Minggu, 06 Agustus 2017

Pulang

“… Kabupaten Lebak, Banten!”
.
.
Begitu bunyi sumber suara saat pengumuman tempat penugasan. Entah kenapa ada rasa hangat yang muncul di dada. Meski kurasakan pandangan mata tajam dari sekeliling. Entah apa yang tak pada tempatnya.
Rasanya ingin memejam, tatapan-tapan itu terasa mengiris. Ada apa?
Akhir pekan selanjutnya, kugulir kontak di telepon genggam, kupijit nomor itu: Ibu
“Mong, aku dapet di Lebak,hhehe”
“Baguslah, Ibu udah sholat hajat biar kamu ditempatin di Jawa aja. Udah cukup jalan-jalannya. Sekarang waktunya nerusin perjuangan Bani Mangkoedilaga di Rangkas”
“Ya kalik kerjaan aku di Rangkas doang, di desa Mong….” Kataku sambil tertawa.

Ya, Kakek buyutku adalah seorang Mangkoedilaga.Beliau berugas sebagai Hakim di Rangkas untuk kurun waktu yang cukup lama. Malam itu aku mendapatbanyakhal tentang kampung halaman yang tak pernah kutahu sebelumnya. Tanah dimana leluhurku memperjuangkan keadilan. Rasanya aku paham, kenapa aku selalu terusik dengan kata kebenaran, eadilan dan segala sesuatu yang rasanya tak sesuai dengan ‘yang seharusnya’. Bahkan, salah seorang Kakek Mangkoedilaga-ku sempat menjad hakim agung di negeri tercinta. Sedang adik nomor 8-ku, Ia bercita-cita menjadi hakim juga. Tujuannya? Mengadilii para pengemplang pajak :D.

Aku selalu terkenang sesi pembagian tempat tugas. Banyak nano-nano yang tak mungkin terlupa. Bukan kenapa-kenapa, saat nama daerah lain seperti Kapuas Hulu, Fak-fak maupun Rote diteriakkan, taka da yang menarik. Entah kenapa, Lebak sepert menyimpan suatu misteri tersendiri untukku. Baru setelah bertemu dengan Ibu di percakapan telepon, aku tahu bahwa Lebak lebih dari sekedar tempat tugas. Lebak adalah tempat aku akan belajar darimana aku berasal. Tempat aku mengenal asal-usul Kakek, Ibu dan tentu aku sendiri. Lebak adalah tempat kembali.
Ingatanku kembali ke pertengahan tahun 2013, selepas sidang Skripsi yang akhirnya terselenggara jua. 

Ah,aku tak malu mengakui bahwa di kala itu, aku adalah mahasiswa tua, tenggelam dalam kegiatan kemahasiswaan dan beragam jenis aktivitas yang juga menghasilkan rupiah; membuatku sejenak lupa tujuan utama memutuskan jadi mahasiswa: lulus. Hingga kini aku pun tak pernah menyesal. Di kemudian hari, tepatnya di tanah Lebak, aku amat bersyukur pernah memiliki berbagai pengalaman. Seolah seluruh pengalamanku adalah perjalanan menemukan jati diri, bekal untukku survive di masa pengabdian.
Malam itu, baru saja aku tiba di rumah, masih dengan pakaian formal hitam-putih berblazer, Ibuku berdiri di ambang pintu:
“Sana daftar IM, katanya mau ngajar. Cukup sudah main-main dan jalan-jalan ke mana-mana. Balas budi kamu,… ”

Aku tertawa,
menertawakan diriku sendiri yang nyaris melupakan mimpi itu. Di semester kelima aku kuliah, saat pertama kalinya program mengajar tersebut diluncurkan, dengan amat gagah berani aku mendaftar.
“Lulus aja belom,mau ngajar…” begitu kata Ibuku sambil  lalu saat aku bercerita betapa hebohnya aku mendaftar program IM untuk pertama kalinya. Hasilnya? Tentu saja tidak lulus.
Maka mendaftarlah aku dengan sepenuh hati dan semangat yang menggelegak. Masih kuingat betul bahwa saat itu,aku berhasil mendapat nomor registrasi 00007 alias aku orang ketujuh yang melengkapi berkas pendaftaran. Mengingat berkas pendaftaran program tersebut sangat panjang dan kompleks. Banyak pertanyaan esai yang menguras pikiran dan ingatan, itu luar biasa.

Seperti sudah diduga, (serius, aku sangat yakin akan lolos) aku pun lolos seleksi dan voila, selamat Datang Lebak, Selamat Datang di Kampung Halaman (yang terlupakan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar