Halo manusia, jumpa lagi dengan tulisan saya. Kali ini saya akan
menggunakan gaya yang agak santai. Mari berdialektika.
Literasi, sebuah kata yang akhir-akhir ini mengusik pikiran
saya. Saya selalu berasumsi bahwa literasi adalah sesuatu yang berhubungan
dengan kemampuan membaca. Pada titik tertentu, kemampuan membaca ini berkembang
menjadi kemampuan memahami konteks. Ditambah dengan pengalaman bersentuhan
dengan kampanye literasi, saya semacam ‘semakin dibuka matanya’ tentang
literasi itu sendiri. Bahwa literasi pada akhirnya berkaitan dengan akses
bacaan, terutama bacaan berkualitas.
Nah, berhubung sekarang saya hendak menggunakan topik literasi
ini sebagai bahan tulisan, maka saya memilih untuk menggunakan referensi yang
lebih valid tentang hal ini. KBBI V menjabarkan literasi dalam 2 pengertian.
Pengertian pertama literasi dimaknai dalam dua hal: literasi sebagai kemampuan menulis
dan membaca; serta pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas
tertentu. Contoh pengetahuan atau keterampilan ini misalnya ‘Literasi Informasi’
yang bermakna keterampilan melakukan riset dan menganalisis informasi untuk
dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan. Selanjutnya, mari kita bergeser ke
pengertian literasi yang satu lagi. Pengertian kedua mengenai literasi menurut
KBBI V adalah penggunaan huruf untuk merepresentasikan bunyi atau kata.
Well, bila kita menggabungkan kedua pengertian itu menjadi
satu, rasanya masih masuk akal. Bahwa literasi adalah kemampuan seseorang
menggunakan huruf untuk membuat kata. Jadi kalau masih suka typo, bisa jadi
kemampuan literasi kita kurang sih, eh. Gue sering soalnya, padahal mata juga
sering kelilipan kalau liat orang lain typo apalagi salah menggunakan kaidah
bahasa. Ini kok jadi curhat. Nah, kemampuan literasi ini gak sebatas kita bisa mengeja
kata dengan benar, tapi bagaimana kita menggunakan kata-kata yang tepat untuk
membuat sebuah kalimat. Kalimat yang tentu saja mudah dipahami oleh orang lain.
Berlaku pula sebaliknya bahwa literasi adalah kemampuan kita memahami teks
orang lain secara tepat. Bahkan kemampuan literasi tidak sekedar sampai di titik memahami. Di tingkat
literasi informasi, pemahaman teks tersebut dicapai dengan kaidah-kaidah ilmiah
dan dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan.
Maka klaim kemampuan literasi menuntut pengklaimnya lebih
dari sekedar mampu membaca aksara. Tetapi juga menuntut penggunaan kaidah
ilmiah dalam proses memutuskan sesuatu. Adakah keputusan tersebut telah diambil
berdasarkan data-data valid? Atau yang sedang ngehits; adakah komentar-komentar
kita sudah sesuai konteks dan data yang digunakan sebagai pijakan telah
dipastikan valid?
Beranjak dari pengertian bahwa kemampuan literasi adalah
kemampuan memahami informasi,maka kemampuan literasi akan membuat kita mampu
untuk ‘membaca’ sabda lingkungan. Informasi-informasi
di lingkungan baik alami ataupun buatan bertebaran dimana-mana. Ada mendung
yang berarti sebentar lagi hujan, ada sore berarti sebentar lagi malam, ada
tingkah anomali binatang gunung yang tiba-tiba turun gunung serentak tanda akan
ada erupsi, dan lain sebagainya. Ada senyum lebar tanda bahagia, ada senyum
simpul tanda malu-malu. Ada juga alat petunjuk isyarat lalu lintas warna merah
yang artinya berhenti, ada rambu-rambu huruf P dicoret yang berarti dilarang parkir.
Kalau lampu APILL berwarna hijau menyala dan anda diam saja, kemudian kendaraan
belakang membunyikan klakson berkali-kali, nyaman gak? Pantaskah jika anda
mengomel karena beranggapan bahwa kendaraan belakang tidak sabar?
Saya sungguh tertawa ketika sebuah institusi menolak
kriminalisasi perilaku tertentu, lantas ada yang dengan begitu menggebu-gebu
menyimpulkan bahwa institusi tersebut melegalkan perilaku tersebut. Kriminalisasi
adalah proses yang memperlihatkan perilaku manusia yang semula tidak dianggap
sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana
oleh masyarakat (KBBI V). Pidana itu sendiri bermakna kejahatan (tentang
pembunuhan, perampokan, korupsi dan sebagainya). Kalau melegalkan ya membuat
jadi legal, gak usah pake KBBI juga orang paham. Sedang legal berarti sesuai
dengan peraturan perundang-undangan atau hukum.
Apakah melegalkan sama dengan mengijinkan apalagi
mewajibkan? Pernikahan adalah hal yang legal di negara kita menurut
perundang-undangan yang berlaku. Apakah itu berarti semua orang wajib menikah
dan yang tidak menikah berarti melakukan tindakan kriminal? Seriously, kita
punya masalah dalam memahami sesuatu.
Kita mendadak setiap akhir tahun kesulitan membedakan antara
mengucapkan dengan menjadi sesuatu. Beberapa orang ketakutan setengah mati,
merasa bahwa mengucapkan selamat berarti serta merta menjadi bagian dari
kelompok tertentu yang diberi ucapan selamat. Apakah orang-orang yang mengucapkan
selamat atas kemerdekaan Indonesia dulu serta merta menjadi warga negara
Indonesia? Apakah ketika saya sebagai fans Juve mengucapkan selamat atas
kemenangan Inter atas Juve sekian tahun yang lalu, berarti otomatis saya mengkhianati
kecintaan saya pada Juve? Apakah itu berarti saya menganggap Inter Milan adalah
klub yang lebih baik dari Juve sehingga lebih layak didukung? Apakah dengan
memberi ucapan selamat, itu berarti saya telah berhenti menjadi fans Juve dan
beralih ke Inter Milan?
Bahkan ketika mengucapkan selamat atas pernikahan seorang
teman, apakah kita juga otomatis serta sekaligus menyepakati sejarah
kelahirannya, siapa orang tuanya, bagaimana ia dibesarkan dan sebagainya?
Saya tidak sedang memaksa anda untuk sepakat dengan pemikiran
dan sudut pandang saya. Tapi saya benar-benar menyarankan agar kita semua
memahami baik-baik makna dari setiap teks dan konteks yang kita baca. Jangan
biarkan ketakutan-ketakutan tak beralasan membuat anda gegabah mengambil
kesimpulan bahkan menghukumi sesuatu, apalagi mengeluarkan fatwa. Pun jika anda
masih ragu-ragu, anda berhak berhati-hati. Tapi jangan ikut menyebarkan hal-hal
yang tidak anda pahami dengan baik.
Tabik,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar