Well hello people, kali ini saya hendak menulis sebuah
review film yang baru saja rilis. Review kali ini agak berbeda sebab saya
justru memilih film yang tidak direkomendasikan oleh teman-teman maupun
netijen. Sebelumnya terimakasih banyak untuk Mbak Teppy, berkat review dari
Mbak Teppy, saya justru tertantang untuk menemukan sisi lain film ini. Selain
itu, eug juga musti berterimakasih sama Agik yang tahu betul selera guyonku; I
need some sarcasm to laugh. So, karena saya juga bukan tipe yang nyaman
berkomentar tanpa mengalami langsung, Maka, inilah review nano-nano ala saya.
Disclaimer: ini adalah persepsi personal saya berdasarkan
apa yang muncul di kepala saya saat menonton. Tidak bermaksud menjelekkan pihak
tertentu, hanya sekedar merelasikan adegan-adegan di film sebagai ironi. Bukan
sekedar tentang Islam, tapi ke-Indonesiaan, kemanusiaan dan lain sebagainya. Yass,
saya mengaku dosa bahwa saya nonton ini film sambil cetat-cetet hape. Saya
tidak akan membahas filmografi ataupun hal-hal yang terkait teknis penceritaan
sebagaimana sudah dikupashabis nan tuntas oleh Mbak Teppy. Saya justru tertarik
pada isu-isu yang mengalir di sepanjang cerita. Oke mari kita mulai.
Film dimulai dengan penggambaran sosok Fahri sebagai sosok
yang waw: dosen favorit, sekaligus pebisnis yang kasat mata sukses. Berbagai
sisi ‘baik’ Fahri diobral; mulai dari hapalan Quran, membiarkan perlakuan
semena-mena tetangga hingga tetap berlaku baik meski diperlakukan tidak baik.
Konflik mulai muncul ketika Hulusi menampakkan sikap kurang bersahabat pada
Nenek Catarina yang merupakan Yahudi Sinagog. Raut muka Hulusi nampak amat
tidak nyaman saat Fahri memilih untuk mengantarkan Nenek Catarina ke Sinagog.
Hulusi makin kesal karena di Sinagog, perlakuan tidak baik justru diterima oleh
mereka. Ketika Fahri menegur Hulusi yang bersikap seperti itu, Hulusi
keceplosan bawa-bawa Aisha yang telah lama menghilang*spoiler. Terungkaplah bahwa
Fahri selama itu berbuat baik ‘karena diamanati demikian’ oleh Aisha. Yang
paling menarik adalah kata-kata Fahri menanggapi Misbah: “Pancasila ada di sini
(sambil nunjuk dada-red), Bhineka Tunggal Ika ada dimana-mana” saat Misbah
menyatakan bahwa keberagaman di Edinburgh tidak sama dengan di Indonesia yang
punya Pancasila.
Saya merasa ini adalah kritik sosial pertama yang begitu
menampar. Sementara di dunia parallel di sana (ini meminjam istilah Mbak Teppy
untuk penggambaran suasana Edinburgh yang rasa Indonesia) ada yang mengingat
bahwa Pancasila itu bukan tentang bagaimana aturan mengikat kita, tapi
bagaimana Pancasila hidup di diri kita. Bahwa manusia yang mengaku Indonesia
seperti kitalah pengejawantahan Pancasila itu sendiri. Mari kita lihat realita
yang terjadi, dimana Ketuhanan yang Maha Esa saat ratusan kamisan dilewati oleh
jemaat GKI Yasmin di depan Istana? Di mana Pancasila saat para pemeluk
Ahmadiyah diserang dan tak bisa beribadah di rumah Ibadah mereka sendiri? Sebagian
bahkan merasa paling benar sehingga bebas ‘menindak’ setiap hal yang tak
sejalan dengan prinsip mereka. Musyawarah is non sense. Ada juga yang senang
sekali membuat pergolakan di masyarakat sehingga massa terbelah dalam
sekat-sekat dunia. Yang satu menunjuk yang lain dengan berbagai sebutan,Ahlu
Hoax, Cebong, Bani Taplak dan lain sebagainya. Persatuan Indonesia menjadi keniscayaan.
Apalagi tentang Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Sungguh lucu
ketika bicara tentang keadilan sosial dari tanah jawa yang nyaman ini sambil
terus menghujat Presiden yang mati-matian ‘menghidupkan’ tanah papua agar
dinikmati oleh orang papua itu sendiri! Kalau sudah begini, masihkah Pancasila
ada di hati kita?
Adegan lain yang juga mengusik saya adalah scene dimana Nenek
Catarina menuduh Fahri ‘memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan’ hanya karena
sekilas melihat Fahri menolong Brenda yang mabuk. Paginya, ketika Brenda
mengklarifikasi kejadian malam itu dan justru berterima kasih pada Fahriyang
menolongnya malam itu, Nenek Catarina meralat kata-katanya. Ha! Betapa indahnya
dunia ketika kita dengan lapang dada mau mengakui kesalahan. Sedang di dunia
kita, ada aja lho yang gak merasa salah sudah mengedit video sehingga
menyebabkan orang lain tersangkut hukum. pft
Adegan selanjutnya adalah momen dimana Jason, remaja tanggung
tetangga Fahri yang suka mencoret-coret mobil Fahri – tertangkap basah mengutil
di minimart miilik Fahri. Alih-alih melaporkan ke polisi, Fahri justru
mentraktir Jason milkshake paling enak di sebuah café entah dimana itu. ‘Kebaikan’
Fahri pada akhirnya membuat muak Jason yang benci diperlakukan baik sedangkan
Ia selama ini berbuat jahat pada Fahri. Hingga akhirnya Jason terbawa emosi dan
berdiri dengan meninggikan suaranya, tebak apa yang dikatakan Fahri pada Jason
yang notabene masih bocah itu: “Let’s be friend. Sit down, please!”
Ini WOW. Mari kita jujur pada diri kita sendiri dan melihat berbagai
fenomena carut-marut dunia. Dimana pendekatan kekeluargaan sekarang dalam
penyelesaian berbagai konflik? Padahal jarene negeri ini adalah negeri yang
menjunjung tinggi persaudaraan. Segala hal saling dipertentangkan. Masing-masing
beragumen dengan teori konspirasi masing-masing. Ada pihak yang membela hak
kemanusiaan LGBT, lantas ‘diserang’ secara personal dianggap bagian dari
kelompok tersebut. Ada insiden seorang yang disebut ustad ditolak masuk suatu
negara,eh disebut-sebut itu kepentingan 2019. Uiku opotoh. Jangankan kekancan,
lha wong menurunkan sedikit tensi saja ogah. Pokoke pendapatku paling bener. Wes
titik.Ra podo ra konco! Sungguh ironi, bahkan dalam islam pun ada etika untuk objektif
(“lihatlah apa yang dikatakan jangan lihat siapa yang mengatakan”(Ali bin Abi
Thalib)), serta jika membenci pun, yang dibenci adalah perilakunya, bukan
orangnya.
Cerita selanjutnya adalah ‘pameran’ kebaikan Fahri yang lain
lagi; buy back rumah Nenek Catarina yang secara sepihak dijual oleh anak tirinya,
‘menyelamatkan’ Keira – kakak Jason yang sama bencinya ke Fahri -- dari niatnya
sendiri menjual diri dengan sebuah ‘drama’ agar Keira memahami betapa bahayanya
tindakannya itu, hingga mendatangkan guru les biola untuk Keira. Klimaks momen
ini lagi-lagi disponsori oleh Hulusi yang menegur Fahri dengan ucapan; “Mau
sampai kapan Hoca menghamburkan uang untuk Nenek Catarina dan Keira?”
Di dunia nyata, mana ada sih orang yang justru membiayai rangorang
yang musuhin dia? Gak usah jauh-jauh, di Endonesa aja, orang lebih suka
berbondong-bondong bikin aksi berjilid-jilid untuk menuntut seseorang
dipenjara, daripada menahan diri untuk tak berkomentar saat ada ‘kebijakan aneh’
macam penutupan jalan Tanah Abang dan bersama-sama bersabar melihat ‘hasilnya’.
(tepok jidat, yang sabar ya, Pak Gub dan Pak Wagub :p)
Keanehan lain yang terekam di kepala saya adalah Baruch
(anak tiri Nenek Catarina) yang menantang Fahri duel debat dengan topik Konflik
Timur Tengah. Ehm, tepatnya isu Israel-Palestina.
Eiyaampuuuuuuuun, sejak kapan itu orang endonesah menyelesaikan
perseteruan dengan kaidah ilmiah? Yang ada main tampol, twitwor dan worwor lain
yang bertaburan dimana-mana. Belum lagi misleading, komen asal njeplak,
post-truth. Hadehhhhhhhh. Anggota DPR yang terhormat lho, bisa bangeet
menganggap bahwa negara bersalah ketika ada warganya yang ditolak masuk negara
lain. Ada juga yang ditantang debat tapi gak nongol, ada. Ampuuuuuuuuuuuun.
Nah, sebelum sesi ini, si Fahri sempet nolak todongan debat tuh. Dia bilang
tidak melayani debat kusir. Ceilehhhhhhhhh, sebagai penghuni twitter saya
ngakak.
Di sisi lain, pemilihan topik Israel-Palestine ini juga sesuatu
buat saya. Konflik Timteng itu banyak, hlo… But why Israel-Palestine? Lalu dari
sekian banyak pendekatan pembahasan tentang koflik ini, kenapa penjelasan yang
disampaikan Fahri hanya mementahkan satu teori dari Amerika?
Adegan lain yang sudah pernah disinggung di linimasa adalah
operasi face-off antara Hulya dan Aisha. Wajah Hulya ‘didonorkan’ ke wajah
Aisha yang rusak sehingga mewujud sebagai Sabina. Terlepas dari ketidaklogisan
proses operasi, hal ini mengingatkan bahwa di negara kita, umat muslim adalah
golongan yang paling sering berselisih soal teknologi. Ada masa dimana donor anggota
tubuh menjadi perdebatan. Jangankan menerima ‘sumbangan bagian tubuh’ bahkan
untuk sekedar mengubah tampilan fisik, ada dalil yang ngenekki. Apalagi isu
vaksin yang jelas-jelas ‘berasal’ dari selain manusia. Sungguh ironi, mengingat
dulu perkembangan ilmu pengetahuan merupakan salah satu bagian dari kejayaan
Islam. Tapi ah, yasudahlah. Oh iya, di novel, sempat diceritakan Fahri salah
memanggil nama Aisha dengan ‘Hulya’. Duh, berasa jadi orang lain saat gak pake ‘alis’,
ya gak sis? :p
Hampir segala aspek di konten cerita ini mengandung ironi
yang tajam. Bahkan pilihan hidup Fahri yang merindukan kehidupan Indonesia, Pancasilais
dan tentu saja kaya, tapi memilih tinggal di luar negeri. Sehingga sesuai dengan
penjelasan taxmin gaul Direktorat Jenderal Pajak bahwa orang Indonesia yang
tinggal minimal 188 hari di luar negeri adalah Objek Pajak Luar Negeri. Sepertinya
familiar ya dengan orang-orang kaya di Indonesia yang mengaku Pancasila tapi
lebih memilih di luar negeri. Ah, mungkin cuma sekedar ingin berderma pajak ke
tetangga sik J
Oh iya, ada satu aspek yang sebenarnya saya ragu untuk
berkomentar, sebab bagian ini berbeda dengan versi novel. Apalagi kalau bukan tentang
‘kebutaan’ Fahri atas identitas asli Sabina. Di film Fahri baru sadar identitas
asli Sabina saat Hulya dalam kondisi kritis. Ini lucu sih ya, seolah Fahri
begitu ‘buta’. Well, kadang cinta memang buta, kan? Tapi kalau di novel, Fahri
sebenarnya sudah lama mencurigai Sabina. Mulai dari cara menyajikan teh, puisi romantic
yang dibacakan Hulya ke Fahri – yang ternyata di’ajarkan’ oleh Sabina, padahal
puisi itu cuma Fahri dan ehm, Aisha yang tahu. Tapi yha entahlah. Ironi-ironi
yang bertebaran kebanyakan memang mentah sih.
Habiburrahan El Shirazy menggambarkan dunia idealnya dengan
begitu ‘sempurna’. Dan mimpi yang sama mungkin membuat sebagian merasa
tertampar karena realita tidak seperti itu. Entah karena keegoisan manusia itu
sendiri, atau memang kondisi ideal tersebut adalah niscaya. Jadi bagi Anda yang serta merta
merasa kesal dengan poster promosi film yang dianggap , selamat! Sesungguhnya Ironi
itu memang membangkitkan kecamuk di jiwa anda. Bahwa kadang pilihan di dalam
hidup tak selalu merupakan pilihan-pilihan yang merdeka.
(baca: poligami tidak sesederhana itu yey, bahkan ada setiap perempuan dalam film AAC2 'membawa' konflik mereka masing-masing)
(baca: poligami tidak sesederhana itu yey, bahkan ada setiap perempuan dalam film AAC2 'membawa' konflik mereka masing-masing)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar