Kamis, 30 Juni 2016

Adil (?)

Adil,  sebuah kata yang meski telah jelas dan gamblang definisinya di Kamus Besar Bahasa Indonesia, namun tetap saja meninggalkan jejak ragu. Realita selalu tak segampang teori. Tindakan tak sesederhana cita. Dibalik sebuah laku, kadang ada embel-embel yang mengikuti. Apakah Adil itu? Sudahkah kita bersikap adil?

Beberapa hari ini saya banyak merenungi interaksi dengan kawan-kawan di social media. Hiruk pikuknya tiba-tiba terasa berbeda. Ada nuansa yang semakin nampak. Hampir di setiap komunitas, kita mengenal tipe sanguin, mereka yang sangat menyenangkan dan menarik. Di sosial media tak jauh berbeda. Apapun yang mereka lontarkan selalu menarik untuk dibahas, dikomentari. Ada pula tipe Koleris, kata-katanya, bahkan meski berniat membanyol, tetap terasa agak gimana gitu. Rasanya sulit berinteraksi dengan situasi santai dengan tipe ini. Belum lagi si melankolis yang mendayu-dayu ini. Kalau bahasan merembet ke feeling, merekalah yang paling baper.  Yang paling tenang adalah si plegmatis. Mereka lebih banyak menjadi silent reader, hanya muncul sesekali.

Eh, tapi apa hubungannya dengan Adil?

Seorang teman melankolis suatu saat curhat dengan saya, betapa dia merasa terasing dari komunitas kami. Saat golongan tertentu bicara, meski hal yang remeh, tanggapan bersahutan. Giliran dia bertanya sesuatu.... no answer. Tak seorang pun menjawabnya. Dicurhati begitu, saya sedikit merasa tersindir juga. Bagaimanapun, kami ada di beberapa komunitas yang sama. Sambil meminta maaf karena tak sempat menanggapi di grup, saya mencoba menenangkan dia dengan beberapa presume, barangkali teman-teman sedang sibuk.

Bukan sekali-dua kali kejadian ini terjadi, melainkan beberapa kali oleh orang yang berbeda-beda. Kadang dengan derai air mata (serius, ini biasanya terjadi pada tipe melankolis yang merasa diabaikan), atau dengan canda sarkastik khas koleris. Saya sendiri tak hanya kadang, bahkan sering merasa begitu. Tapi yasudahlah... buat apa diratapi :’)

Kembali tentang ‘adil’. Bila meninjau definisi ‘adil’ menurut KBBI, bahwa adil adalah sama berat; tidak berat sebelah; tidak memihak, maka bila diimplementasikan dalam sebuah interaksi, adil bisa dipahami  sebagai hubungan dua arah. Kedua pihak secara resiprok mengusahakan interaksi yang seimbang. Interaksi yang adil adalah interaksi yang saling memberi dan menerima, saling memberikan respon.

Di era serba digital, dimana komunikasi telah menjadi sesuatu yang murah, ternyata harga respon semakin mahal. Berapa dari sekian banyak anggota komunitas yang secara aktifmengucapkan terima kasih pada rekan yang telah berbagi? Berapa dari sekian banyak anggota yang menanggapi pertanyaan teman meski sekedar ‘maaf,saya tidak tahu’? Berapa dari sekian banyak anggota yang bertegur sapa secara aktif. Bukankah dulu saat di sekolah, Guru membiasakan kita, seluruh siswa, tanpa bertanya mana yang sanguinis, mana yang koleris melankolis plegmatis, untuk mengucapkan salam?

Saya sendiri masih harus (banyak) mengevaluasi diri. Jika ingin dihargai, mari menghargai yang lain. Adil sejak dari pikiran.

Ditulis dengan kegelisahan,
Saumlaki, 1 Juli 2016.
Atina Handayani