Rabu, 27 Desember 2017

Jakarta dan Pesona Sawah Perak


Petang itu selepas menjenguk nenek di sebuah rumah sakit jantung di Jakarta Pusat, saya berencana menggunakan jatah tiket nonton gratis saya. Tapi entah kenapa rasanya ada yang mengganjal. Sambil menetapkan diri jadi nonton atau tidak, saya memilih duduk di pinggir jalan, sambil ngemil Bakso Malang di depan RS.

Sembari menyesap aroma loncang yang efektif menambal rasa kuah yang biasa-biasa saja, saya iseng ngobrol sok asyik sama si penjual yang sedari tadi sudah melirik saya. Lelaki paruh baya itu berasal dari Pacitan, sebuah desa yang dikenal Kota Seribu Goa di Jawa Timur. Sebut saja namanya Pak Samin. Sejak Ibunya meninggal beberapa tahun silam, Ia memutuskan merantau ke Ibukota.”Daripada numpang di rumah sodara, kan gak enak Mbak. Kalau masih ada orang tua kan masih gak papa. Kitanya nemenin (orang tua-red). Lha kalau gak ada (orang tua lagi – red) kan gak enak. Tinggal seatap sama sodara sama bininya. Nanti orang bilang apa” begitu kata Pak Samin.

Pak Samin mengawali petualangannya di Jakarta dengan menjadi pekerja di Tanah Abang. Saat itu gajinya Rp. 1.200.000,- per bulan. “Tapi habis buat bayar utang makan sama rokok di warung Mbak, paling sisa dua ratus” kata Pak Samin sambil terkekeh memperlihatkan giginya yang masih terbilang bagus untuk ukuran perokok di usianya. “Makanya saya gak betah, lalu saya jualan Mi di RS sana (Pak Samin menyebut sebuah RS tapi untuk alasan tertentu saya samarkan). Di sana lumayan laris sih. Terus tiba-tiba aja saya pengen jual Bakso Malang, yaudah saya pindah ke sini”

Sudah sekitar lima tahun Pak Samin menempati lapak ini. Menurut Pak Samin, lapaknya sekarang pernah ditawar hingga lima belas juta rupiah. Sebuah harga yang fantastis menurut saya melihat rupa gerobak Bakso Malang yang biasa-biasa saja. Tapi Ia tak tertarik untuk melepas lapak itu. Menurutnya, lapak yang ia tempati sekarang sangat strategis. Berada di depan rumah sakit sekaligus di depan Jembatan Penyeberangan Orang, sehingga orang dari seberang bisa mudah mengakses lapaknya. “Dulu saya beli (lapak – red) ini murah Mbak, cuma lima juta. Sekarang tinggal bayar uang keamanan aja tiga ratus sebulannya. Dulu saya di sono tuh Mbak (menunjuk pintu keluar RS, di bawah JPO), itu sekarang gak dijual, sistemnya kontrak, sepuluh juta setahun. Kalau yang ini (menunjuk gerobak nasi bebek di samping kanan lapaknya) tujuh jutaan setaun, orang baru juga,” Hati saya mencelos mendengar angka-angka itu.

Dengan deretan angka-angka tersebut, saya jadi penasaran berapa penghasilan Pak Samin. Mengingat harga Bakso Malang lengkap yang ia jual sebesar sepuluh ribu per porsi. “Ya kalau habis gini sih dua ratus lima puluhan, paling sepi seratus lima puluh lah”. Otak saya langsung sibuk menghitung. Bila dipukul rata Rp 150.000 per hari , jika Ia istirahat setiap hari minggu maka penghasilannya minimal Rp. 3.600.000 per bulan. Angka yang hampir mencapai UMR Jakarta.

“Gak pulang aja, Pak? Garap sawah di kampung?” Saya mencoba berkelakar.


“Lha justru sawah saya itu di sini Mbak. Anggep aja dari setaun kita kerja 10 bulan, dua bulan untuk istirahat pulang kampung. Tiap bulan saya bisa dapet seenggaknya tiga juta. Setaun berarti tiga puluh juta. Kalau di kampung (garap sawah – red) mana bisa dapet segitu Mbak. Belum bayar utang pupuk, bayar orang garap sawah, duh gak mungkin” Dan saya pun manggut-manggut pura-pura mengerti apa yang Ia ucapkan. Ah Jakarta, Sawahmu terlalu menyilaukan. Entah tinggal menunggu waktu berapa lama lagi hingga suatu saat aku harus sarapan receh karena beras tak lagi tersedia di pasaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar