Jumat, 24 Juli 2015

Taklif

Ganda berdecak. Sebuah carrier 70 liter, daypack 35 liter berlogo Ekspedisi, sebuah drypack 50 liter serta sebuah slingback telah berjajar rapi. Telepon genggamnya bergetar, sebuah pesan pendek masuk. Nomor baru.
“Ibu tulus uih ayiena?”[1]
“Nyah, Ulah ceurik nyah...”[2]
“Moal Bu, mun kangen bae Parid mah... Ibu engke kadie deui doang Pak Agung jeung Pak Bagus lin?[3]
Ternyata dari Parid, anak multitalenta yang baru saja lulus sekolah dasar.
“Insya Allah...”
Setahun sudah perjalanan Ganda. Kali ini bermetamorfosis menjadi guru. Berjibaku, mencoba berbagi kisah-kisah perjalanannya. Bergulat dengan keterbatasan, mencoba melengkungkan sedikit bibir membentuk senyum, senyum kepercayaan bahwa dengan belajar, kesempatan semakin terbuka. Setahun yang penuh dengan cerita.
Rasanya baru kemarin, Ia datang dan berjabat tangan dengan pendahulunya. Melepas mereka untuk purna tugas, sambil mereka-reka; bagaimana melewati satu tahun ambisius penuh penanda kemajuan. Ia bukan tipikal perempuan tulen yang merebut hati anak-anak dan ibu-ibu dengan kelembutan. Tapi toh Ia hanya sekedar ‘terduga laki-laki’ –meminjam istilah Sudjiwotedjo untuk manusia yang menganggap dirinya laki-laki, tapi tak mendapati barang bukti di balik sarungnya- yang tidak cukup macho untuk bergulat bersama pemuda dan bapak-bapak di kompetisi sepakbola. Ia, Ganda, hanya seorang laki-laki yang berbungkus raga perempuan.
Sampai Ia memutuskan untuk lepas. Mengalir dalam alunan bertajuk takdir. Sisi maskulin dalam dirinya menolak menjadi lemah. Dan feminitas dalam raganya menunjukkan jatidirinya. Ia harus bertahan hidup. Perjalanan setahun tiba-tiba terasa seperti sekelebat bayangan. Adu sengit strategi tim di kompetisi bola, saling sahut dengan anak-anak di perayaan kemerdekaan, mengompori rekan guru untuk membuat kemah kecamatan, mencicipi kuliner di setiap rumah murid dengan alibi kunjungan wali murid, bermalam bersama anak-anak dari satu lombake lomba lain. Bersenda gurau di antara pelajaran tambahan, suara yang meninggi dipicu perkelahian antar murid, bergosip di antara sharing dengan rekan guru. Sungguh perjalanan melawan batas diri.
Rasanya tetap seolah belum melakukan apapun, rasanya masih banyak yang harus digarap, rasanya ah... rasanya sulit membayangkan orang lain mampu meneruskan perjalanan ini. Tapi ganda harus bergegas. Waktunya telah habis, saatnya beranjak. Bukan berbalik, pergi dan tak pernah kembali. Bukan lari dan acuh. Ini tentang mereka, bukan lagi tentangnya. Setiap orang punya masa, setiap masa punya orang.
 
Gambar diambil dari Album Facebook Kreshna Aditya yang berjudul Pasar Bahasa


P.S: Tulisan ini terinspirasi dari Pasar Bahasa Kreshna Aditya


[1] Ibu jadi pulang sekarang? Bahasa Sunda Banten
[2] Iya, jangan nangis ya...
[3] Tidak akan, Parid takut kangen. Ibu nanti datang ke sini lagi seperti Pak Agung dan Pak Bagus kan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar