Senin, 01 Januari 2018

Ayat-ayat cinta 2 dan Rentetan Ironi tentang Bangsaku.


Well hello people, kali ini saya hendak menulis sebuah review film yang baru saja rilis. Review kali ini agak berbeda sebab saya justru memilih film yang tidak direkomendasikan oleh teman-teman maupun netijen. Sebelumnya terimakasih banyak untuk Mbak Teppy, berkat review dari Mbak Teppy, saya justru tertantang untuk menemukan sisi lain film ini. Selain itu, eug juga musti berterimakasih sama Agik yang tahu betul selera guyonku; I need some sarcasm to laugh. So, karena saya juga bukan tipe yang nyaman berkomentar tanpa mengalami langsung, Maka, inilah review nano-nano ala saya.

Disclaimer: ini adalah persepsi personal saya berdasarkan apa yang muncul di kepala saya saat menonton. Tidak bermaksud menjelekkan pihak tertentu, hanya sekedar merelasikan adegan-adegan di film sebagai ironi. Bukan sekedar tentang Islam, tapi ke-Indonesiaan, kemanusiaan dan lain sebagainya. Yass, saya mengaku dosa bahwa saya nonton ini film sambil cetat-cetet hape. Saya tidak akan membahas filmografi ataupun hal-hal yang terkait teknis penceritaan sebagaimana sudah dikupashabis nan tuntas oleh Mbak Teppy. Saya justru tertarik pada isu-isu yang mengalir di sepanjang cerita. Oke mari kita mulai.

Film dimulai dengan penggambaran sosok Fahri sebagai sosok yang waw: dosen favorit, sekaligus pebisnis yang kasat mata sukses. Berbagai sisi ‘baik’ Fahri diobral; mulai dari hapalan Quran, membiarkan perlakuan semena-mena tetangga hingga tetap berlaku baik meski diperlakukan tidak baik. Konflik mulai muncul ketika Hulusi menampakkan sikap kurang bersahabat pada Nenek Catarina yang merupakan Yahudi Sinagog. Raut muka Hulusi nampak amat tidak nyaman saat Fahri memilih untuk mengantarkan Nenek Catarina ke Sinagog. Hulusi makin kesal karena di Sinagog, perlakuan tidak baik justru diterima oleh mereka. Ketika Fahri menegur Hulusi yang bersikap seperti itu, Hulusi keceplosan bawa-bawa Aisha yang telah lama menghilang*spoiler. Terungkaplah bahwa Fahri selama itu berbuat baik ‘karena diamanati demikian’ oleh Aisha. Yang paling menarik adalah kata-kata Fahri menanggapi Misbah: “Pancasila ada di sini (sambil nunjuk dada-red), Bhineka Tunggal Ika ada dimana-mana” saat Misbah menyatakan bahwa keberagaman di Edinburgh tidak sama dengan di Indonesia yang punya Pancasila.

Saya merasa ini adalah kritik sosial pertama yang begitu menampar. Sementara di dunia parallel di sana (ini meminjam istilah Mbak Teppy untuk penggambaran suasana Edinburgh yang rasa Indonesia) ada yang mengingat bahwa Pancasila itu bukan tentang bagaimana aturan mengikat kita, tapi bagaimana Pancasila hidup di diri kita. Bahwa manusia yang mengaku Indonesia seperti kitalah pengejawantahan Pancasila itu sendiri. Mari kita lihat realita yang terjadi, dimana Ketuhanan yang Maha Esa saat ratusan kamisan dilewati oleh jemaat GKI Yasmin di depan Istana? Di mana Pancasila saat para pemeluk Ahmadiyah diserang dan tak bisa beribadah di rumah Ibadah mereka sendiri? Sebagian bahkan merasa paling benar sehingga bebas ‘menindak’ setiap hal yang tak sejalan dengan prinsip mereka. Musyawarah is non sense. Ada juga yang senang sekali membuat pergolakan di masyarakat sehingga massa terbelah dalam sekat-sekat dunia. Yang satu menunjuk yang lain dengan berbagai sebutan,Ahlu Hoax, Cebong, Bani Taplak dan lain sebagainya. Persatuan Indonesia menjadi keniscayaan. Apalagi tentang Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Sungguh lucu ketika bicara tentang keadilan sosial dari tanah jawa yang nyaman ini sambil terus menghujat Presiden yang mati-matian ‘menghidupkan’ tanah papua agar dinikmati oleh orang papua itu sendiri! Kalau sudah begini, masihkah Pancasila ada di hati kita?

Adegan lain yang juga mengusik saya adalah scene dimana Nenek Catarina menuduh Fahri ‘memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan’ hanya karena sekilas melihat Fahri menolong Brenda yang mabuk. Paginya, ketika Brenda mengklarifikasi kejadian malam itu dan justru berterima kasih pada Fahriyang menolongnya malam itu, Nenek Catarina meralat kata-katanya. Ha! Betapa indahnya dunia ketika kita dengan lapang dada mau mengakui kesalahan. Sedang di dunia kita, ada aja lho yang gak merasa salah sudah mengedit video sehingga menyebabkan orang lain tersangkut hukum. pft

Adegan selanjutnya adalah momen dimana Jason, remaja tanggung tetangga Fahri yang suka mencoret-coret mobil Fahri – tertangkap basah mengutil di minimart miilik Fahri. Alih-alih melaporkan ke polisi, Fahri justru mentraktir Jason milkshake paling enak di sebuah café entah dimana itu. ‘Kebaikan’ Fahri pada akhirnya membuat muak Jason yang benci diperlakukan baik sedangkan Ia selama ini berbuat jahat pada Fahri. Hingga akhirnya Jason terbawa emosi dan berdiri dengan meninggikan suaranya, tebak apa yang dikatakan Fahri pada Jason yang notabene masih bocah itu: “Let’s be friend. Sit down, please!”

Ini WOW. Mari kita jujur pada diri kita sendiri dan melihat berbagai fenomena carut-marut dunia. Dimana pendekatan kekeluargaan sekarang dalam penyelesaian berbagai konflik? Padahal jarene negeri ini adalah negeri yang menjunjung tinggi persaudaraan. Segala hal saling dipertentangkan. Masing-masing beragumen dengan teori konspirasi masing-masing. Ada pihak yang membela hak kemanusiaan LGBT, lantas ‘diserang’ secara personal dianggap bagian dari kelompok tersebut. Ada insiden seorang yang disebut ustad ditolak masuk suatu negara,eh disebut-sebut itu kepentingan 2019. Uiku opotoh. Jangankan kekancan, lha wong menurunkan sedikit tensi saja ogah. Pokoke pendapatku paling bener. Wes titik.Ra podo ra konco! Sungguh ironi, bahkan dalam islam pun ada etika untuk objektif (“lihatlah apa yang dikatakan jangan lihat siapa yang mengatakan”(Ali bin Abi Thalib)), serta jika membenci pun, yang dibenci adalah perilakunya, bukan orangnya.

Cerita selanjutnya adalah ‘pameran’ kebaikan Fahri yang lain lagi; buy back rumah Nenek Catarina yang secara sepihak dijual oleh anak tirinya, ‘menyelamatkan’ Keira – kakak Jason yang sama bencinya ke Fahri -- dari niatnya sendiri menjual diri dengan sebuah ‘drama’ agar Keira memahami betapa bahayanya tindakannya itu, hingga mendatangkan guru les biola untuk Keira. Klimaks momen ini lagi-lagi disponsori oleh Hulusi yang menegur Fahri dengan ucapan; “Mau sampai kapan Hoca menghamburkan uang untuk Nenek Catarina dan Keira?”

Di dunia nyata, mana ada sih orang yang justru membiayai rangorang yang musuhin dia? Gak usah jauh-jauh, di Endonesa aja, orang lebih suka berbondong-bondong bikin aksi berjilid-jilid untuk menuntut seseorang dipenjara, daripada menahan diri untuk tak berkomentar saat ada ‘kebijakan aneh’ macam penutupan jalan Tanah Abang dan bersama-sama bersabar melihat ‘hasilnya’. (tepok jidat, yang sabar ya, Pak Gub dan Pak Wagub :p)

Keanehan lain yang terekam di kepala saya adalah Baruch (anak tiri Nenek Catarina) yang menantang Fahri duel debat dengan topik Konflik Timur Tengah. Ehm, tepatnya isu Israel-Palestina.
Eiyaampuuuuuuuun, sejak kapan itu orang endonesah menyelesaikan perseteruan dengan kaidah ilmiah? Yang ada main tampol, twitwor dan worwor lain yang bertaburan dimana-mana. Belum lagi misleading, komen asal njeplak, post-truth. Hadehhhhhhhh. Anggota DPR yang terhormat lho, bisa bangeet menganggap bahwa negara bersalah ketika ada warganya yang ditolak masuk negara lain. Ada juga yang ditantang debat tapi gak nongol, ada. Ampuuuuuuuuuuuun. Nah, sebelum sesi ini, si Fahri sempet nolak todongan debat tuh. Dia bilang tidak melayani debat kusir. Ceilehhhhhhhhh, sebagai penghuni twitter saya ngakak.

Di sisi lain, pemilihan topik Israel-Palestine ini juga sesuatu buat saya. Konflik Timteng itu banyak, hlo… But why Israel-Palestine? Lalu dari sekian banyak pendekatan pembahasan tentang koflik ini, kenapa penjelasan yang disampaikan Fahri hanya mementahkan satu teori dari Amerika?

Adegan lain yang sudah pernah disinggung di linimasa adalah operasi face-off antara Hulya dan Aisha. Wajah Hulya ‘didonorkan’ ke wajah Aisha yang rusak sehingga mewujud sebagai Sabina. Terlepas dari ketidaklogisan proses operasi, hal ini mengingatkan bahwa di negara kita, umat muslim adalah golongan yang paling sering berselisih soal teknologi. Ada masa dimana donor anggota tubuh menjadi perdebatan. Jangankan menerima ‘sumbangan bagian tubuh’ bahkan untuk sekedar mengubah tampilan fisik, ada dalil yang ngenekki. Apalagi isu vaksin yang jelas-jelas ‘berasal’ dari selain manusia. Sungguh ironi, mengingat dulu perkembangan ilmu pengetahuan merupakan salah satu bagian dari kejayaan Islam. Tapi ah, yasudahlah. Oh iya, di novel, sempat diceritakan Fahri salah memanggil nama Aisha dengan ‘Hulya’. Duh, berasa jadi orang lain saat gak pake ‘alis’, ya gak sis? :p

Hampir segala aspek di konten cerita ini mengandung ironi yang tajam. Bahkan pilihan hidup Fahri yang merindukan kehidupan Indonesia, Pancasilais dan tentu saja kaya, tapi memilih tinggal di luar negeri. Sehingga sesuai dengan penjelasan taxmin gaul Direktorat Jenderal Pajak bahwa orang Indonesia yang tinggal minimal 188 hari di luar negeri adalah Objek Pajak Luar Negeri. Sepertinya familiar ya dengan orang-orang kaya di Indonesia yang mengaku Pancasila tapi lebih memilih di luar negeri. Ah, mungkin cuma sekedar ingin berderma pajak ke tetangga sik J

Oh iya, ada satu aspek yang sebenarnya saya ragu untuk berkomentar, sebab bagian ini berbeda dengan versi novel. Apalagi kalau bukan tentang ‘kebutaan’ Fahri atas identitas asli Sabina. Di film Fahri baru sadar identitas asli Sabina saat Hulya dalam kondisi kritis. Ini lucu sih ya, seolah Fahri begitu ‘buta’. Well, kadang cinta memang buta, kan? Tapi kalau di novel, Fahri sebenarnya sudah lama mencurigai Sabina. Mulai dari cara menyajikan teh, puisi romantic yang dibacakan Hulya ke Fahri – yang ternyata di’ajarkan’ oleh Sabina, padahal puisi itu cuma Fahri dan ehm, Aisha yang tahu. Tapi yha entahlah. Ironi-ironi yang bertebaran kebanyakan memang mentah sih.


Habiburrahan El Shirazy menggambarkan dunia idealnya dengan begitu ‘sempurna’. Dan mimpi yang sama mungkin membuat sebagian merasa tertampar karena realita tidak seperti itu. Entah karena keegoisan manusia itu sendiri, atau memang kondisi ideal tersebut adalah niscaya. Jadi bagi Anda yang serta merta merasa kesal dengan poster promosi film yang dianggap , selamat! Sesungguhnya Ironi itu memang membangkitkan kecamuk di jiwa anda. Bahwa kadang pilihan di dalam hidup tak selalu merupakan pilihan-pilihan yang merdeka.
(baca: poligami tidak sesederhana itu yey, bahkan ada setiap perempuan dalam film AAC2 'membawa' konflik mereka masing-masing)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar