Selasa, 26 Desember 2017

Sebuah Catatan tentang Literasi


Halo manusia, jumpa lagi dengan tulisan saya. Kali ini saya akan menggunakan gaya yang agak santai. Mari berdialektika.

Literasi, sebuah kata yang akhir-akhir ini mengusik pikiran saya. Saya selalu berasumsi bahwa literasi adalah sesuatu yang berhubungan dengan kemampuan membaca. Pada titik tertentu, kemampuan membaca ini berkembang menjadi kemampuan memahami konteks. Ditambah dengan pengalaman bersentuhan dengan kampanye literasi, saya semacam ‘semakin dibuka matanya’ tentang literasi itu sendiri. Bahwa literasi pada akhirnya berkaitan dengan akses bacaan, terutama bacaan berkualitas.

Nah, berhubung sekarang saya hendak menggunakan topik literasi ini sebagai bahan tulisan, maka saya memilih untuk menggunakan referensi yang lebih valid tentang hal ini. KBBI V menjabarkan literasi dalam 2 pengertian. Pengertian pertama literasi dimaknai dalam dua hal: literasi sebagai kemampuan menulis dan membaca; serta pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu. Contoh pengetahuan atau keterampilan ini misalnya ‘Literasi Informasi’ yang bermakna keterampilan melakukan riset dan menganalisis informasi untuk dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan. Selanjutnya, mari kita bergeser ke pengertian literasi yang satu lagi. Pengertian kedua mengenai literasi menurut KBBI V adalah penggunaan huruf untuk merepresentasikan bunyi atau kata.

Well, bila kita menggabungkan kedua pengertian itu menjadi satu, rasanya masih masuk akal. Bahwa literasi adalah kemampuan seseorang menggunakan huruf untuk membuat kata. Jadi kalau masih suka typo, bisa jadi kemampuan literasi kita kurang sih, eh. Gue sering soalnya, padahal mata juga sering kelilipan kalau liat orang lain typo apalagi salah menggunakan kaidah bahasa. Ini kok jadi curhat. Nah, kemampuan literasi ini gak sebatas kita bisa mengeja kata dengan benar, tapi bagaimana kita menggunakan kata-kata yang tepat untuk membuat sebuah kalimat. Kalimat yang tentu saja mudah dipahami oleh orang lain. Berlaku pula sebaliknya bahwa literasi adalah kemampuan kita memahami teks orang lain secara tepat. Bahkan kemampuan literasi tidak  sekedar sampai di titik memahami. Di tingkat literasi informasi, pemahaman teks tersebut dicapai dengan kaidah-kaidah ilmiah dan dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan.

Maka klaim kemampuan literasi menuntut pengklaimnya lebih dari sekedar mampu membaca aksara. Tetapi juga menuntut penggunaan kaidah ilmiah dalam proses memutuskan sesuatu. Adakah keputusan tersebut telah diambil berdasarkan data-data valid? Atau yang sedang ngehits; adakah komentar-komentar kita sudah sesuai konteks dan data yang digunakan sebagai pijakan telah dipastikan valid?

Beranjak dari pengertian bahwa kemampuan literasi adalah kemampuan memahami informasi,maka kemampuan literasi akan membuat kita mampu untuk ‘membaca’ sabda lingkungan.  Informasi-informasi di lingkungan baik alami ataupun buatan bertebaran dimana-mana. Ada mendung yang berarti sebentar lagi hujan, ada sore berarti sebentar lagi malam, ada tingkah anomali binatang gunung yang tiba-tiba turun gunung serentak tanda akan ada erupsi, dan lain sebagainya. Ada senyum lebar tanda bahagia, ada senyum simpul tanda malu-malu. Ada juga alat petunjuk isyarat lalu lintas warna merah yang artinya berhenti, ada rambu-rambu huruf P dicoret yang berarti dilarang parkir. Kalau lampu APILL berwarna hijau menyala dan anda diam saja, kemudian kendaraan belakang membunyikan klakson berkali-kali, nyaman gak? Pantaskah jika anda mengomel karena beranggapan bahwa kendaraan belakang tidak sabar?

Saya sungguh tertawa ketika sebuah institusi menolak kriminalisasi perilaku tertentu, lantas ada yang dengan begitu menggebu-gebu menyimpulkan bahwa institusi tersebut melegalkan perilaku tersebut. Kriminalisasi adalah proses yang memperlihatkan perilaku manusia yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat (KBBI V). Pidana itu sendiri bermakna kejahatan (tentang pembunuhan, perampokan, korupsi dan sebagainya). Kalau melegalkan ya membuat jadi legal, gak usah pake KBBI juga orang paham. Sedang legal berarti sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau hukum.

Apakah melegalkan sama dengan mengijinkan apalagi mewajibkan? Pernikahan adalah hal yang legal di negara kita menurut perundang-undangan yang berlaku. Apakah itu berarti semua orang wajib menikah dan yang tidak menikah berarti melakukan tindakan kriminal? Seriously, kita punya masalah dalam memahami sesuatu.

Kita mendadak setiap akhir tahun kesulitan membedakan antara mengucapkan dengan menjadi sesuatu. Beberapa orang ketakutan setengah mati, merasa bahwa mengucapkan selamat berarti serta merta menjadi bagian dari kelompok tertentu yang diberi ucapan selamat. Apakah orang-orang yang mengucapkan selamat atas kemerdekaan Indonesia dulu serta merta menjadi warga negara Indonesia? Apakah ketika saya sebagai fans Juve mengucapkan selamat atas kemenangan Inter atas Juve sekian tahun yang lalu, berarti otomatis saya mengkhianati kecintaan saya pada Juve? Apakah itu berarti saya menganggap Inter Milan adalah klub yang lebih baik dari Juve sehingga lebih layak didukung? Apakah dengan memberi ucapan selamat, itu berarti saya telah berhenti menjadi fans Juve dan beralih ke Inter Milan?

Bahkan ketika mengucapkan selamat atas pernikahan seorang teman, apakah kita juga otomatis serta sekaligus menyepakati sejarah kelahirannya, siapa orang tuanya, bagaimana ia dibesarkan dan sebagainya?

Saya tidak sedang memaksa anda untuk sepakat dengan pemikiran dan sudut pandang saya. Tapi saya benar-benar menyarankan agar kita semua memahami baik-baik makna dari setiap teks dan konteks yang kita baca. Jangan biarkan ketakutan-ketakutan tak beralasan membuat anda gegabah mengambil kesimpulan bahkan menghukumi sesuatu, apalagi mengeluarkan fatwa. Pun jika anda masih ragu-ragu, anda berhak berhati-hati. Tapi jangan ikut menyebarkan hal-hal yang tidak anda pahami dengan baik.



Tabik,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar