“… Kabupaten Lebak, Banten!”
.
.
Begitu bunyi sumber suara saat pengumuman tempat penugasan.
Entah kenapa ada rasa hangat yang muncul di dada. Meski kurasakan pandangan
mata tajam dari sekeliling. Entah apa yang tak pada tempatnya.
Rasanya ingin memejam, tatapan-tapan itu terasa mengiris.
Ada apa?
Akhir pekan selanjutnya, kugulir kontak di telepon genggam,
kupijit nomor itu: Ibu
“Mong, aku dapet di Lebak,hhehe”
“Baguslah, Ibu udah sholat hajat biar kamu ditempatin di
Jawa aja. Udah cukup jalan-jalannya. Sekarang waktunya nerusin perjuangan Bani
Mangkoedilaga di Rangkas”
“Ya kalik kerjaan aku di Rangkas doang, di desa Mong….”
Kataku sambil tertawa.
Ya, Kakek buyutku adalah seorang Mangkoedilaga.Beliau
berugas sebagai Hakim di Rangkas untuk kurun waktu yang cukup lama. Malam itu aku
mendapatbanyakhal tentang kampung halaman yang tak pernah kutahu sebelumnya.
Tanah dimana leluhurku memperjuangkan keadilan. Rasanya aku paham, kenapa aku
selalu terusik dengan kata kebenaran, eadilan dan segala sesuatu yang rasanya
tak sesuai dengan ‘yang seharusnya’. Bahkan, salah seorang Kakek
Mangkoedilaga-ku sempat menjad hakim agung di negeri tercinta. Sedang adik
nomor 8-ku, Ia bercita-cita menjadi hakim juga. Tujuannya? Mengadilii para
pengemplang pajak :D.
Aku selalu terkenang sesi pembagian tempat tugas. Banyak
nano-nano yang tak mungkin terlupa. Bukan kenapa-kenapa, saat nama daerah lain
seperti Kapuas Hulu, Fak-fak maupun Rote diteriakkan, taka da yang menarik.
Entah kenapa, Lebak sepert menyimpan suatu misteri tersendiri untukku. Baru
setelah bertemu dengan Ibu di percakapan telepon, aku tahu bahwa Lebak lebih
dari sekedar tempat tugas. Lebak adalah tempat aku akan belajar darimana aku
berasal. Tempat aku mengenal asal-usul Kakek, Ibu dan tentu aku sendiri. Lebak
adalah tempat kembali.
Ingatanku kembali ke pertengahan tahun 2013, selepas sidang
Skripsi yang akhirnya terselenggara jua.
Ah,aku tak malu mengakui bahwa di kala
itu, aku adalah mahasiswa tua, tenggelam dalam kegiatan kemahasiswaan dan
beragam jenis aktivitas yang juga menghasilkan rupiah; membuatku sejenak lupa
tujuan utama memutuskan jadi mahasiswa: lulus. Hingga kini aku pun tak pernah
menyesal. Di kemudian hari, tepatnya di tanah Lebak, aku amat bersyukur pernah
memiliki berbagai pengalaman. Seolah seluruh pengalamanku adalah perjalanan
menemukan jati diri, bekal untukku survive di masa pengabdian.
Malam itu, baru saja aku tiba di rumah, masih dengan pakaian
formal hitam-putih berblazer, Ibuku berdiri di ambang pintu:
“Sana daftar IM, katanya mau ngajar. Cukup sudah main-main
dan jalan-jalan ke mana-mana. Balas budi kamu,… ”
Aku tertawa,
menertawakan diriku sendiri yang nyaris melupakan mimpi itu. Di semester kelima aku kuliah, saat pertama kalinya program mengajar tersebut diluncurkan, dengan amat gagah berani aku mendaftar.
menertawakan diriku sendiri yang nyaris melupakan mimpi itu. Di semester kelima aku kuliah, saat pertama kalinya program mengajar tersebut diluncurkan, dengan amat gagah berani aku mendaftar.
“Lulus aja belom,mau ngajar…” begitu kata Ibuku sambil lalu saat aku bercerita betapa hebohnya aku
mendaftar program IM untuk pertama kalinya. Hasilnya? Tentu saja tidak lulus.
Maka mendaftarlah aku dengan sepenuh hati dan semangat yang
menggelegak. Masih kuingat betul bahwa saat itu,aku berhasil mendapat nomor
registrasi 00007 alias aku orang ketujuh yang melengkapi berkas pendaftaran. Mengingat
berkas pendaftaran program tersebut sangat panjang dan kompleks. Banyak
pertanyaan esai yang menguras pikiran dan ingatan, itu luar biasa.
Seperti sudah diduga, (serius, aku sangat yakin akan lolos)
aku pun lolos seleksi dan voila, selamat Datang Lebak, Selamat Datang di Kampung
Halaman (yang terlupakan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar