Minggu, 03 Januari 2010

tulisan ajib dari Mz Faaz

hai prend,
kmrn gw bc tulisan ajib bikinan Mz faaz, anak pramuka UGM, sarjana teknik (hohow,...)
tulisannya emang tulisan lama, tapi ajib deh,...
nah,
silakan baca:

Kawasan Wisata Internasional Itu Bernama Universitas Gadjah Mada
“Bapak Ibu dan adik-adik sekalian, di samping kanan dan kiri kita berdiri megah gerbang masuk universitas gadjah mada. Dengan bahan penutup marmer italia dan logam stainless steel, gerbang ini dibangun menghabiskan dana satu milyar. Kemudian kita melangkah lagi menuju auditorium university club. Dulu bernama university center. Karena namanya kurang “menjual”, namanya diganti menjadi university club. Biar kelihatan lebih gaul. Gedung ini biasa disewakan untuk seminar nasional dan internasional, simposium para professor, hingga pameran kucing dan anjing. Kalangan mahasiswa jarang menggunakan gedung ini untuk aktifitas mereka. Karena tidak sanggup membayar sewa tentunya. Di sebelahnya ada Hotel University Club. Hotel yang masih hangat ini –alias baru jadi-, dirancang jadi satu kesatuan dengan auditoriumnya. Jadi tidak perlu susah-susah mencari penginapan di luar kampus. Kalau ndak suka hotel, di belakang hotel ini ada homestay. Bagus, sejuk, ada ACnya pula. Serasa rumah sendiri lah. Tarifnya bisa harian, bisa bulanan. Sekarang kita menuju auditorium graha sabha pramana. Gedung ini digunakan untuk pameran, resepsi pernikahan, seminar, resepsi pernikahan, wisuda, resepsi pernikahan, dan akhirya resepsi pernikahan lagi. Makaya ada yang ngomong UGM = Usaha Gedong Manten. Yuk, kita melangkah menuju gedung pusat. Gedung ini sekarang termasuk warisan kekayaan dunia. Meskipun digoyang gempa 5,9 SR tahun 2006 lalu, gedung ini tetap berdiri tegak. Dulu pernah digunakan untuk kuliah. Sekarang jadi jadi kantor untuk pejabat-pejabat rektorat.”
“Pak, itu gedung apa, kok sepi banget?”
“oh, itu perpustakaan, dik. Mahasiswa sekarang sudah gak doyan ke perpustakaan. Pengap, bau busuk. Mahasiswa sekarang lebih banyak nongkrong di café dan club-club. Main internetan chatting ngobrol ngalor ngidul kesana kemari. Padahal yang diajak chat ada di depannya”
“trus yang rame-rame itu apa, pak?”
“oh, itu gelanggang mahasiswa, dik. Tempat beraktifitas mahasiswa-mahasiswa untuk meningkatkan soft skill dan kemampuan survivalnya. Nah, waktu tour kampus sudah selesai. Silakan kembali ke bus kita lanjutkan perjalanan ke obyek wisata selanjutnya.”
“pak, satu pertanyaan lagi. Itu kok di depan gerbang pada antri. Kenapa pak?”
“Nah, itu dia, dik. Karena UGM sudah jadi kampus internasional yang harus dijaga ketertibannya, termasuk kendaraan, maka setiap kali masuk kawasan kampus, diharuskan membayar tiket masuk. Tidak peduli orang itu adalah civitas akademika atau orang luar, naik motor atau mobil, pokoknya harus bayar. Adik-adik masuk sini juga bayar kok. Tapi sudah satu paket dengan yang lain.”
Opening
Baiklah. Kita buka pembicaaraan ini dengan menyebut asma Allah Yang Mahaagung. Pemberi anugerah terbesar pada makhlukNya yang tidak berharga ini, yang bernama manusia. Dilanjutkan dengan istighfar. Mari kita memohon ampun atas dosa dan kekhilafan yang kita lakukan.
Bro, pembicaraan tadi fiktif. Tidak pernah terjadi, dan semoga tidak akan pernah terjadi.
Dalam kurun dua tahun terakhir ini, UGM sedang getol-getolnya berbenah. Visi untuk menjadi universitas riset dunia terus didengungkan. Sekarang kita sudah mulai merasakannya. Mulai dari sistem administrasi, kurikulum, hingga yang paling terlihat adalah pembenahan fisik di setiap sudut. Jalur kendaraan yang diubah, yang pada awalnya adalah dua arah di beberapa tempat, diubah menjadi satu arah. Dengan harapan lebih tertib, dan mengurangi resiko kecelakaan di lingkungan kampus. Gerbang yang bercecer di banyak sudut diaktifkan. Masuk lingkungan kampus setelah pukul lima sore, dijamin susah menemukan jalan keluar. Dan yang paling hangat –sebagitu hangatnya hingga Kompas Jogja mewartakan satu minggu berturut-turut- adalah adanya portal masuk ke lingkungan kampus pusat.
Portal ini diletakkan di boulevard, di depan gedung Kagama. Di sisi timur dan sisi barat. Portal yang lain ditempatkan di sebelah utara gelanggang mahasiswa. Portal ini adalah portal berbayar (seperti portal masuk mall). Pihak kampus akan memberlakukan tarif masuk bagi kendaraan, baik sepeda motor ataupun mobil. Ntah kalau sepeda juga ikut membayar. Tarif ini dikenakan pada siapapun yang masuk lingkungan kampus UGM. Menurut Warek Bidang Administrasi Umum, Pak Ainun, portal ini bertujuan untuk mentertibkan kawasan kampus. Karena sering terjadi tawuran dan balapan. Tarif yang diberlakukan untuk karyawan dan mahasiswa akan mendapatkan subsidi khusus. Pengelolaannya diserahkan kepada pihak swasta (kompas jogja, 24/8/09). Mantan rektor UGM, pak sofyan effendi berpendapat, seharusnya untuk civitas akademika digratiskan.
Mari kita telaah tentang kebijakan pemortalan kampus ini. Kita lihat dari tiga sisi : aktifitas kampus, lalu lintas kota Yogyakarta, dan rancangan tata letaknya.

Aktifitas Kampus
Aktifitas sekitar kampus tidak hanya dilakukan oleh mahasiswa dan karyawan. Tidak jarang ada tamu-tamu dari instansi ataupun lembaga lain berkunjung dan melakukan studi. Aktifitas mahasiswa dan karyawan, termasuk dosen pun, tidak melulu berada di kampus. Boleh jadi karena kesibukannya, dalam satu hari, bisa bolak balik keluar masuk kampus hingga lima kali. Jika setiap kali masuk dan melewati portal harus membayar, berapa uang yang dikeluarkan?
Rektorat belum mengumumkan tarif resminya. Taruhlah Rp 500,- untuk sepeda motor, dan Rp 1000,- untuk mobil. Jika status “subsidi khusus” diberlakukan, berapa potongannya? Kalau harus bolak balik sampai lima kali sehari, sudah keluar uang Rp 2500,- (Eh..lumayan udah dapat es teh dua ma gorengan satu) untuk sepeda motor dan Rp 5000,- untuk mobil (wah porsi sekali makan kenyang di tempat bu siti :p ).
Dampaknya, malas ke kampus kalau tidak ada perlu. Keperluan apa? Apalagi kalau hanya sekadar kuliah dan tanda tangan bimbingan plus ke perpustakaan (kalau perlu). Sedangkan bagi mahasiswa yang aktif, yang justru rajin menjalin network dengan pihak luar, yang menemukan makna kehidupan tidak dari kampus namun masih memiliki tanggung jawab terhadap kampus, yang menuntut mobilisasi rutin (biasanya dari kalangan kurang berpunya), jadi terhalang. Akhirnya aktifitas jadi lebih banyak dilakukan di luar kampus. Kampus jadi tidak lebih dari sekadar formalitas perpindahan ilmu dari teks book ke manusia. Itupun kalau berhasil. Kampus tidak lagi menjadi university of life, tempat menimba ilmu tentang kehidupan.
Lalu lintas kota Yogyakarta
Pernah disinggung Kompas hari….(waduh lupa), penutupan jalur UGM berakibat peningkatan arus kendaraan di sekitar UGM. Boulevard UGM sering digunakan sebagai tempat jalan pintas untuk menuju arah kaliurang dari kota Yogyakarta dan sebaliknya. Pemilihan jalur ini untuk menghindari kemacetan di perempatan mirota kampus yang luar biasa padat. Ketika dibuka saja sudah macet, apalagi jika nanti ditutup? Peningkatan kemacetan, peningkatan penumpukan arus kendaraan, peningkatan polusi, penurunan kualitas udara, dan berujung pada peningkatan kualitas hidup manusianya. Lebih detilnya, silakan baca kompas yo… 


Tata letak portal
Tujuan lain portal ini adalah untuk mencegah parkir liar. Apakah dapat terwujud? Mari kita lihat posisi portal khususnya yang ditempatkan di utara gelanggang. Sudah ada portal zebra dan nantinya dipasang portal bayar. Jika nanti portal bayar sudah aktif, mau tidak mau, portal zebra yang sekarang dibuka satu bagian, akan dibuka dua-duanya. Agar kendaraan lancar. Nah, kalau mahasiswa atau pengunjung mau ke gelanggang atau foodcourt, padahal keperluannya hanya sebentar, tentunya enggan untuk melewati portal dan membayar. Walhasil, sepeda motor atau mobilnya akan diparkir di dekat bni, atupun di depan rumah kosong di belakang PPTIK. Siapa yang menangani parkir di sana? Tidak lain dan tidak bukan adalah mereka yang mengatasnamakan “pemuda blimbingsari”, yang seenaknya menganggap daerah itu sebagai daerah kekuasaan mereka. Penumpukan kendaraan dan parkir liar terjadi lagi.
Jalan tengah=usul konkret
Sepakat saja ketika kampus ingin menertibkan lingkungannya. Namun jangan sampai merugikan banyak pihak. Apalagi yang dirugikan adalah civitas akademikanya sendiri. Bisa masuk UGM bayar jutaan hingga puluhan juta, biaya semesteran yang tambah banyak, belum praktikum dan sebagainya. Eh, ditambah masuk kampus harus bayar. Yah…bagi mereka mahasiswa golongan beruang (berkecukupan), tidak masalah. Tapi bukan uang masalahnya. Masalah yang lebih krusial adalah, kita dikompasi (dipalaki) di rumah sendiri. Kita mau masuk rumah sendiri, eh di depan pintu rumah sudah ada orang yang jaga, dan meminta kita untuk membayar biaya masuk rumah.
Lalu kemana uang bop, sks, dan spma yang kemudian diakumulasi dalam nama dana masyarakat itu? Saya tidak tahu. Ok lah, kalau uang itu masih kurang, apakah masih selayaknya, meminta dari mahasiswa dan karyawannya lagi? Sudah hidup cekak, makan sering utang, untuk karyawan gajinya pas-pasan, eh…masih harus bayar. Tiap hari pula.
Silakan saja portal itu diaktifkan. Tapi beri kebebasan untuk civitas akademika agar tidak perlu membayar. Kalau untuk membatasi jumlah kendaraan, kartu mahasiswa bisa kita manfaatkan. Tidak hanya untuk menyewa film bajakan di persewaan. Atau dengan stiker parkir yang berlaku untuk kurun waktu tertentu. Tentunya tetap gratis. Biaya pencetakan stiker tidak sebesar pengadaan mesin portal elektronis itu kok. Kalau tidak ada dana, jalin kerja sama dengan perusahaan-perusahaan tertentu untuk memproduksinya. UGM mampu menjalin kerjasama dengan bank mandiri untuk mempercantik kantin humaniora. Kenapa untuk mencetak stiker tidak bisa?
Kalau tarif diterapkan pada kendaran luar civitas akademika, untuk tamu dan pengunjung, ataupun hanya bagi mereka yang sekadar numpang lewat, monggo saja. Tapi dengan tarif non komersil lho….
Untukmu civitas akademika
Bro, kalau tidak setuju, ungkapkan saja. Sekarang zaman kebebasan berpendapat kok. Media sudah ada di mana-mana. Manfaatkan saja. Kirim surat pembaca, pikiran pembaca, atau opini, atau keluh kesah via milis, forum, atau membuat grup via facebook juga bisa. Via sms dikirim ke 9949 atau ke hotline pemerintah Jogja atau DIY juga bisa. Biar seluruh dunia tahu.
Mau yang lebih ekstrem? Kirim surat atau kartu pos ke DPR RI. Kalau satu orang mengirim satu kartu pos, akan terkumpul puluhan ribu kartu pos di Senayan. Dibaca atau tidak? Turunkan saja anggota dewan itu kalau sampai tidak membaca pesan yang ada di dalamnya.
Apakah semua pesan itu dibaca? Kalau semuanya mungkin tidak. Minimal kita bisa membuat repot para staf yang bertugas, yang kemudian melaporkan ke atasannya.
Bro, kalau mau ngirim, niat harus lurus. Jangan diniatkan untuk memperburuk citra UGM. Niatkan untuk melindungi kepentingan bangsa dan negara serta generasi penerusnya. Jangan ada niat untuk menjelekkan UGM secara personal, ntar bisa kena pasal 30 UU ITE.
Bro, ada lagi langkah ekstrem yang bisa kita tempuh. Namun membutuhkan persiapan matang dan kebulatan tekad pribadi kita. Dua hari kosongkan kampus. Mogok kerja dan mogok kuliah bagi dosen dan mahasiswa. Staf administrasi, keuangan, dan karyawan, gak usah ikut ndak apa-apa. Terutama kampus timur jalan kaliurang. Jangan ada aktifitas baik itu akademis maupun kemahasiswaan. Berkumpul di bunderan universitas gadjah mada tercinta. Agar dunia mendengar keluh kesah kita.
Ok bro. itu saja.
Meskipun pada akhirnya portal itu diberlakukan semoga bukan menjadi pemortalan (pe+mortal+an=pematian) kehidupan kampus UGM sebagai university of life. Apalagi berujung menjadi kampus (wisata) kelas dunia.

Fahdi Faaz,ST
Pernah menjadi civitas akademika kampus rakyat berlabel gadjah mada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar