Sabtu, 19 Maret 2016

Mengajar vs memberi pelajaran

Akhir-akhir ini, linimasa sedang punya topik hangat tentang candaan seorang public figure mengenai simbol negara.

Berbagai respon bermunculan. Ada yang prihatin, ada yang bereaksi keras dengan melaporkan sang public figure ke pihak berwajib, ada juga yang selo.

Saya lantas teringat sebuah kisah yang beberapa kali saya baca. Saya jumpai di beberapa media. Sepertinya kisah ini cukup populer.

Kisah ini tentang dua murid dan seorang guru. Kedua murid ini bersitegang tentang hitungan perkalian mereka. Murid pertama adalah murid paling cerdas di kelas. Ia sangat yakin bahwa 7 x 3 adalah 21. Sedangkan murid kedua adalah murid yang tidak secerdas rata-rata murid lain di kelas. Ia pun begitu yakin bahwa 7 x 3 adalah 18. Yah, delapan belas.

Murid pertama begitu percaya diri akan jawabannya. Maka karena perseteruan tidak juga berakhir -murid kedua bersikukuh bahwa 7 x 3 = 18, murid pertama menantang murid kedua untuk beradu ke sang guru.

Murid pertama: 'Bu guru, bukankah 7 x 3 adalah 21?'. Bu guru bertanya, 'lalu apa masalahnya?'. Murid pertama langsung menyahut, "murid kedua ngotot berkata bahwa 7 x 3 adalah 18!"

Sang guru tersenyum, 'benarkah begitu, Nak?'. Si murid kedua mulai gelisah, Ia mengangguk dalam diamnya.

Murid pertama kembali bicara. 'Ibu, bukankah saya benar? Saya bersumpah akan berlari 5 kali keliling lapangan bila sampai jawaban saya salah!"

Ibu guru tertegun sejenak kemudian kembali tersenyum. "Kalau begitu, kamu harus berlari keliling lapangan 8 kali. 3 untuk jawabanmu, dan 5 untuk ketidakbijakanmu" kata bu guru pada murid pertama.

Rekan-rekan, saya percaya anda semua tahu berapa hasil dari tujuh dikali tiga. Tapi di sini, mengapa sang guru malah menghukum murid pertama?

Rekan-rekan, sang guru tidak menyalahkan jawaban murid pertama, maka ia memberi konsekuensi 3 kali putaran untuk si murid. Tapi, ia memberi konsekuensi 'salah', yakni 5 kali putaran, untuk 'cara yang tidak benar' dalam menyampaikan kebenaran.

Dalam kesempatan berbeda, saya mendengar lanjutan kisah di atas dimana si murid pertama merasa kelelahan di putaran kelimanya. "Ibu, saya sudah berlari Lima putaran, bisakah saya minta keringanan tiga putaran? Sungguh saya tidak sanggup melanjutkan lari ini" kata si murid pertama dengan muka nyaris putus asa.

Ibu guru tersenyum, "Lelahmu sama dengan lelah temanmu, Nak. Hitungannya belum selesai seperti kau belum genap berlari delapan putaran. Apa jadinya kalau Ibu menyuruhmu berhenti sekarang? Tiga dan lima tidak akan pernah jadi delapan hanya karena kamu berhenti di putaran kelima"

Si murid pertama terdiam lantas menangis. "Terima kasih Ibu, saya akan selesaikan tiga putaran tersisa", katanya sambil tersenyum.

Dalam konteks kasus di atas, si murid kedua yang tidak cerdas ini bisa patah semangat dalam usaha kerasnya belajar. Bukan kebenaran yang akhirnya didapat, melainkan keputusasaan.

Rekan-rekan,
Seperti itu pula menyampaikan kebenaran. Kadang, kebenaran tidak perlu disampaikan dengan cara keras. Kebenaran selayaknya diiringi kebijaksanaan dalam menyampaikan.

Semoga bermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar