang Bangsaku.


Well hello people, kali ini saya hendak menulis sebuah review film yang baru saja rilis. Review kali ini agak berbeda sebab saya justru memilih film yang tidak direkomendasikan oleh teman-teman maupun netijen. Sebelumnya terimakasih banyak untuk Mbak Teppy, berkat review dari Mbak Teppy, saya justru tertantang untuk menemukan sisi lain film ini. Selain itu, eug juga musti berterimakasih sama Agik yang tahu betul selera guyonku; I need some sarcasm to laugh. So, karena saya juga bukan tipe yang nyaman berkomentar tanpa mengalami langsung, Maka, inilah review nano-nano ala saya.

Disclaimer: ini adalah persepsi personal saya berdasarkan apa yang muncul di kepala saya saat menonton. Tidak bermaksud menjelekkan pihak tertentu, hanya sekedar merelasikan adegan-adegan di film sebagai ironi. Bukan sekedar tentang Islam, tapi ke-Indonesiaan, kemanusiaan dan lain sebagainya. Yass, saya mengaku dosa bahwa saya nonton ini film sambil cetat-cetet hape. Saya tidak akan membahas filmografi ataupun hal-hal yang terkait teknis penceritaan sebagaimana sudah dikupashabis nan tuntas oleh Mbak Teppy. Saya justru tertarik pada isu-isu yang mengalir di sepanjang cerita. Oke mari kita mulai.

Film dimulai dengan penggambaran sosok Fahri sebagai sosok yang waw: dosen favorit, sekaligus pebisnis yang kasat mata sukses. Berbagai sisi ‘baik’ Fahri diobral; mulai dari hapalan Quran, membiarkan perlakuan semena-mena tetangga hingga tetap berlaku baik meski diperlakukan tidak baik. Konflik mulai muncul ketika Hulusi menampakkan sikap kurang bersahabat pada Nenek Catarina yang merupakan Yahudi Sinagog. Raut muka Hulusi nampak amat tidak nyaman saat Fahri memilih untuk mengantarkan Nenek Catarina ke Sinagog. Hulusi makin kesal karena di Sinagog, perlakuan tidak baik justru diterima oleh mereka. Ketika Fahri menegur Hulusi yang bersikap seperti itu, Hulusi keceplosan bawa-bawa Aisha yang telah lama menghilang*spoiler. Terungkaplah bahwa Fahri selama itu berbuat baik ‘karena diamanati demikian’ oleh Aisha. Yang paling menarik adalah kata-kata Fahri menanggapi Misbah: “Pancasila ada di sini (sambil nunjuk dada-red), Bhineka Tunggal Ika ada dimana-mana” saat Misbah menyatakan bahwa keberagaman di Edinburgh tidak sama dengan di Indonesia yang punya Pancasila.

Saya merasa ini adalah kritik sosial pertama yang begitu menampar. Sementara di dunia parallel di sana (ini meminjam istilah Mbak Teppy untuk penggambaran suasana Edinburgh yang rasa Indonesia) ada yang mengingat bahwa Pancasila itu bukan tentang bagaimana aturan mengikat kita, tapi bagaimana Pancasila hidup di diri kita. Bahwa manusia yang mengaku Indonesia seperti kitalah pengejawantahan Pancasila itu sendiri. Mari kita lihat realita yang terjadi, dimana Ketuhanan yang Maha Esa saat ratusan kamisan dilewati oleh jemaat GKI Yasmin di depan Istana? Di mana Pancasila saat para pemeluk Ahmadiyah diserang dan tak bisa beribadah di rumah Ibadah mereka sendiri? Sebagian bahkan merasa paling benar sehingga bebas ‘menindak’ setiap hal yang tak sejalan dengan prinsip mereka. Musyawarah is non sense. Ada juga yang senang sekali membuat pergolakan di masyarakat sehingga massa terbelah dalam sekat-sekat dunia. Yang satu menunjuk yang lain dengan berbagai sebutan,Ahlu Hoax, Cebong, Bani Taplak dan lain sebagainya. Persatuan Indonesia menjadi keniscayaan. Apalagi tentang Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Sungguh lucu ketika bicara tentang keadilan sosial dari tanah jawa yang nyaman ini sambil terus menghujat Presiden yang mati-matian ‘menghidupkan’ tanah papua agar dinikmati oleh orang papua itu sendiri! Kalau sudah begini, masihkah Pancasila ada di hati kita?

Adegan lain yang juga mengusik saya adalah scene dimana Nenek Catarina menuduh Fahri ‘memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan’ hanya karena sekilas melihat Fahri menolong Brenda yang mabuk. Paginya, ketika Brenda mengklarifikasi kejadian malam itu dan justru berterima kasih pada Fahriyang menolongnya malam itu, Nenek Catarina meralat kata-katanya. Ha! Betapa indahnya dunia ketika kita dengan lapang dada mau mengakui kesalahan. Sedang di dunia kita, ada aja lho yang gak merasa salah sudah mengedit video sehingga menyebabkan orang lain tersangkut hukum. pft

Adegan selanjutnya adalah momen dimana Jason, remaja tanggung tetangga Fahri yang suka mencoret-coret mobil Fahri – tertangkap basah mengutil di minimart miilik Fahri. Alih-alih melaporkan ke polisi, Fahri justru mentraktir Jason milkshake paling enak di sebuah café entah dimana itu. ‘Kebaikan’ Fahri pada akhirnya membuat muak Jason yang benci diperlakukan baik sedangkan Ia selama ini berbuat jahat pada Fahri. Hingga akhirnya Jason terbawa emosi dan berdiri dengan meninggikan suaranya, tebak apa yang dikatakan Fahri pada Jason yang notabene masih bocah itu: “Let’s be friend. Sit down, please!”

Ini WOW. Mari kita jujur pada diri kita sendiri dan melihat berbagai fenomena carut-marut dunia. Dimana pendekatan kekeluargaan sekarang dalam penyelesaian berbagai konflik? Padahal jarene negeri ini adalah negeri yang menjunjung tinggi persaudaraan. Segala hal saling dipertentangkan. Masing-masing beragumen dengan teori konspirasi masing-masing. Ada pihak yang membela hak kemanusiaan LGBT, lantas ‘diserang’ secara personal dianggap bagian dari kelompok tersebut. Ada insiden seorang yang disebut ustad ditolak masuk suatu negara,eh disebut-sebut itu kepentingan 2019. Uiku opotoh. Jangankan kekancan, lha wong menurunkan sedikit tensi saja ogah. Pokoke pendapatku paling bener. Wes titik.Ra podo ra konco! Sungguh ironi, bahkan dalam islam pun ada etika untuk objektif (“lihatlah apa yang dikatakan jangan lihat siapa yang mengatakan”(Ali bin Abi Thalib)), serta jika membenci pun, yang dibenci adalah perilakunya, bukan orangnya.

Cerita selanjutnya adalah ‘pameran’ kebaikan Fahri yang lain lagi; buy back rumah Nenek Catarina yang secara sepihak dijual oleh anak tirinya, ‘menyelamatkan’ Keira – kakak Jason yang sama bencinya ke Fahri -- dari niatnya sendiri menjual diri dengan sebuah ‘drama’ agar Keira memahami betapa bahayanya tindakannya itu, hingga mendatangkan guru les biola untuk Keira. Klimaks momen ini lagi-lagi disponsori oleh Hulusi yang menegur Fahri dengan ucapan; “Mau sampai kapan Hoca menghamburkan uang untuk Nenek Catarina dan Keira?”

Di dunia nyata, mana ada sih orang yang justru membiayai rangorang yang musuhin dia? Gak usah jauh-jauh, di Endonesa aja, orang lebih suka berbondong-bondong bikin aksi berjilid-jilid untuk menuntut seseorang dipenjara, daripada menahan diri untuk tak berkomentar saat ada ‘kebijakan aneh’ macam penutupan jalan Tanah Abang dan bersama-sama bersabar melihat ‘hasilnya’. (tepok jidat, yang sabar ya, Pak Gub dan Pak Wagub :p)

Keanehan lain yang terekam di kepala saya adalah Baruch (anak tiri Nenek Catarina) yang menantang Fahri duel debat dengan topik Konflik Timur Tengah. Ehm, tepatnya isu Israel-Palestina.
Eiyaampuuuuuuuun, sejak kapan itu orang endonesah menyelesaikan perseteruan dengan kaidah ilmiah? Yang ada main tampol, twitwor dan worwor lain yang bertaburan dimana-mana. Belum lagi misleading, komen asal njeplak, post-truth. Hadehhhhhhhh. Anggota DPR yang terhormat lho, bisa bangeet menganggap bahwa negara bersalah ketika ada warganya yang ditolak masuk negara lain. Ada juga yang ditantang debat tapi gak nongol, ada. Ampuuuuuuuuuuuun. Nah, sebelum sesi ini, si Fahri sempet nolak todongan debat tuh. Dia bilang tidak melayani debat kusir. Ceilehhhhhhhhh, sebagai penghuni twitter saya ngakak.

Di sisi lain, pemilihan topik Israel-Palestine ini juga sesuatu buat saya. Konflik Timteng itu banyak, hlo… But why Israel-Palestine? Lalu dari sekian banyak pendekatan pembahasan tentang koflik ini, kenapa penjelasan yang disampaikan Fahri hanya mementahkan satu teori dari Amerika?

Adegan lain yang sudah pernah disinggung di linimasa adalah operasi face-off antara Hulya dan Aisha. Wajah Hulya ‘didonorkan’ ke wajah Aisha yang rusak sehingga mewujud sebagai Sabina. Terlepas dari ketidaklogisan proses operasi, hal ini mengingatkan bahwa di negara kita, umat muslim adalah golongan yang paling sering berselisih soal teknologi. Ada masa dimana donor anggota tubuh menjadi perdebatan. Jangankan menerima ‘sumbangan bagian tubuh’ bahkan untuk sekedar mengubah tampilan fisik, ada dalil yang ngenekki. Apalagi isu vaksin yang jelas-jelas ‘berasal’ dari selain manusia. Sungguh ironi, mengingat dulu perkembangan ilmu pengetahuan merupakan salah satu bagian dari kejayaan Islam. Tapi ah, yasudahlah. Oh iya, di novel, sempat diceritakan Fahri salah memanggil nama Aisha dengan ‘Hulya’. Duh, berasa jadi orang lain saat gak pake ‘alis’, ya gak sis? :p

Hampir segala aspek di konten cerita ini mengandung ironi yang tajam. Bahkan pilihan hidup Fahri yang merindukan kehidupan Indonesia, Pancasilais dan tentu saja kaya, tapi memilih tinggal di luar negeri. Sehingga sesuai dengan penjelasan taxmin gaul Direktorat Jenderal Pajak bahwa orang Indonesia yang tinggal minimal 188 hari di luar negeri adalah Objek Pajak Luar Negeri. Sepertinya familiar ya dengan orang-orang kaya di Indonesia yang mengaku Pancasila tapi lebih memilih di luar negeri. Ah, mungkin cuma sekedar ingin berderma pajak ke tetangga sik J

Oh iya, ada satu aspek yang sebenarnya saya ragu untuk berkomentar, sebab bagian ini berbeda dengan versi novel. Apalagi kalau bukan tentang ‘kebutaan’ Fahri atas identitas asli Sabina. Di film Fahri baru sadar identitas asli Sabina saat Hulya dalam kondisi kritis. Ini lucu sih ya, seolah Fahri begitu ‘buta’. Well, kadang cinta memang buta, kan? Tapi kalau di novel, Fahri sebenarnya sudah lama mencurigai Sabina. Mulai dari cara menyajikan teh, puisi romantic yang dibacakan Hulya ke Fahri – yang ternyata di’ajarkan’ oleh Sabina, padahal puisi itu cuma Fahri dan ehm, Aisha yang tahu. Tapi yha entahlah. Ironi-ironi yang bertebaran kebanyakan memang mentah sih.


Habiburrahan El Shirazy menggambarkan dunia idealnya dengan begitu ‘sempurna’. Dan mimpi yang sama mungkin membuat sebagian merasa tertampar karena realita tidak seperti itu. Entah karena keegoisan manusia itu sendiri, atau memang kondisi ideal tersebut adalah niscaya. Jadi bagi Anda yang serta merta merasa kesal dengan poster promosi film yang dianggap , selamat! Sesungguhnya Ironi itu memang membangkitkan kecamuk di jiwa anda. Bahwa kadang pilihan di dalam hidup tak selalu merupakan pilihan-pilihan yang merdeka.
(baca: poligami tidak sesederhana itu yey, bahkan ada setiap perempuan dalam film AAC2 'membawa' konflik mereka masing-masing)