Minggu, 20 Desember 2009

d'Missing Diksar

well,,,
kembali lg,

sete;ah 2 tahun tertunda,
akhirnya bisa ikut diksarpram...
hohou...
hm

lg g mood crita niy

tunggu kisah selanjutnya!!!

Minggu, 06 Desember 2009

No Goro, No Bantuan!


Minggu pagi, 29 November 2009, saya ‘terusik’ dengan tulisan Priyantono Oemar di harian ini mengenai kebersamaan yang kembali terbangun dalam bencana. Maka saya pun terkenang masa-masa saat saya dan ke-39 kawan lain berada di Nagari Gadur, kec. Enam Lingkung, masih di Kabupaten Padang Pariaman. Di sana, kendala yang ditemui kurang lebih sama, dimana warga kurang responsif untuk aktif dalam kegiatan recovery pasca bencana. Bahkan, seorang anggota TAGANA DIY yang berada di sana bersama dengan tim dari pemprov DIY, yang notabene telah berpengalaman dalam menangani pemulihan pasca-bencana di tempat lain pun sempat mengeluh. « Gimana gak sakit ati, kita capek-capek ngrubuhin rumah, Eh, yang punya malah ngopi di lapau (warung kopi-red). Yang punya itu ! ». Dan tak hanya sang pemilik rumah, masalah yang umum ditemui adalah sulitnya memancing pemuda setempat untuk ikut berpartisipasi. Belum lagi ‘ketidak-pedulian’ satu warga terhadap warga yang lain, mereka lebih memilih membantu kerabat mereka yang berada di seberang nagari atau lebih ketimbang bekerjasama dengan tetangga untuk segera membersihkan puing-puing rumah dan membangun shelter / rumah tinggal sementara, setidaknya, itu yang tertangkap dalam catatan posko DERU UGM.

Ke-40 mahasiswa UGM ini berangkat ke Sumatera Barat sebagai relawan DERU (Disaster Early Response Unit), konversi dari Kuliah Kerja Nyata Program Pemberdayaan Masyarakat Peduli Bencana (KKN-PPM PB) sekaligus bentuk aksi tanggap bencana Universitas Gadjah Mada. Disana tim mendirikan posko DERU tahap 1 di Nagari Gadur selama 1 bulan. Tiba di Posko Induk di Korong Kampung Dalam pada dinihari tanggal 12 Oktober 2009 , tim mendapati keadaan yang secara umum jauh lebih baik dari ekspektasi awal. Pada ekspektasi awal, kami mengira akan diperbantukan mengevakuasi mayat, menyalurkan bantuan logistik versi tanggap darurat seperti tenda, selimut, terpal, sekaligus mendirikannya, dan lain sebagainya. Tapi ternyata, keadaan jauh lebih baik dari semua itu. Status Provinsi Sumatera Barat sebagai daerah percontohan tanggap Tsunami membuat sebagian besar warga tahu apa yang harus dilakukan ketika gempa terjadi. Maka, korban jiwa sangat sedikit bahkan nyaris nihil. Di Nagari Gadur, tercatat hanya ada 2 korban jiwa. Keberadaan Nagari gadur yang tak terlalu jauh dari jalan lintas kabupaten memungkinkan masuknya bantuan logistik dengan segera. Secara umum, proses recovery tahap evakuasi telah selesai, dan sedang dalam proses menuju proses rekonstruksi. Sebagian besar warga telah mendapat tenda, selimut, makanan kaleng, mie instan, kecuali korong Kapuh (dibaca : Kapuah- red) Maka kami sempat kelimpungan, ketika menyadari logistik yang kami bawa masih berupa logistik tahap evakuasi. Akhirnya, sebagian logistik itu ‘dilempar’ ke Nagari seberang, yang memang sangat membutuhkan bantuan tahap evakuasi.

Setelah bersosialisasi dengan warga sekitar, mengikuti saran dari Urang minang untuk melakukan pendekatan ke empat sektor, lapau (warung kopi, tempat kumpul bapak-bapak-red), kapau (tempat kumpul pemuda-red), surau (tempat kumpul para datuk-red), dan sungai (tempat kumpul ibu-ibu-red). Pagi itu juga, Tim DERU bersosialisasi sekaligus mengadakan audiensi dengan masyarakat setempat. Dari hasil sosialisasi, tim sepakat dibagi menjadi 2, untuk menyelenggarakan 2 dari 7 bidang program yan telah disiapkan oleh tim survey UGM. Kedua bidang itu adalah program psiko-sosial dan program rekonstruksi, setelah sebelumnya melaksanakan program administrasi publik berupa pendataan kerusakan rumah serta infrastruktur publik. Dalam rangka rehabilitasi infrastruktur publik, tim DERU UGM bekerjasama dengan posko pemprov DIY untuk memperbaiki tanggul yang hancur. Dari kerjasama inilah, pengalaman-pengalaman ‘tidak mengenakkan’ khususnya di bidang rekonstruksi, meluncur dari relawan DIY. Salah satunya seperti yang disebutkan diatas.

Di sisi lain, kendala yang sedikit lebih kompleks terjadi di Korong Kapuh, korong terjauh dari posko. Di sana, terjadi gap yang dipicu oleh pengelompokan suku yang mengacaukan distribusi tanggung jawab. Keadaan ini membuat warga enggan membantu warga lain yang berbeda suku. Belum lagi adanya kecemburuan sosial pada suku tertentu yang dianggap lebih ‘dekat’ dengan bantuan. Latar belakang kesukuan bisa serta merta jadi topik panas jika salah teknis dalam pembagian bantuan. Kendala ini membuat proses rekonstruksi stuck. Awalnya kami berniat ‘memberi contoh’ dengan turun langsung dalam proses Build and destroy. Lama kelamaan kami menjadi gerah melihat sikap acuh warga setempat. Puncaknya, salah seorang rekan mahasiswa mengganti akronim KKN yang semula Kuliah Kerja Nyata menjadi Kerja Kuli Nyata, yang lain menyebut Kerja Keras Nguli . Tenaga dan keahlian kami yang terbatas memaksa kami memutar otak untuk memberdayakan masyarakat setempat, sesuai tujuan program kami. Kami hanya mau membantu warga yang mau ikut serta dalam kegiatan. Teknik itu kami ambil dari hasil adaptasi proses pemulihan pasca bencana di Bantul, di mana masyarakat bekerja sama merobohkan dan membangun kembali rumah yang hancur akibat gempa secara bergiliran.

Metode ini cukup berhasil di awal kedatangan kami. Hingga tiba-tiba, tak sampai dari 1 Minggu sejak kedatangan kami, sebuah harian lokal menurunkan headline “No BRR, No Jogja”. Inti dari artikel itu adalah masyarakat Sumatera Barat menolak sistem recovery yang dibuat pemerintah untuk proses pemulihan pasca Tsunami di Aceh, maupun penyempurnaannya di Jogja pada Gempa Bantul untuk diterapkan di Sumatera Barat. Berita itu membuat kami jadi lebih berhati-hati, mengingat konon urang Minang tak suka diajari, maka tim berusaha berusaha untuk tidak menggurui. Dan solusi pun datang, Pemkab Sleman datang memberi bantuan seperangkat alat-alat tukang beserta bahan bangunan untuk membangun Rumah Tinggal Sementara Semi Permanen (RTS SP), lengkap dengan panduan membuat rumah tahan gempa. Dari situ, kami langsung mensosialisasikan bantuan itu, kami mengadakan sosialisasi rumah tahan gempa, dan menyalurkan bantuan dari Pemkab Sleman dengan syarat, warga yang akan menerima bantuan bahan bangunan harus sudah membangun rangka rumah, dan alat-alat tukang di bagi per 5 rumah yang berdekatan, dan harus digunakan bergiliran, dengan tenggat waktu tertentu. Jika tenggat waktu tidak terpenuhi, alat akan ditarik kembali untuk di-rolling ke kelompok lain. Teknik ini berjalan cukup sukses, karena secara tidak langsung kami ‘memaksa’ warga untuk pro aktif membangun rumah tinggal sementaranya, dan ‘memaksa’ warga untuk saling bekerja sama.

Hasilnya, dalam jangka waktu 1 bulan, dengan tenaga terbatas, Posko DERU berhasil mendirikan 64 unit shelter dengan konsep RTS SP (60 unit hasil kerja sama dengan Pemkab Sleman, 4 unit Shelter Mandiri).

Dampak Psikologis

Bencana Alam berupa Gempa berkekuatan 7,8 SR yang mengguncang Sumatera Barat dan sekitarnya pada 30 September 2009 lalu merupakan suatu peristiwa sosial yang berpotensi menimbulkan korban jiwa maupun harta benda disamping trauma dan depresi pada Individu dan Massal. Keadaan ini harus segera diatasi agar proses rehabilitasi dan rekonstruksi dapat berlangsung lebih cepat. Sebab, gempa bumi merupakan suatu peristiwa traumatis bagi korban yang mengalaminya, khususnya anak-anak. Pengalaman bencana secara langsung telah menempatkan anak-anak dalam situasi ketidakberdayaan dan ketakutan yang mendalam. Dalam situasi tersebut anak-anak juga rentan mengalami Post-traumatic stress disorder (PTSD) dan gangguan kecemasan.

Selain bayang-bayang PTSD, beberapa anak mengalami trauma samar. Sekilas, mereka nampak normal, namun, ketika ditanya mengenai gempa, ada yang langsung terdiam, bahkan ada yang menangis histeris ataupun tak mau lepas dari gendongan sang Ibu, belum lagi semangat belajar anak-anak yang relatif kurang, dan rasa percaya diri yang rendah. Untuk mengatasi trauma pasca gempa, tim relawan DERU menyelenggarakan program trauma healing berupa pendampingan . Anak-anak diajak bermain game-game edukatif yang merangsang kerjasama dan taktik, melatih keberanian serta kesabaran. Daya kreatifitas anak-anak pun diasah sedemikian rupa hingga kepercayaan diri mereka tumbuh kembali. Di sis lain, terlihat adanya kecenderungan budaya punishment di lingkungan masyarakat sekitar. Hal ini turut memperlambat proses recovery psikis anak-anak, dimana perasaan dihargai dapat mempercepat peningkatan kepercayaan diri dan kesadaran untuk menerima segala sesuatu dengan ikhlas. Efeknya, anak-anak menunjukkan respon luar biasa ketika mendapat reward, meskipun hanya berupa pujian.

Untuk meningkatkan minat belajar, tim psiko-soial membuat sistem belajar baru yang kami kemas dalam bimbingan belajar. Salah satu metode yang dibuat adalah berhitung dengan menyanyi. Hasilnya, dalam kurun waktu 2-3 hari, anak-anak mampu menghapal pangkat 3 dari 1-20. Metode lain adalah perkalian dengan jari yang sudah umum di jogja, tapi belum dikenal disana. Dengan metode jarimatika, anak-anak dapat melakukan operasi perkalian dan pembagian di luar kepala dengan mudah.

Di akhir program, tim psiko-sosial juga mengadakan sosialisasi kegempaan dan mitigasi bencana untuk menyikapi isu akan adanya Gempa yang jauh lebih besar setelah gempa 30 september dalam waktu dekat. Isu ini sempat membuat sebagian warga merasa stress. Dengan adanya sosialisasi, isu itu dapat diredakan dan masyarakat menjadi tenang kembali.



[1] Istilah yang biasa dipakai orang minang untuk menyebut Gotong-Royong

blog hilang!!!

blog yang telah kupiara sekian taun,,,
akhirnya hilang
so...
Q buat bru,
n merelakan tulisan2ku yang dulu...
ol,
tetap semangat!