Selasa, 05 April 2016

Kekinian, kenapa tidak?

Kekinian, Kenapa Tidak?

 

Pagi tadi sebuah akun ig sekumpulan anak muda yang menyebut diri mereka ‘Remaja Masjid’ mengangkat sebuah topik menarik. Diinisiasi oleh sebuah pertanyaan tentang bagaimana mengingatkan teman yang ‘kekinian berlebihan’, akun ini mencoba berbagi pandangan tentang menjadi kekinian dari sudut pandang agama.

Di sisi lain, tidak bisa dipungkiri bahwa eksistensi (baca: self actualization) adalah salah satu dari lima kebutuhan dasar menurut Maslow. Maka, di era serba digital ini, media sosial laris manis bak kacang goreng jadi ajang mencari eksistensi diri. Tren kekinian adalah hal yang tak terhindarkan. Bahkan, kegiatan ekonomi telah merambah dunia serba digital yang membuat kita mau tidak mau terlibat dalam dunia maya.

Menyikapi fenomena ini dengan berbagai pendekatan, termasuk pendekatan agama, merupakan hal yang lumrah. Tapi di era banjir digital ini, dan di tengah masa pencarian jati diri para remaja, apakah pendekatan agama ini efektif?

Barangkali, yang kita butuhkan justru pembukaan ruang sebesar-besarnya bagi rekan-rekan Remaja Masjid untuk mewujudkan eksistensi dirinya, yang sesuai dengan tuntunan yang berlaku. Berikan apresiasi pada ketertarikan remaja masa kini sambil mendampingi mereka agar tetap dalam koridor yang telah ditentukan. Mana tau dari ruang ekspresi ini lahir fotografer kawakan yang nantinya bisa support acara-acara Remaja Masjid?

Yang perlu diingat adalah tadi, sesuai dengan koridor. Maka, daripada kita fokus pada preseden buruk, kenapa gak kita fokus pada contoh baiknya seperti apa. Mari kita bekali para remaja masa kini tak hanya dengan gadget mewah sebagai alat penyalur hobi mereka, tapi juga tata cara, etika dan tanggung jawab lain dalam berkarya.

 Analoginya, kenapa harus ribut daging babi itu haram, sedangkan yang halal dimakan itu (luar biasa) banyak? Kenapa harus fokus pada akun sebelah yang dirasa tidak syar’i, sedangkan banyak akun tetangga yang kontennya baik, bagus, dan sesuai tuntunan agama, yang bisa dijadikan contoh dalam berkarya yang ‘sesuai koridor’.

Pendekatan ini,sesuai dengan prinsip pendidikan adalah proses perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Fokus pada perubahan perilaku yang lebih baik dengan mengapresiasi setiap hal baik yang ada. Ketika terus menerus mendorong perilaku baik sampai menjadi kebiasaan, maka di situlah esensi pendidikan terwujud.

Otak kita cenderung menangkap repetisi kata kerja, bukan negasi yang dikenakan pada kata kerja. Berkali-kali mengucapkan ‘jangan lihat’ hanya akan membuat orang tergoda untuk melihat. Daripada menekankan jangan begini- jangan begitu, lebih baik mari ini dan itu.

So, menjadi kekinian, kenapa tidak?

Jumat, 01 April 2016

Sosmed, Foto dan Nama

Dalam jangka waktu seminggu ini saya terpancing membuat kultwit dengan tagar #PP (Profile Picture) dan #ProfileName di dua momen yang berbeda. Tagar pertama, yaitu tentang Profile Picture saya buat karena akhir-akhir ini muncul nomor baru menghubungi saya via WA. Sudah ujug-ujug nanya mbak bisa bantuin begini begitu tidak, tanpa menyebut nama, eh fotonya juga tidak membantu untuk mengenali ‘siapakah dia?’.

Beberapa minggu sebelumnya, adik saya sendiri sempat mengganti foto profil linenya dengan foto kedua orang tua kami. Lucu gak sih kalau di dalam grup line yang isinya anak-anak muda, tetiba nongol foto bapak-bapak sekaligus emak-emak di deretan foto anggota grup di bagian atas jendela?

Lalu siang ini, saat sedang diskusi di sebuah grup, sebuah akun dengan smile di #ProfileName-nya ikutan nimbrung. Diskusi langsung petjah dengan pertanyaan: "Siapa kamuuuuu?". Anda mungkin pernah mengalami hal serupa. Masuk ke sebuah grup yg belum semua anggotanya kita kenal (apalagi kita simpan kontaknya di gawai kita dengan nama ala kita), lalu saat ngecek ke anggota grup, ada simbol-simbol, ikon atau karakternya tak terbaca yang membuat kita tak bisa mengenali pemilik sebuah akun.
Pas nengok foto profilnya pun gak membantu~~~

Terlepas dari lucu atau enggaknya, seperti saya ulas di kultwit, foto dan nama profil adalah bagian dari identitas akun anda. Kedua hal tersebut, jija digunakan dengan tepat akan membantu orang lain untuk ‘mengenali’ anda. Sebab, modalitas (kemampuan menyerap informasi, termasuk mengingat) seseorang bervariasi. Ada yang pendekatannya Visual, yakni dengan mengingat wajah / postur tubuh seseorang. Ada pula yang pendekatan paling efektifnya adalah Audio, misalnya dengan bunyi nama seseorang. Ada juga yang mengingat seseorang dengan pendekatan kinestetik, misalnya mengingat momen / kegiatan penting yang pernah dialami.

Umumnya, akun sosmed memberikan 3 ruang untuk mendeskripsikan ketiga hal tersebut di atas. Gunakan nama yang proper agar teman kita dengan modalitas audio mudah mengingat kita. Begitu pula dengan Profil Picture kita. Menggunakan foto yang sesuai akan sangat membantu orang lain mengenali kita. Bila perlu, tuliskan hal yang lekat dengan pribadi kita di biografi untuk membantu orang lain mendefinisikan ‘yang seperti apa’ kita itu.

Jadi sodara-sodara, mari gunakan #ProfilePicture, #ProfileName dan Bio yang tepat yuk J

~@kata_atina sebuah akun yang seringkali gelisah membaca tanda-tanda alam