Selasa, 27 Februari 2018

Mengapa Yogyakarta (begitu) Istimewa

Peringatan: bagi Anda yang tidak tahan membaca artikel panjang, silahkan langsung menuju ke bagian paling bawah tulisan, telah tersedia resume artikel.


Tulisan ini bermula pada 12 Desember 2010, saat Walikota Yogyakarta saat itu menyampaikan puisi berjudul “Jangan Lukai Merah Putih” 







65 Tahun Bendera Merah Putih Berkibar di Bumi Indonesia
65 Tahun Semangat Merah Putih Berkibar di Hati Sanubari Bangsa Indonesia
Bangsa Indonesia telah menoreh Sejarahnya,
Sejarah yang ditopang oleh cita-cita,
Sejarah yang ditopang oleh Komitmen,
Sejarah yang ditopang oleh Pengorbanan,
Sejarah yang ditopang oleh Kesepakatan,
Sejarah yang ditopang oleh Kebersamaan dalam Kebhinekaan,
Maknailah Sejarah Merah Putih dengan Kearifan Hati Merah Putih,
Maknailah Amanat HB IX/PA VIII 5 September 1945 dengan Kearifan Hati Merah Putih,
Maknailah Keistimewaan Yogyakarta dengan Kearifan Hati Merah Putih,
Dengarkan Aspirasi Yogyakarta dengan Kearifan Hati Merah Putih
Suarakanlah Aspirasi Yogyakarta dengan Kearifan Hati Merah Putih
Sejarah adalah garis waktu yang hakiki,
Sejarah tidak bisa semata dimaknai untuk dihapus dengan Perspektif Regulasi
Sejarah tidak bisa semata dimaknai untuk dilupakan dengan Perspektif Politik
Amanat 5 September 1945 adalah Bagian sejarah Berkibarnya Merah Putih
Keistimewaan Yogyakarta adalah Bagian sejarah Berkibarnya Merah Putih
Jangan Lukai Merah Putih...
Salam Jogja, Salam Indonesia... Jaya!
Yogyakarta, 12 Desember 2010
Herry Zudianto






Ada apakah gerangan?

Beberapa waktu lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melontarkan pernyataan terkait status Keistimewaan Yogyakarta. Pernyataan beliau lantas memicu polemik dan perdebatan. (Liputan 6; 13/12/2010 12:28: Polemik Keistimewaan Yogyakarta Berlanjut)

Dalam pernyataannya pada tanggal 26 November 2010, SBY menegaskan 3 hal,
1. Pilar (yang digunakan-red) adalah pilar nasional yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dalam Undang-undang Dasar telah diatur dengan gamblang.
2. Keistimewaan DIY itu sendiri berkaitan dengan sejarah dari aspek-aspek lain yang harus diperlakukan secara khusus sebagaimana pula yang diatur dalam Undang-undang Dasar.
3. Indonesia adalah negera hukum dan negara demokrasi.
(sumber: RIMA; Senin, 29 Nov 2010 08:29 WIB: Inilah Pernyataan SBY Soal RUU Keistimewaan Yogyakarta)

Perdebatan ini sebenarnya sudah dimulai sejak Senin, 21 September 2008, saat SBY menyatakan bahwa kepala daerah harus dipilih langsung bukan ditunjuk. Esoknya (23 September 2008), menanggapi pernyatan ini Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X menyatakan RUU Keistimewaan DIY sebaiknya tidak usah diteruskan. "Tidak usahlah. UU Yogya tak akan dibuat," ujar Sultan. (Tempo Interaktif Nasional; Rabu, 24 September 2008 | 14:18 WIB: Andi Mallarangeng: Pernyataan Presiden Berdasarkan UUD 45)

Masih dari Tempo, saat itu Andi Mallarangeng justru menantang kekecewaan Sultan dengan mempertanyakan rakyat yang mana yang menginginkan Sultan ditetapkan sebagai Gubernur DIY.
"Masyarakat yang mana? Presiden kan mengutip UUD 1945 jelas bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis," kata Andi Mallarangeng seperti dikutip oleh Tempo.

Puncaknya adalah saat SBY menyampaikan pandangan pada Jumat, 26 November 2010, dalam pidato rapat pengantar Rapat Terbatas, di Kantor Presiden terkait RUU Keistimewaan Yogyakarta. Dalam pidatonya tersebut SBY mengatakan, Rancangan Undang-Undang tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta tidak boleh mengabaikan nilai-nilai demokrasi, termasuk tetap memperhatikan aspek Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan karena tentu tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan baik dengan konstitusi maupun nilai demokrasi.

===========================
Nah, daripada pusing-pusing dengan polemik itu, mending kita runut sejarah Kesultanan Ngayogyakarto Hadiningrat, kali ini, mari berterima kasih sama mbah Google yang memberikan berlimpah data (tolong ralat tulisan ini yah, kali aja ada yg salah gitu,..)

Kesultanan Ngayogyokarto Hadiningrat resmi berdiri sejak ditandatanganinya Perjanjian Giyanti, 13 februari 1755. Berdasarkan perjanjian ini, wilayah Mataram dibagi dua: wilayah di sebelah timur Kali Opak (melintasi daerah Prambanan sekarang) dikuasai oleh pewaris tahta Mataram (yaitu Sunan Pakubuwana III) dan tetap berkedudukan di Surakarta, sementara wilayah di sebelah barat (daerah Mataram yang asli) diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi sekaligus ia diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifattullah I, atau disingkat menjadi  Sultan Hamengkubuwana I yang berkedudukan di Yogyakarta. Di dalamnya juga terdapat klausul, bahwa pihak VOC dapat menentukan siapa yang menguasai kedua wilayah itu jika diperlukan.

Kesultanan Yogyakarta dibagi menjadi 3 daerah, yaitu Nagari Ngayogyakarta yang merupakan ibukota, Nagara Agung (wilayah utama, Yogyakarta saat ini), dan Manca Nagara (wilayah luar, daerah eksklave seperti Madiun, Surabaya, Semarang, Rembang, Kediri).
Dalam perjalanannya, daerah Eksklave direbut oleh Belanda lewat tangan Daendels dan Raffles.
Setelah Perang Diponegoro selesai pada 1830, pemerintah Hindia Belanda akhirnya merampas seluruh wilayah Manca Nagara. Pada tahun itu pula ditandatangani Perjanjian Klaten pada 27 September 1830 yang menegaskan wilayah dan batas-batas Kasultanan Yogyakarta dengan Kasunanan Surakarta. Wilayah Kasultanan Yogyakarta hanya meliputi Mataram dan Gunungkidul dengan luas 2.902,54 km persegi. Di wilayah tersebut terdapat daerah Enklave Surakarta (Kotagede dan Imogiri), Mangku Negaran (Ngawen), dan Paku Alaman (Kabupaten Kota Paku Alaman).

Sampai 1792 Kasultanan Yogyakarta secara de facto merupakan negara merdeka dan VOC hanyalah mitra yang sejajar. Untuk menjamin posisinya maka VOC menempatkan seorang Residen di Yogyakarta untuk mengawasi Kesultanan. Kedudukan Residen ini mulanya berada di bawah Sultan dan sejajar dengan Pepatih Dalem. Daendels menaikkan kedudukan Residen menjadi Minister, yang merupakan menteri Raja/Ratu Belanda dan mewakili kehadiran Gubernur Jenderal.
Dengan kedatangan Raffles sistem pemerintahan berubah lagi. Sultan tidak diperbolehkan mengadakan hubungan dengan negara lain sebab kedaulatan berada di tangan pemerintah Inggris. Begitu pula dengan Pepatih Dalem, Pengurus Kerajaan (Rijkbestuurder), diangkat dan diberhentikan berdasar kebutuhan pemerintah Inggris dan dalam menjalankan pekerjaannya harus sepengetahuan dan dengan pertimbangan Residen Inggris. Sultan mulai dibebaskan dari pemerintahan sehari-hari yang dipimpin oleh Pepatih Dalem yang dikontrol oleh Residen.
Selepas Perang Diponegoro selesai pada 1830, pemerintahan Nagari yang berada di tangan Pepatih Dalem dikontrol secara ketat sekali oleh Belanda untuk mencegah terjadinya pemberontakan. Kasultanan Yogyakarta secara de facto dan de jure menjadi negara protektorat 1 dari Koninkrijk der Nederlanden (Kerajaan Belanda), dengan status zelfbestuurende landschappen (swapraja: daerah-daerah kerajaan atau berpemerintahan sendiri). Selain itu Pemerintah Hindia Belanda selalu mengajukan perjanjian politik yang dinamakan kontrak politik bagi calon Sultan yang akan naik tahta. Perjanjian ini diberlakukan terhadap Sultan Hamengkubuwana V - Sultan Hamengkubuwana IX. Kontrak politik terakhir dibuat pada 18 Maret 1940 antara Gubernur Hindia Belanda untuk Daerah Yogyakarta, L. Adam dengan HB IX.

Pada 1900-an Belanda mencampuri birokrasi pemerintahan Kesultanan secara intensif dengan maksud memasukkan birokrasi barat modern. Untuk membiayai birokrasi tersebut maka pada 1915 APBN Kasultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua yaitu APBN untuk Parentah Ageng Karaton dan APBN untuk Parentah Nagari yang berada dalam kontrol Hindia Belanda. Untuk belanja dan mengurus keperluan istana, setiap tahun Sultan mendapat uang ganti rugi yang disebut Daftar Sipil yang ditentukan dalam kontrak politik yang dibuat sebelum Sultan naik tahta. Dengan demikian Sultan benar-benar tersingkir dari pemerintahan Nagari dan hanya berperan di istana saja.

Perubahan besar dalam pemerintahan terjadi pada saat Sultan Hamengkubuwono IX (HB IX) naik tahta pada tahun 1940, khususnya selama pendudukan  Jepang (1942-1945). Secara perlahan namun pasti, Sultan melakukan restorasi (bandingkan dengan restorasi Meiji). Sultan membentuk badan-badan pemerintahan baru untuk menampung urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Tentara Pendudukan Jepang. Badan tersebut dinamakan Paniradya yang masing-masing dikepalai oleh Paniradyapati. Paniradyapati tidak lagi berada di bawah kekuasaan Pepatih Dalem melainkan langsung berada di bawah kekuasaan Sultan. Dengan perlahan namun pasti Sultan HB IX memulihkan kembali kekuasaannya selaku kepala pemerintahan.
Pada pertengahan 15 Juli 1945, Pepatih Dalem terakhir, KPHH Danurejo VIII, mengundurkan diri karena memasuki usia pensiun. Sejak saat itu Sultan tidak menujuk lagi Pepatih Dalem sebagai penggantinya melainkan mengambil alih kembali kekuasaan pemerintahan negara. Sebagai kelanjutannya birokrasi kesultanan dibedakan menjadi dua bagian yaitu urusan dalam istana (Imperial House) dan urusan luar istana. Urusan dalam istana ditangani oleh Parentah Ageng Karaton yang mengkoordinasikan seluruh badan maupun kantor pemerintahan yang berada di istana yang terdiri dari beberapa badan atau kantor. Semuanya dipimpin dan diatur secara langsung oleh saudara atau putera Sultan.
Sultan memimpin sendiri lembaga luar istana, yang terdiri dari beberapa Paniradya yang secara administratif dipimpin oleh Bupati.

SAAT PROKLAMASI KEMERDEKAAN RI
Pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI, Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII mengirim berita kawat kepada Presiden RI, menyatakan bahwa Daerah Kesultanan Yogyakarta dan Daerah Paku Alaman menjadi bagian wilayah Negara Republik Indonesia, serta bergabung menjadi satu, mewujudkan sebuah Daerah Istimewa Yogyakarta yang bersifat kerajaan. Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII kemudian menjadi Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala Daerah Istimewa dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

Sejak Kemerdekaan Indonesia, setidaknya terdapat 7 periode penyelenggaraan pemerintahan DIY,
Diawali dengan Periode I (1945- 1946) yang merupakan masa sambutan kemerdekaan Indonesia dimana pada tanggal 18 Agustus 1945 HB IX dan PA VIII mengucapkan selamat kepada Soekarno-Hatta atas Kemerdekaan Indonesia. Esoknya, Sidang PPKI yang membahas daerah Istimewa mengalami kebuntuan, karena daerah istimewa yang ada merupakan daerah dependen (bukan daerah terjajah) sehingga tidak mungkin dijadikan daerah kekuasaan, sebab jika dijadikan daerah otonom, seperti yang diungkapkan Pangeran Puruboyo, wakil dari Yogyakarta Kooti, akan bertentangan dengan konsep negara kesatuan yang telah disepakati sehari sebelumnya.
Kemudian perubahan mendasar terjadi setelah HB IX mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi, barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945, Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Sri Paduka PA VIII pada hari yang sama.

Pada tahun 1950 secara resmi Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat ini, bersama-sama dengan Kadipaten Pakualaman menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi sebagai bagian Negara Kesatuan Indonesia. Dengan demikian status Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai sebuah negara (state) berakhir dan menjelma menjadi pemerintahan daerah berotonomi khusus. Sedangkan institusi istana kemudian dipisahkan dari "negara" dan diteruskan oleh Keraton Kasultanan Yogyakarta.

Pergolakan mengenai status keistimewaan Yogyakarta mulai muncul pada Tanggal 1 September 1965, sebulan sebelum terjadi G30S/PKI, Pemerintah mengeluarkan UU No. 18 tahun 1965 tentang pemerintahan daerah. Dalam UU ini Yogyakarta dijadikan sebuah Provinsi (sebelumnya adalah Daerah Istimewa Setingkat Provinsi). Dalam UU ini pula seluruh “swapraja” yang masih ada baik secara de facto maupun de jure yang menjadi bagian dari daerah lain yang lebih besar dihapuskan. Dengan demikian Yogyakarta menjadi satu-satunya daerah bekas swapraja yang diakui oleh Pusat. UU ini juga mengisyaratkan penghapusan status istimewa baik bagiAceh maupun Yogyakarta di kemudian hari. Mulai dengan keluarnya UU No 18/1965 dan UU pemerintahan daerah selanjutnya, keistimewaan Yogyakarta semakin hari semakin kabur.

Semakin kabur lagi setelah wafatnya HB IX pada tahun 1988, bukannya mengangkat HB X sebagai Gubernur pengganti, Pemerintah Pusat justru menunjuk PA VIII sebagai Penjabat Gubernur/Kepala Daerah Istimewa. Pada 1998, beberapa bulan setelah lengsernya Soeharto, PA VIII pun mangkat. Keadaan ini menimbulkan kekosongan kekuasaan, sehingga atas desakan rakyat, Sultan HB X ditetapkan sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa oleh Pemerintah Pusat untuk masa jabatan 1998-2003. (Pro-kontra Suksesi Gubernur I)
Karena suksesi di Puro Paku Alaman untuk menentukan siapa yang akan bertahta menjadi Pangeran Adipati Paku Alam tidak berjalan mulus, maka Sultan HB X tidak didampingi oleh Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa. Pada tahun 1999 Sri Paduka Paku Alam IX naik tahta, namun beliau belum menjabat sebagai Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa.

Pro kontra suksesi Gubernur II
Ketika masa jabatan Sultan HB X berakhir di tahun 2003, kejadian di tahun 1998 terulang kembali. DPRD Prov DI Yogyakarta menginginkan pemilihan Gubernur sesuai UU 22/1999. Namun kebanyakan masyarakat menghendaki agar Sultan HB X dan Sri Paduka PA IX ditetapkan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur. Sekali lagi Sultan HB X dan Sri Paduka PA IX diangkat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur dengan masa jabatan 2003-2008.

Tidak segera rampungnya RUUK Keistimewaan Yogyakarta yang sempat digawangi oleh Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM membuat pada akhirnya HB X dan PA IX lagi-lagi diangkat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur untuk masa jabatan 2008-2013.

Catatan yang cukup penting adalah, berdasarkan UU No 3/1950 (setelah resmi menjadi Daerah Istimewa), para pangeran di Kesultanan tidak ada kedudukan. Yang menjadi Gubernur adalah Sultan, tapi keluarga pangeran tidak ada kaitan dengan birokrasi. Inilah penjelasan bahwa DIY juga B U K A N merupakan monarki konstitusi, seperti yang sempat disebut-sebut oleh SBY.

Mengapa Jogja disebut Istimewa?
Untuk membahas topik ini, coba kita baca kutipan berikut, yang saya ambil dari Sociopolitica’s Blog berjudul “Kisah Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat Dalam Kebutaan Sejarah“ (November 30, 2010)

... SEHARI setelah Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang terbentuk sejak 7 Agustus 1945, memutuskan tiga hal penting. Pertama, menetapkan UUD 1945 sebagai Undang-undang Dasar negara. Kedua, memilih Ir Soekarno dan Drs Mohammad Hatta, sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Ketiga, sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat, pekerjaan Presiden untuk sementara waktu dibantu oleh Komite Nasional. Kabinet Republik Indonesia yang pertama terbentuk 2 September 1945 dengan 16 menteri ditambah seorang Sekertaris Negara, seorang Ketua Mahkamah Agung dan seorang Jaksa Agung. Pada hari yang sama diangkat 8 Gubernur dari provinsi-provinsi Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil (Bali hingga Timor), Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Saat itu, de factodan de jure,  Kesultanan Yogya atau Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat, yang memiliki suatu eksistensi yang jelas –bahkan secara internasional lebih jelas dari eksistensi republik muda yang bernama Indonesia– adalah sebuah wilayah yang memiliki kedaulatan tersendiri. Letak geografisnya yang berbatasan dengan Jawa Tengah tidak dengan sendirinya membawanya ke dalam Negara Republik Indonesia yang baru diproklamirkan, walaupun tercatat kehadiran sejumlah tokoh yang berasal dari wilayah itu dalam berbagai gerakan kebangsaan sebelum Indonesia merdeka.
Tak ada kondisi objektif yang memaksa Kesultanan Yogya untuk harus bergabung dengan Republik Indonesia. Ia memiliki syarat minimal untuk menjadi sebuah negara tersendiri. Memiliki tata pemerintahan yang per waktu itu telah berlangsung hampir dua abad, memiliki wilayah dengan sumber-sumber kehidupan, memiliki rakyat, memiliki garis pantai, tak terkepung penuh oleh suatu wilayah negara lain. Jika menghendaki berdiri sendiri, Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat, bisa melanjutkan eksistensinya sebagai suatu negara dengan kedaulatan sendiri. Kalau Republik Indonesia ingin memasukkan Kesultanan Yogyakarta sebagai bagian wilayahnya, diperlukan aneksasi. Tapi itu semua tidak perlu terjadi. Ada faktor keterkaitan moral yang menghubungkan Sultan Yogya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dengan Republik Indonesia, sehingga setelah bertemu dengan Presiden RI yang pertama, Ir Soekarno, ia bersepakat untuk menjadikan Yogya sebagai bagian dari negara baru Republik Indonesia pada hari ke-20 kemerdekaan Indonesia.
Tanggal 5 September 1945 keluar sebuah maklumat. “Kami, Hamengku Buwono IX, Sultan Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat, menyatakan: 1. Bahwa Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia; 2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat mulai saat ini berada di tangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya; 3. Bahwa perhubungan antara Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung dan kami bertanggung jawab atas Negeri kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Kami memerintahkan supaya segenap penduduk dalam Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat mengindahkan amanat kami ini”.  Di bawah maklumat tersebut tercantum tanggal 28 Puasa, Ehe, 1876 (5 September 1945), dan nama Hamengku Buwono IX.
Saatnya makin pragamatis dan melepaskan diri?
Kita harus mengakui bahwa maklumat Sultan Hamengku Buwono IX, 5 September 1945, itu sangat besar artinya bagi negara muda Republik Indonesia, yang satu dan lain hal terkait dengan aspek legitimasi dan psikologis. Bukan hanya itu, pada akhir 1945 keamanan Jakarta menjadi buruk, termasuk terhadap tokoh-tokoh pemimpin pemerintahahan negara, dengan masuknya kembali tentara Belanda yang membonceng pasukan sekutu. Tentara Belanda melakukan sejumlah aksi militer dan teror di Jakarta. Tanggal 30 Desember 1945 marinir Belanda mendarat melalui Tanjung Priok. Keadaan yang dinilai makin memburuk dan membahayakan, menyebabkan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta memutuskan untuk pindah ke Yogyakarta 4 Januari 1946. Pemerintahan Indonesia juga turut pindah ke Yogyakarta, dan hanya PM Sjahrir yang tetap di Jakarta.
Praktis selama hampir 4 tahun, Yogyakarta menjadi ibukota tempat pusat pemerintahan negara dijalankan. Selama 4 tahun itu Sultan Hamengkubuwono IX mengkontribusikan tak sedikit dari hartanya, untuk menutupi biaya pemerintahan, termasuk gaji pegawai dan tentara. Presiden Soekarno baru kembali ke Jakarta 28 Desember 1949 dan mulai memangku jabatan selaku Presiden Republik Indonesia Serikat. Selama menjadi ibukota negara, setidaknya dua kali Yogya menjadi sasaran agresi militer Belanda. Bisa dikatakan bahwa Yogyakarta tak pernah bisa dilepaskan dari sejarah perjuangan mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia, bersenjata maupun bentuk perjuangan lainnya mengisi kemerdekaan. Di tengah gejolak perjuangan politik dan perjuangan bersenjata, 3 Maret 1946, didirikan Balai Perguruan Tinggi Kebangsaan Gajah Mada, yang kelak di kemudian hari berkembang menjadi Universitas Gajah Mada. Lembaga pendidikan tinggi ini merupakan perguruan tinggi nasional yang pertama didirikan oleh pemerintah Indonesia merdeka. Tempat belajar perguruan tinggi ini pada masa-masa awal adalah Pagelaran dan Sitihinggil yang merupakan bagian dari Keraton Yogya yang dipinjamkan oleh Sultan Hamengku Buwono IX. Dan sepanjang menyangkut seorang yang kita kenal sebagai Sultan Hamengku Buwono IX, ada satu daftar panjang tentang jasa dan pengorbanannya bagi bangsa ini hingga akhir hayatnya. Kalau ada di antara kita yang tak mau lagi –entah dengan alasan politik atau apapun– memandang Sultan Hamengku Buwono X, tetaplah jangan melupakan Sultan Hamengku Buwono IX salah satu manusia Indonesia yang langka karena kemampuan pengorbanannya yang luar biasa. Ia adalah raja yang sesungguhnya dalam kehidupan bernegara di negeri  ini. Di bawah Sultan Hamengkubuwono IX, Yogya tak pernah terbawa ke dalam kancah gerakan separatis untuk membentuk negara boneka. Banyak tokoh di berbagai daerah yang terperangkap strategi dr Van Mook, sehingga membentuk negara-negara boneka, seperti Negara Pasundan atau Negara Jawa Barat, Negara Madura, Negara Jawa Timur, Negara Sumatera Timur, Negara Jawa Tengah, Negara Indonesia Timur, Dewan Federal Borneo Tenggara, Daerah Istimewa Borneo Barat, serta Republik Maluku Selatan. Yogya tetap teguh kepada Republik Indonesia.
Tanpa mengecilkan arti perjuangan kemerdekaan di wilayah lain Indonesia, Yogya bagaimanapun menjadi wilayah yang secara luar biasa telah memberi arti bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sudah tibakah saatnya untuk makin pragmatis dan melepaskan diri dari apa yang oleh sebagian pemimpin masa kini mungkin dianggap sebagai ‘belenggu’ hutang budi dan rasa terimakasih dalam konotasi beban sejarah?...


Resume:
Yogyakarta disebut Istimewa bukan hanya karena latar sejarahnya (merupakan wilayah merdeka saat proklamasi Indonesia), tapi juga dari segi perannya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kebudayaannya yang begitu melimpah, bisa disebut miniatur Indonesia, perannya dalam memajukan Pendidikan nasional, kesetiaannya pada NKRI, dan lain sebagaianya.
Penetapan HB dan PA sebagail Gubernur dan Wagub DIY merupakan bentuk penghargaan  dari bangsa Indonesia (dalam bentuk UU No. 5 Tahun 1974 (UU Pemda 1974), yang mengukuhkan penetapan Sri Sultan HB IX sebagai Gubernur DIY.

Kekisruhan muncul karena hingga saat ini tidak jelas, apa itu 'keistimewaan DIY', serta regulasi yang tetap mengenai hal itu.
Belum lagi berbagai kejadian setelah wafatnya HB IX, meski pada akhirnya HB X, sebagai pengganti HB IX, diangkat menjadi Gubernur DIY pada 1998.
RUU Keistimewaan yang muncul semenjak 2002 tak kunjung selesai seolah menggantungkan staus DIY.
Polemik menjadi semakin panas sejak Pak BeYe menyebut sistem yang ada di Jogja ini sebagai sistem 'monarki konstitusional'.

Berikut kronik sejarah DIY:
13 Februari 1755   : Kesultanan Ngayogyokarto Hadiningrat berdiri
                  1830     : Pemerintah Hindia Belanda merampas Daerah Manca milik Kesultanan Ngayogyokarto Hadiningrat
27 September 1830      : Wilayah Kasultanan Yogyakarta hanya meliputi Mataram dan Gunungkidul dengan luas 2.902,54 km persegi.
~  1792                  :  Kasultanan Yogyakarta secara de facto merupakan negara merdeka dan VOC hanyalah mitra yang sejajar
kedatangan Raffles : Sultan mulai dibebaskan dari pemerintahan sehari-hari yang dipimpin oleh Pepatih Dalem yang dikontrol oleh Residen Inggris.
~   1830                 : . Kasultanan Yogyakarta secara de facto dan de jure menjadi negara protektorat dari Koninkrijk der Nederlanden, dengan status zelfbestuurende landschappen.
18 Maret 1940       : Kontrak politik terakhir antaraGubernur Hindia Belanda untuk Daerah Yogyakarta, L. Adam dengan HB IX.
1940                       :  Sultan HB IX melakukan restorasi. Sultan membentuk badan-badan pemerintahan baru untuk menampung urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Tentara Pendudukan Jepang. Badan tersebut dinamakan Paniradya yang masing-masing dikepalai oleh Paniradyapati. Paniradyapati tidak lagi berada di bawah kekuasaan Pepatih Dalem melainkan langsung berada di bawah kekuasaan Sultan. Dengan perlahan namun pasti Sultan memulihkan kembali kekuasaannya selaku kepala pemerintahan.
 15 Juli 1945         :  Pepatih Dalem terakhir, KPHH Danurejo VIII, mengundurkan diri karena memasuki usia pensiun. Sejak saat itu Sultan tidak menujuk lagi Pepatih Dalem sebagai penggantinya melainkan mengambil alih kembali kekuasaan pemerintahan negara.  birokrasi kesultanan dibedakan menjadi dua bagian yaitu urusan dalam istana (Imperial House) dan urusan luar istana. Urusan dalam istana ditangani oleh Parentah Ageng Karaton yang mengkoordinasikan seluruh badan maupun kantor pemerintahan yang berada di istana yang terdiri dari beberapa badan atau kantor Semuanya di pimpin dan diatur secara langsung oleh saudara atau putera Sultan. Sultan meminpin sendiri lembaga luar istana, yang terdiri dari beberapa Paniradya yang dipimpin oleh Bupati. Daerah di sekitar istana dibagi menjadi lima kabupaten yang administrasi lokalnya dipimpin oleh Bupati.
18/19 Agustus 1945      : Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) dan Sri Paduka Paku Alam VIII (PA VIII) mengirimkan ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta atas kemerdekaan Indonesia dan atas terpilihnya mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia.
19 Agustus 1945    : Sidang PPKI membahas daerah Istimewa, buntu.
5 September 1945 : Dekrit Resmi Kerajaan Untuk Berintegrasi kepada RI (Amanat 5 September 1945)
29 Oktober 1945   : Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945 ) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legislatif pada BP KNI Daerah Yogyakarta
16 Februari 1946  : keluar Maklumat No. 11 yang berisi penggabungan seluruh birokrasi yang ada ke dalam satu birokrasi Jawatan (Dinas) Pemerintah Daerah yang untuk sementara disebut dengan Paniradya. Selain itu melalui Maklumat-maklumat No 7, 14, 15, 16, dan 17, monarki Yogyakarta mengatur tata pemerintahan di tingkat kalurahan (sebutan pemerintah desa saat itu).
1945 – 1946                : Penyusunan RUU Pokok Pemerintahan Yogyakarta
18 Mei 1946          : Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII dengan persetujuan BP DPR DIY (Dewan Daerah) pada 18 Mei 1946 mengeluarkan Maklumat No. 18 yang mengatur kekuasaan legeslatif dan eksekutif
1951                       : Pemilu Lokal (Tingkat Daerah) Pertama untuk memilih anggota DPRD, Pemisahan dan Pembagian Urusan Pemerintahan Keraton dengan Pemda DIY
1 September 1965 : Yogyakarta dijadikan sebuah Provinsi (sebelumnya adalah Daerah Istimewa Setingkat Provinsi (UU No 18/1965)
1988                    : HB IX Wafat
1998                     : PA VIII wafat, Suksesi Gubernur I
2001                     : Pengusulan RUU Keistimewaan
2003                     : Suksesi Gubernur II
7 April 2007       : Sultan HB X menolak dipilih lagi menjadi Gubernur DIY


Tulisan pembanding:
http://politik.kompasiana.com/2010/12/05/haruskah-sultan/

1 Protektorat: negara atau wilayah yang dikontrol, bukan dimiliki, oleh negara lain yang lebih kuat. Sebuah protektorat biasanya berstatus otonomi dan berwenang mengurus masalah dalam negeri. Pemimpin pribumi biasanya diperbolehkan untuk memegang jabatan kepala negara, walupun hanya sebatas nominal saja. Negara pengontrol mengurus hubungan luar negeri dan pertahanan protektoratnya, seperti yang tertulis dalam perjanjian. Singkat kata, protektorat merupakan salah satu jenis wilayah dependensi.



Referensi:
-          http://berita.liputan6.com/politik/201012/311141/Polemik.Keistimewaan.Yogyakarta.Berlanjut
-          http://www.rimanews.com/read/20101129/7509/inilah-pernyataan-sby-soal-ruu-keistimewaan-yogyakarta
-          http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2008/09/24/brk,20080924-137229,id.html
-          http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Ngayogyakarta_Hadiningrat
-          http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Keistimewaan_dan_Pemerintahan_Prop._DIY
-          http://sociopolitica.wordpress.com/2010/11/30/kisah-negeri-ngayogyakarto-hadiningrat-dalam-kebutaan-sejarah/