Ganda berdecak. Sebuah carrier 70 liter, daypack 35 liter berlogo Ekspedisi, sebuah drypack 50 liter serta sebuah slingback
telah berjajar rapi. Telepon genggamnya bergetar, sebuah pesan pendek masuk.
Nomor baru.
“Ibu tulus uih ayiena?”[1]
“Nyah, Ulah ceurik nyah...”[2]
“Moal Bu, mun kangen bae Parid mah... Ibu engke kadie deui doang Pak
Agung jeung Pak Bagus lin?[3]
Ternyata dari Parid, anak
multitalenta yang baru saja lulus sekolah dasar.
“Insya Allah...”
Setahun sudah perjalanan Ganda.
Kali ini bermetamorfosis menjadi guru. Berjibaku, mencoba berbagi kisah-kisah
perjalanannya. Bergulat dengan keterbatasan, mencoba melengkungkan sedikit
bibir membentuk senyum, senyum kepercayaan bahwa dengan belajar, kesempatan
semakin terbuka. Setahun yang penuh dengan cerita.
Rasanya baru kemarin, Ia datang
dan berjabat tangan dengan pendahulunya. Melepas mereka untuk purna tugas,
sambil mereka-reka; bagaimana melewati satu tahun ambisius penuh penanda
kemajuan. Ia bukan tipikal perempuan tulen yang merebut hati anak-anak dan
ibu-ibu dengan kelembutan. Tapi toh Ia hanya sekedar ‘terduga laki-laki’
–meminjam istilah Sudjiwotedjo untuk manusia yang menganggap dirinya laki-laki,
tapi tak mendapati barang bukti di balik sarungnya- yang tidak cukup macho
untuk bergulat bersama pemuda dan bapak-bapak di kompetisi sepakbola. Ia,
Ganda, hanya seorang laki-laki yang berbungkus raga perempuan.
Sampai Ia memutuskan untuk lepas.
Mengalir dalam alunan bertajuk takdir. Sisi maskulin dalam dirinya menolak menjadi
lemah. Dan feminitas dalam raganya menunjukkan jatidirinya. Ia harus bertahan
hidup. Perjalanan setahun tiba-tiba terasa seperti sekelebat bayangan. Adu
sengit strategi tim di kompetisi bola, saling sahut dengan anak-anak di
perayaan kemerdekaan, mengompori rekan guru untuk membuat kemah kecamatan,
mencicipi kuliner di setiap rumah murid dengan alibi kunjungan wali murid,
bermalam bersama anak-anak dari satu lombake lomba lain. Bersenda gurau di
antara pelajaran tambahan, suara yang meninggi dipicu perkelahian antar murid,
bergosip di antara sharing dengan rekan guru. Sungguh perjalanan melawan batas
diri.
Rasanya tetap seolah belum
melakukan apapun, rasanya masih banyak yang harus digarap, rasanya ah...
rasanya sulit membayangkan orang lain mampu meneruskan perjalanan ini. Tapi
ganda harus bergegas. Waktunya telah habis, saatnya beranjak. Bukan berbalik,
pergi dan tak pernah kembali. Bukan lari dan acuh. Ini tentang mereka, bukan
lagi tentangnya. Setiap orang punya masa, setiap masa punya orang.
P.S: Tulisan ini terinspirasi dari Pasar Bahasa Kreshna Aditya
[1] Ibu jadi
pulang sekarang? Bahasa Sunda Banten
[2] Iya,
jangan nangis ya...
[3] Tidak
akan, Parid takut kangen. Ibu nanti datang ke sini lagi seperti Pak Agung dan
Pak Bagus kan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar