Sabtu, 10 November 2018

Pelecehan Seksual (dan Bagaimana Cara Pers Memberitakan)



Setelah berdiskusi dengan beberapa kawan, serta didesak untuk menulis sebuah opini utuh, tak sekedar mengkritisi tulisan lain, akhirnya saya memutuskan untuk mencoba menulis kembali. Sudah lama saya tidak menulis hal yang cukup serius. Jadi biarkan saya menulis dengan logat tutur ala warganet kekinian. Semoga tidak mengurangi minat rekan-rekan untuk mebaca sedikit curahan pikiran saya. Sebuah peringatan awal dari saya, tulisan ini akan menggunakan beberapa kata yang vulgar. Jadi jika anda tidak suka dengan kata-kata yang vulgar, dan atau belum sampai pada usia yang cukup, silahkan balik kanan.

Tentang pelecehan seksual, sebuah term yang seksi bagi sebagian pihak, sangat menarik untuk dibahas, tetapi masih menjadi tanda tanya besar bagi sebagian yang lain. Merujuk pada berita yang viral beberapa waktu yang lalu, yakni dugaan kasus pemerkosaan mahasiswa sebuah PTN oleh rekan sesama mahasiswa di sebuah kegiatan kampus, warganet yang terlibat pada perdebatan penggunaan istilah ‘perkosaan’ atau ‘pelecehan’ adalah contoh dari sekelumit kelompok yang memiliki literasi cukup, dibanding mereka yang bahkan masih bertanya-tanya apa itu pelecehan.

Saya sendiri merasakan jurang pemahaman itu ketika di lingkungan terkecil saya muncul pertanyaan: “Sebenarnya batasan tindakan terhadap perempuan yang dianggap sebagai pelecehan itu kayak gimana?”

Cukup mengejutkan, mengingat pertanyaan itu muncul dari seorang rekan dengan latar belakang antropologi. Bisa jadi, yang bersangkutan hanya sekadar melakukan tes ombak. Tapi kebisuan yang merebak menjadi salah satu sinyal kuat bagi saya bahwa pemahaman yang kuat belum menjadi bagian dari pengetahuan dasar kelompok tersebut. Bisa jadi sebagian tahu, tapi tidak cukup yakin untuk menyampaikan pendapat. Di kehidupan sehari-hari, bisa jadi kelompok ini adalah bagian yang masih ragu mengkategorikan sebuah tindakan sebagai ‘pelecehan’.

Maka, jangankan term pelecehan seksual, kata ‘pelecehan’ saja, bagi sebagian pihak, masih cukup asing. Saya cukup memahami kondisi ini, misalnya di suatu daerah yang nuansa kekeluargaannya masih cukup kental. Sapaan yang mengandung pujian memang tulus. Biasa digunakan sehari-hari untuk merekatkan hubungan sosial.

Secara umum, ada dua istilah yang diperdebatkan untuk merujuk dugaan kasus itu, pelecehan dan perkosaan. KOMNAS Perempuan (sebelumnya saya menyebut KOMNAS HAM) menyebut bahwa Perkosaan adalah serangan dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual dengan memakai penis ke arah vagina, anus atau mulut korban. Bisa juga menggunakan jari tangan atau benda-benda lainnya. Serangan dilakukan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, penahanan, tekanan psikologis, penyelahgunaan kekuasaan, atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang penuh paksaan. Definisi ini, merupakan definisi paling mutakhir menyikapi kasus perkosaan dengan gagang pacul yang sempat viral beberapa waktu yang lalu.

Sedangkan menurut KUHP, yang hingga kini belum direvisi, dugaan kasus kemarin hanya tergolong pencabulan (bahkan bukan pelecehan!) karena tidak ada persetubuhan yang dimaknai sebagai penetrasi penis ke vagina. Secara rinci Pasal 285 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan, “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.” Menurut tulisan yang viral beberapa waktu yang lalu, terduga pelaku diduga menggerayangi dan menciumi tubuh terduga korban serta memasukkan jarinya ke vaginanya. Maka hal itu bukan pemerkosaan melainkan pencabulan, sebagaimana diatur dalam Pasal 289 KUHP.

Informasi di atas, sebenarnya justru informasi yang perlu disampaikan pada masyarakat. Bahwa spektrum hukum kita belum direvisi cakupannya, bahwa mulai ada definisi-definisi yang lebih berpihak pada keadilan terduga korban, dan sebagainya.

Kurangnya literasi masyarakat di isu ini sebenarnya merupakan ‘lahan garapan’ potensial bagi pers untuk menjalankan peran sebagai media pendidikan masyarakat. Pers, perlu mengambil langkah yang progresif terkait kurangnya literasi ini dengan tetap memperhatikan fungsi dan etika yang mengikat. Lantas, bagaimana seharusnya pers berperan?

Sebagai media informasi, penting bagi pers untuk menyuarakan dugaan kasus yang diduga tak kunjung mendapat penangan yang optimal ini. Harus diakui, dalam usaha menyajikan data, investigasi yang dilakukan oleh Balairung sangat luar biasa hebat. Berani menyentil berbagai pihak terkait. Bisa jadi, penanganan yang berlarut dan tak kunjung memberikan hasil yang diharapkan oleh terduga korban membuat terduga korban akhirnya memutuskan untuk buka suara dengan segamblang-gamblangnya, termasuk mengizinkan Balairung untuk menuliskan secara detil apa yang ia alami. Di sinilah ujian bagi pers yang diikat beberapa etika seperti perlindungan korban dan netralitas.

Mendapat ijin bukan berarti lantas perlu dipublikasikan. Sebab selain sebagai media informasi, pers juga menanggung fungsi sebagai media pendidikan masyarakat. Dengan informasi yang segamblang itu, apakah masyarakat siap, cukup dewasa untuk menerima informasi tersebut alih-alih fokus pada kekepoan mencari tahu persona terlibat? Apakah informasi yang akan disebar mampu secara efektif mendidik masyarakat tentang apa yang diduga terjadi dan mengapa itu disebut pelecehan dan atau perkosaan? Apakah tulisan yang dibuat cukup memberikan keadilan bagi pihak-pihak yang diduga terlibat? Apakah berita yang ditulis mampu mendorong masyarakat untuk bersikap adil? Masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain.

Pada kasus dugaan perkosaan tersebut di atas, pemberitaan oleh lembaga pers mahasiswa setempat bisa menjadi titik balik. Kasus ini menjadi perhatian banyak sekali pihak, penanganannya turut menjadi sorotan. Bisa jadi, keberanian persma untuk mengungkap dugaan kasus ini menjadi angin segar penegakan keadilan atas kasus serupa. Mendorong pengampu kepentingan untuk memiliki sistem penanganan terbaik atas hal-hal serupa. Selain evaluasi mendalam agar kasus serupa tak lagi terulang.

Tak dapat dipungkiri, pilihan persma setempat untuk menyertakan identitas terduga korban menjadi polemik (baru) tersendiri. Sebagian warganet justru gagal fokus; terpancing untuk mencari identitas terduga korban maupun terduga pelaku alih-alih ‘pembelajaran’ kasus. Bahwa hal demikian adalah perkosaan menurut komnas perempuan, serta pencabulan menurut KUHP yang belum juga direvisi. Bahwa berdasarkan ulasan ahli, terduga pelaku diancam apa, dan lain sebagainya. Warganet malah sibuk dengan identitas dan luapan emosional masing-masing. Bahkan indikasi persekusi pun merebak.

Pilihan persma untuk menulis secara detil kronologi dugaan kasus juga membuka ruang debat yang cukup besar. Mulai dari perdebatan pilihan term yang paling sesuai, perdebatan tentang aspek kepantasan, hingga perdebatan akar rumput yang kurang literasi sehingga justru mengecilkan dugaan kasus tersebut dengan kata ‘hanya’. Bukan satu dua kali saya mendengar ada yang berkomentar ‘itu kan cuma’, ‘ah sudah biasa’, ‘sudah dari dulu’, hingga ‘dikawinkan saja, keduanya’.

Sungguh amat disayangkan. Menurut hemat saya, persma tersebut kehilangan momen mendidik masyarakat tentang batapa seriusnya kasus ini lewat kemasan yang elegan. Pilihan deskripsi kejadian justru mencuri perhatian warganet ke ruang diskusi liar. Melanggengkan kebutuhan informasi detil berlebih yang berujung persekusi, dan lain sebagainya.

Salut atas investigasi yang dalam, tapi tetap menyayangkan pilihan cara penyampaian.
Di sisi lain, pilihan persma untuk menyampaikan secara gamblang deskripsi dugaan kasus tak lepas dari kebutuhan akan info yang semakin dalam dari pembaca. Pembaca kini tak lagi dapat ‘dipuaskan’ dengan kata-kata implisit. Pers seolah dituntut jadi mata dan telinga pembaca dengan tanpa saringan. Bagaimana ini bisa terjadi?

Saya masih ingat betul di kisaran tahun 1996 saat saya baru mulai bisa membaca koran, media begitu tertib menjaga identitas terduga korban maupun terduga pelaku. Hanya usia saja yang menyertai inisial. Gambar yang ditampilkan juga selalu ditutup dengan blok hitam, tak sekedar blur atau pose menundukkan kepala. Saya juga masih ingat betul, di tahun-tahun itu sedang heboh kasus Robot Gedek. Saat itulah saya mengenal kata sodomi untuk pertama kalinya. Penggunaan kata yang vulgar sudah ada sejak dulu, tapi cukup dengan kata sodomi, tanpa perlu kronologis yang berlebih.

Anak kecil seperti saya saat itu, mendapat penjelasan yang ‘cukup’ dari orang tua saat membaca berita. Bahwa sodomi adalah kejahatan menyakiti anak kecil di bawah umur, yang sangat jahat. Di tahun-tahun berikutnya setelah saya lebih besar, akhirnya saya tahu arti sodomi justru dari hadist, di sesi pengajian yang saya ikuti, merujuk pada azab ke bangsa sodom. Saya tak bisa membayangkan bila saat itu, di kisaran tahun 1996 yang saya baca bukanlah kata ‘sodomi’, melainkan memasukkan penis ke dubur. Secara logika, sangat tidak mungkin sodomi terjadi begitu saja, pasti ada proses rayuan, yang bila si wartawan memilih untuk menuliskan kronologisnya, bisa saja jadi paragraf-paragraf tersendiri, mengingat banyaknya korban.

Saya beruntung, di masa awal saya mampu menyerap informasi, saya berada di era pers yang cukup, tak berlebihan. Sehingga informasi bisa masuk ke diri saya secara cukup dan bertahap. Pertanyaan tentang ‘rinci atau tidak rinci’ ini kemudian menimbulkan tanda tanya baru. Sejak kapan pers kita harus sedemikian merinci secara sangat detil?

Saya menduga semua ini bermula dari hingar bingar citizen journalisme, yang kemudian digandakan dengan era internet di mana setiap orang bisa mengakses apapun yang dia mau. Semangat citizen journalisme mendorong orang untuk terlibat menyampaikan berbagai kejadian di sekitar mereka, yang sayangnya tak selalu diimbangi dengan kemampuan jurnalistik dasar yang cukup. Jangan tanya soal validitas, netralitas apalagi cover both side. Pemenuhan 5w+1h sebagai unsur pokok berita kadang defisit, kadang surplus. Harap maklum, tak semua penulis bisa menulis dengan baik. Saya salah satunya sih, tak bisa menulis dengan benar. Hhehe

Informasi dari sesama warganet yang begitu melimpah membuat kebutuhan akan informasi menjadi semakin besar: harus tahu persis, segera, sedetil mungkin. Akun lambe-lambe adalah contoh paling mudah untuk menunjukkan betapa warganet sekarang sangat perlu detil kehidupan seseorang, yang kadang sebenarnya bukan hak mereka. Apa daya, label tokoh publik dan ketersediaan informasi yang memang melimpah ruah, membuat warganet merasa sah-sah saja untuk ingin tahu.

Pertanyaannya adalah: bisa mengakses dan bisa mengetahui, apakah berhak tahu? Apakah harus tahu sampai sedetil itu? Perilaku warganet saat ini yang sampai pada tahap ‘harus disajikan kronologi dengan gamblang dan detil agar dapat meyakinkan pembaca’ ini adalah buah dari proses yang saya sebut di atas. Jangan-jangan, kita memang sudah seharusnya sampai di tahap keterbukaan informasi yang sangat ekstrim. Bahkan mungkin, perlu ada evaluasi batas antara ruang privat dan publik.


1 komentar:


  1. * KUNJUNGI SITUS KAMI DI *

    WWW.ID303.INFO


    MENANG BERAPAPUN, PASTI KAMI BAYAR !!! *


    * Melayani LiveChat 7 x 24 Jam Nonstop :

    - WA : 08125522303
    - BBM : CSID303



    Situs Judi Sabung Ayam S128


    Sbobet Agen


    www.ayampanggang.vip

    BalasHapus