Setelah berdiskusi dengan beberapa kawan, serta didesak untuk
menulis sebuah opini utuh, tak sekedar mengkritisi tulisan lain, akhirnya saya
memutuskan untuk mencoba menulis kembali. Sudah lama saya tidak menulis hal
yang cukup serius. Jadi biarkan saya menulis dengan logat tutur ala warganet
kekinian. Semoga tidak mengurangi minat rekan-rekan untuk mebaca sedikit
curahan pikiran saya. Sebuah peringatan awal dari saya, tulisan ini akan menggunakan
beberapa kata yang vulgar. Jadi jika anda tidak suka dengan kata-kata yang
vulgar, dan atau belum sampai pada usia yang cukup, silahkan balik kanan.
Tentang pelecehan seksual, sebuah term yang seksi bagi sebagian
pihak, sangat menarik untuk dibahas, tetapi masih menjadi tanda tanya besar
bagi sebagian yang lain. Merujuk pada berita yang viral beberapa waktu yang
lalu, yakni dugaan kasus pemerkosaan mahasiswa sebuah PTN oleh rekan sesama
mahasiswa di sebuah kegiatan kampus, warganet yang terlibat pada perdebatan
penggunaan istilah ‘perkosaan’ atau ‘pelecehan’ adalah contoh dari sekelumit
kelompok yang memiliki literasi cukup, dibanding mereka yang bahkan masih
bertanya-tanya apa itu pelecehan.
Saya sendiri merasakan jurang pemahaman itu ketika di lingkungan
terkecil saya muncul pertanyaan: “Sebenarnya batasan tindakan terhadap
perempuan yang dianggap sebagai pelecehan itu kayak gimana?”
Cukup mengejutkan, mengingat pertanyaan itu muncul dari seorang
rekan dengan latar belakang antropologi. Bisa jadi, yang bersangkutan hanya sekadar
melakukan tes ombak. Tapi kebisuan yang merebak menjadi salah satu sinyal kuat
bagi saya bahwa pemahaman yang kuat belum menjadi bagian dari pengetahuan dasar
kelompok tersebut. Bisa jadi sebagian tahu, tapi tidak cukup yakin untuk
menyampaikan pendapat. Di kehidupan sehari-hari, bisa jadi kelompok ini adalah
bagian yang masih ragu mengkategorikan sebuah tindakan sebagai ‘pelecehan’.
Maka, jangankan term pelecehan seksual, kata ‘pelecehan’ saja,
bagi sebagian pihak, masih cukup asing. Saya cukup memahami kondisi ini,
misalnya di suatu daerah yang nuansa kekeluargaannya masih cukup kental. Sapaan
yang mengandung pujian memang tulus. Biasa digunakan sehari-hari untuk
merekatkan hubungan sosial.
Secara umum, ada dua istilah yang diperdebatkan untuk merujuk
dugaan kasus itu, pelecehan dan perkosaan. KOMNAS Perempuan (sebelumnya saya
menyebut KOMNAS HAM) menyebut bahwa Perkosaan adalah serangan dalam bentuk
pemaksaan hubungan seksual dengan memakai penis ke arah vagina, anus atau mulut
korban. Bisa juga menggunakan jari tangan atau benda-benda lainnya. Serangan
dilakukan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, penahanan, tekanan psikologis,
penyelahgunaan kekuasaan, atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang
penuh paksaan. Definisi ini, merupakan definisi paling mutakhir menyikapi kasus
perkosaan dengan gagang pacul yang sempat viral beberapa waktu yang lalu.
Sedangkan menurut KUHP, yang hingga kini belum direvisi, dugaan
kasus kemarin hanya tergolong pencabulan (bahkan bukan pelecehan!) karena tidak
ada persetubuhan yang dimaknai sebagai penetrasi penis ke vagina. Secara rinci Pasal 285 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) menyebutkan, “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena
melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.” Menurut
tulisan yang viral beberapa waktu yang lalu, terduga pelaku diduga
menggerayangi dan menciumi tubuh terduga korban serta memasukkan jarinya ke
vaginanya. Maka hal itu bukan pemerkosaan melainkan pencabulan, sebagaimana
diatur dalam Pasal 289 KUHP.
Informasi di atas, sebenarnya
justru informasi yang perlu disampaikan pada masyarakat. Bahwa spektrum hukum
kita belum direvisi cakupannya, bahwa mulai ada definisi-definisi yang lebih
berpihak pada keadilan terduga korban, dan sebagainya.
Kurangnya literasi masyarakat di
isu ini sebenarnya merupakan ‘lahan garapan’ potensial bagi pers untuk
menjalankan peran sebagai media pendidikan masyarakat. Pers, perlu mengambil
langkah yang progresif terkait kurangnya literasi ini dengan tetap
memperhatikan fungsi dan etika yang mengikat. Lantas, bagaimana seharusnya pers
berperan?
Sebagai media informasi, penting
bagi pers untuk menyuarakan dugaan kasus yang diduga tak kunjung mendapat
penangan yang optimal ini. Harus diakui, dalam usaha menyajikan data,
investigasi yang dilakukan oleh Balairung sangat luar biasa hebat. Berani
menyentil berbagai pihak terkait. Bisa jadi, penanganan yang berlarut dan tak
kunjung memberikan hasil yang diharapkan oleh terduga korban membuat terduga
korban akhirnya memutuskan untuk buka suara dengan segamblang-gamblangnya,
termasuk mengizinkan Balairung untuk menuliskan secara detil apa yang ia alami.
Di sinilah ujian bagi pers yang diikat beberapa etika seperti perlindungan
korban dan netralitas.
Mendapat ijin bukan berarti lantas
perlu dipublikasikan. Sebab selain sebagai media informasi, pers juga
menanggung fungsi sebagai media pendidikan masyarakat. Dengan informasi yang
segamblang itu, apakah masyarakat siap, cukup dewasa untuk menerima informasi
tersebut alih-alih fokus pada kekepoan mencari tahu persona terlibat? Apakah
informasi yang akan disebar mampu secara efektif mendidik masyarakat tentang apa
yang diduga terjadi dan mengapa itu disebut pelecehan dan atau perkosaan? Apakah
tulisan yang dibuat cukup memberikan keadilan bagi pihak-pihak yang diduga
terlibat? Apakah berita yang ditulis mampu mendorong masyarakat untuk bersikap
adil? Masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain.
Pada kasus dugaan perkosaan tersebut
di atas, pemberitaan oleh lembaga pers mahasiswa setempat bisa menjadi titik
balik. Kasus ini menjadi perhatian banyak sekali pihak, penanganannya turut
menjadi sorotan. Bisa jadi, keberanian persma untuk mengungkap dugaan kasus ini
menjadi angin segar penegakan keadilan atas kasus serupa. Mendorong pengampu
kepentingan untuk memiliki sistem penanganan terbaik atas hal-hal serupa. Selain
evaluasi mendalam agar kasus serupa tak lagi terulang.
Tak dapat dipungkiri, pilihan persma
setempat untuk menyertakan identitas terduga korban menjadi polemik (baru) tersendiri.
Sebagian warganet justru gagal fokus; terpancing untuk mencari identitas terduga
korban maupun terduga pelaku alih-alih ‘pembelajaran’ kasus. Bahwa hal demikian
adalah perkosaan menurut komnas perempuan, serta pencabulan menurut KUHP yang
belum juga direvisi. Bahwa berdasarkan ulasan ahli, terduga pelaku diancam apa,
dan lain sebagainya. Warganet malah sibuk dengan identitas dan luapan emosional
masing-masing. Bahkan indikasi persekusi pun merebak.
Pilihan persma untuk menulis secara
detil kronologi dugaan kasus juga membuka ruang debat yang cukup besar. Mulai
dari perdebatan pilihan term yang paling sesuai, perdebatan tentang aspek
kepantasan, hingga perdebatan akar rumput yang kurang literasi sehingga justru
mengecilkan dugaan kasus tersebut dengan kata ‘hanya’. Bukan satu dua kali saya
mendengar ada yang berkomentar ‘itu kan cuma’, ‘ah sudah biasa’, ‘sudah dari
dulu’, hingga ‘dikawinkan saja, keduanya’.
Sungguh amat disayangkan. Menurut hemat saya, persma tersebut kehilangan
momen mendidik masyarakat tentang batapa seriusnya kasus ini lewat kemasan yang
elegan. Pilihan deskripsi kejadian justru mencuri perhatian warganet ke ruang
diskusi liar. Melanggengkan kebutuhan informasi detil berlebih yang berujung persekusi,
dan lain sebagainya.
Salut atas investigasi yang dalam, tapi tetap menyayangkan pilihan
cara penyampaian.
Di sisi lain, pilihan persma untuk menyampaikan secara gamblang
deskripsi dugaan kasus tak lepas dari kebutuhan akan info yang semakin dalam
dari pembaca. Pembaca kini tak lagi dapat ‘dipuaskan’ dengan kata-kata
implisit. Pers seolah dituntut jadi mata dan telinga pembaca dengan tanpa saringan.
Bagaimana ini bisa terjadi?
Saya masih ingat betul di kisaran tahun 1996 saat saya baru mulai
bisa membaca koran, media begitu tertib menjaga identitas terduga korban maupun
terduga pelaku. Hanya usia saja yang menyertai inisial. Gambar yang ditampilkan
juga selalu ditutup dengan blok hitam, tak sekedar blur atau pose menundukkan
kepala. Saya juga masih ingat betul, di tahun-tahun itu sedang heboh kasus
Robot Gedek. Saat itulah saya mengenal kata sodomi untuk pertama kalinya.
Penggunaan kata yang vulgar sudah ada sejak dulu, tapi cukup dengan kata sodomi,
tanpa perlu kronologis yang berlebih.
Anak kecil seperti saya saat itu, mendapat penjelasan yang ‘cukup’
dari orang tua saat membaca berita. Bahwa sodomi adalah kejahatan menyakiti
anak kecil di bawah umur, yang sangat jahat. Di tahun-tahun berikutnya setelah
saya lebih besar, akhirnya saya tahu arti sodomi justru dari hadist, di sesi pengajian
yang saya ikuti, merujuk pada azab ke bangsa sodom. Saya tak bisa membayangkan
bila saat itu, di kisaran tahun 1996 yang saya baca bukanlah kata ‘sodomi’,
melainkan memasukkan penis ke dubur. Secara logika, sangat tidak mungkin sodomi
terjadi begitu saja, pasti ada proses rayuan, yang bila si wartawan memilih
untuk menuliskan kronologisnya, bisa saja jadi paragraf-paragraf tersendiri,
mengingat banyaknya korban.
Saya beruntung, di masa awal saya mampu menyerap informasi, saya
berada di era pers yang cukup, tak berlebihan. Sehingga informasi bisa masuk ke
diri saya secara cukup dan bertahap. Pertanyaan tentang ‘rinci atau tidak rinci’
ini kemudian menimbulkan tanda tanya baru. Sejak kapan pers kita harus
sedemikian merinci secara sangat detil?
Saya menduga semua ini bermula dari hingar bingar citizen
journalisme, yang kemudian digandakan dengan era internet di mana setiap orang
bisa mengakses apapun yang dia mau. Semangat citizen journalisme mendorong
orang untuk terlibat menyampaikan berbagai kejadian di sekitar mereka, yang
sayangnya tak selalu diimbangi dengan kemampuan jurnalistik dasar yang cukup.
Jangan tanya soal validitas, netralitas apalagi cover both side. Pemenuhan
5w+1h sebagai unsur pokok berita kadang defisit, kadang surplus. Harap maklum,
tak semua penulis bisa menulis dengan
baik. Saya salah satunya sih, tak bisa menulis dengan benar. Hhehe
Informasi dari sesama warganet yang begitu melimpah membuat kebutuhan
akan informasi menjadi semakin besar: harus tahu persis, segera, sedetil
mungkin. Akun lambe-lambe adalah contoh paling mudah untuk menunjukkan betapa
warganet sekarang sangat perlu detil kehidupan seseorang, yang kadang
sebenarnya bukan hak mereka. Apa daya, label tokoh publik dan ketersediaan
informasi yang memang melimpah ruah, membuat warganet merasa sah-sah saja untuk
ingin tahu.
Pertanyaannya adalah: bisa mengakses dan bisa mengetahui, apakah
berhak tahu? Apakah harus tahu sampai sedetil itu? Perilaku warganet saat ini
yang sampai pada tahap ‘harus disajikan kronologi dengan gamblang dan detil
agar dapat meyakinkan pembaca’ ini adalah buah dari proses yang saya sebut di
atas. Jangan-jangan, kita memang sudah seharusnya sampai di tahap keterbukaan informasi
yang sangat ekstrim. Bahkan mungkin, perlu ada evaluasi batas antara ruang
privat dan publik.
BalasHapus* KUNJUNGI SITUS KAMI DI *
WWW.ID303.INFO
MENANG BERAPAPUN, PASTI KAMI BAYAR !!! *
* Melayani LiveChat 7 x 24 Jam Nonstop :
- WA : 08125522303
- BBM : CSID303
Situs Judi Sabung Ayam S128
Sbobet Agen
www.ayampanggang.vip