Minggu, 27 Januari 2013

Ngomyang


Akhir pekan ini, saya menghabiskan 1/3 malam yang awal di malioboro. Setelah parkir di Pelataran Benteng Vredenburg, saya dan dua orang kawan mulai berjalan ke arah utara. Kenapa parkir di Benteng? Karena kami berniat kembali ke arah parkiran dengan TransJogja (semacam Bus TransJakarta, Kendaraan umum yang hanya berhenti antar shelter), kebetulan (atau memang disengaja, memenuhi kebutuhan pasar), ada dua shelter TransJogja di sepanjang Malioboro. Satu shelter di depan Hotel Inna Garuda, bisa dianggap sebagai Ujung Utara Jalan Malioboro, satu lagi di depan bentang Vredenburg, tempat kami parkir tadi, yang hanya berjarak beberapa meter dari kawasan Nol Kilometer.
“Saya sendiri berkesimpulan, bahwa dua shelter tersebut memang disengajakan mengapit Malioboro, sebuah tata kelola yang cukup komprehensif, dimana pusat parkir di selatan, dengan arus kendaraan ke selatan, maka perlu kendaraan umum yang mengangkut pengunjung dari utara ke selatan. Darr, itulah TransJogja!”

Oke, kembali ke topik akhir pekan ini, malam itu saya berniat mau nonton musik angklung malioboro. Pernah saya menghitung sebelumnya, kira-kira ada 3 grup musik yang ada di sana. Semuanya terletak di bahu jalan sebelah barat. Nah, untuk itu, kami menyeberang dari tempat parkir yang notabene berada di sisi timur jalan, ke arah Mirota Batik yang berada di barat jalan. Kami lantas mulai berjalan kaki menyusuri kios demi kios di kanan-kiri lorong pertokoan Malioboro.
Saat itu cukup lengang, padahal malam minggu, entah kenapa. Setelah beberapa saat berjalan, dengan diselingi window shopping di salah satu toko sepatu, serta mengincar banyak, eh salah satu dari koleksinya, kami bertemu Grup Musik pertama.
Grup Musik ini terdiri atas 7 orang, 6 pemain musik yaitu 2 pemain drum, 1 pemain kulintang, 1 pemain kenong, 1 pemukul piringan, dan 1 lagi krincingan, serta 1 penari, yang tergabung dalam grup Angklung Malioboro “Klarista”. Goyangannya cukup aneh bagi saya, ketika tau-tau ada barongsai mini, padahal musiknya musik selow gitu! Mereka memainkan beberapa lagu, sebelum akhirnya kami beranjak dari tempat itu.
Beberapa jauh lamanya kami berjalan, hingga kami kehausan, tak kunjung juga menemui Grup Musik lagi. Dengan menyesal, saya berjalan agak gontai (ini lebay, please). Karena tadi melewatkan sebuah gerobak Teh Instan merek yang biasa saya temui di beranda supermarket-supermarket. Untungnya, tak berapa lama kemudian, kami mendengar sayup-sayup suara angklung. Nah, akhirnya tiba juga kami di Grup kedua!
Berbeda jauh dari Grup pertama yang begitu kami jalan, langsung ‘ketemu’, grup ini ‘akhirnya’ kami ketemukan juga, setelah hampir putus asa kehausan (ini lebay lagi). Mana ramai pulak, tapi sebanding kok, dengan perjuangan kami tadi. Dari jauh saja, sayup-sayup suaranya sudah terdengar begitu enak didengar. Dan ketika akhirnya kami bisa melihat langsung, UUWWWOOOW!, Rame betul benar-benar sebanding dengan pesonanya. Pertama, yang maen musik emang ganteng (ini kami bahas pada saat jalan kaki balik ke Benteng; lupa dengan niat mau balik pake TransJogja, 
"entah lah, mungkin karena kami terlalu bahagia melihat cowok cakep main musik secara real di depan hidung kami), ganteng dari segala jenis kriteria kegantengan. Yang doyan abang kumis, adaaa, yang doyan cowok rada chinesse, adaaa, yang hitam manis muka imut? Ada juga! Yang model metropolis? Adaaa :D"
Kedua, musiknya benar-benar kompak, suara yang nyanyi juga cukup oke. Dan mereka berseragam kaus hitam bertuliskan ‘Satria Jogja’. Kesannya, mereka bukan sekedar pemusik jalanan gitu. Mendengar mereka bermain, saya jadi inget grup musik jebolan Indonesia Mencari Bakat jilid I, duh lupa namanya! Klantink!
Nah, setelah puas memanjakan mata dan telinga, YKWIM lah ya, kita jalan lagi ke arah utara, berharap ketemu lagi sama grup musik lain. Sayang, kami tak menemui sayup-sayup suara lagi. Tapi kami akhirnya menemukan minuman dingin! FresTea agak dingin seharga lima ribu rupiah per botol lumayan lah.
Kelar urusan dahaga, kami meutuskan untuk berbalik, kami menyeberang jalan. Melewati beberapa orang yang kurasa kukenal, tapi lupa nama mereka, yang jelas salah satu dari mereka ada yang kukenali sebagai anak pramuka, kurus, tinggi pake kacamata, giginya (maaf) agak tonggos, dan yang semakin membuatku yakin adalah, dia pakai tas pinggang Latgab Ngalam!
Tak terasa, kami hampir tiba di tempat kami memarkir kendaraan, sebelum akhirnya Christida mengajak kami untuk menengok Nol Kilometer. Entah kedamber apa gitu dia, tapi nyatanya, ide itu kuanggap ide paling brilian di malam itu, karena dengan demikian, saya jadi nonton Lomba Traditional Dance Competition!

Lomba Tari Tradisional itu,...
Bertolak belakang dengan kondisi jalan malioboro malam itu, yang semakin ke utara semakin sepi, kecuali di titik-titik tertentu, dimana massa berdiri terdiam terperangah menonton suara musik yang disuguhkan pada mereka. Jalanan dari Benteng menuju titik Nol sangat padat, dan ternyata sodara-sodara, di sana, pelataran monumen Serangan Umum 1 Maret untuk lebih tepatnya, sedang berlangsung suatu acara pagelaran tari, tadinya kupikir begitu. Yang ternyata sebuah perlombaan Tari Tradisional dari sebuah Perguruan Tinggi setengah negeri di Yogyakarta.
Kami mendapatkan spot yang cukup bikin marmos, sejujurnya, karna pandangan kami terhalangi oleh sebuah pot bunga raksasa, dengan pohonnya yang cukup besar juga. Tapi setidaknya, kami masih bisa melihat kekenesan mbak-mbak pembawa jamu gendong, yang saat itu sedang berlenggak-lenggok di tengah pelataran. Yap, mereka adalah para penari yang sedang berperan sebagai penjual jamu gendong. Meskipun kami gak paham jalan ceritanya, entah ada sinopsis atau tidak di awal, karena kami datang terlambat, kami disuguhi ending yang cukup unik. Ada semacam interaksi, lengkap dengan dialog hidup, antara penari dengan penonton via penawaran jamu gendong yang mereka bawa. Sungguh, ide yang sangat keren, lantas membuatku berpikir bahwa tarian ini keren!
Tarian keda yang kami tonton adalah tarian modifikasi dari kalimantan, entah kalimantan mana, yang jelas tariannya kayak tarinya orang dayak. Menurut kami agak aneh, ganjil, plus penari depan yang kurang kompak. Tapi toh, ternyata Juri menghadiahi mereka dengan gelar juara III.
Nah, penampilan ketiga yang kami lihat, sekaligus penari terakhir di malam itu, adalah tarian dari perguruan tinggi swasta di bilangan gejayan. Tariannya berkisah tentang seorang perempuan yang hobi bersolek, dimana dia merasa bahwa dia laha permpuan tercantik dan terseksi di antara perempuan yang ada. Tariannya cukup inovatif, dengan inovasi permainan siluet yang dihasilkan oleh lampu di belakang partisi yang ditaruh di belakang mereka.mdan cara muncul yang agak absurd, menurutku, yaitu dengan merobek kain partisi dan muncul dari sobekan kain itu. Entah maksudnya apa.
Siapa kah juaranya? Dan ternyata, Tarian Jamu Gendong lah juaranya!
Wow, rasa sesal di dalam hati saya (tiba-tiba) berkurang drastis. Setidaknya Juara I dan III kami lihat tariannya, berarti yang lain biasa aja :D

Tentang Ngomyang,...
Ah ya, saya belum menjelaskan tentang mana kata yang saya jadikan Judul. Ngomyang. Menurut Mbak Alissa Wahid, “Ngomyang artinya ngomong gak jelas, Nggruthu, kalo orang jatim”. Bagi saya sih, itu semacam ngomong sendiri, yah, semacam menggerutu, ngomel dengan suara pelan, sekedar untuk melepas uneg-uneg, tapi memang hanya untuk didengar sendiri, makanya biasanya suaranya pelan.
Dan yah, saya seringkali melakukan hal tersebut, nggrundel, kalo pake istilah saya. Yaitu tadi, Ngomyang, ngomel pelan, semacam gerutu. Kalo menurut Ibu saya, saya tuh aneh, suka ngomong sendiri, terus ketawa-ketiwi, atau senyum-senyum, atau tiba-tiba judes sendiri,...
Seperti malam ini, saya menulis notes ini sambil senyum-senyum, kadang sambil menyebutkan kata-kata yang kalo disuruh nginget tadi ngomong apa, saya sudah lupa. Ya pokoknya gitu lah. Intinya Ngomyang. Nggrundel. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar