Selasa, 29 Maret 2016

Generasi Stiker


Belakangan, telepon genggam pintar saya lebih sering mengeluarkan notifikasi. Sebab terhitung dua minggu ke belakang, perangkat saya mendadak terpasang berbagai akun media sosial kekinian. Lebih kini dari akun Whatssap yang telah saya gunakan sejak 2014. Awalnya saya bersikukuh tidak menambah jumlah aplikasi. Saya toh pengguna aktif Facebook dan twitter. Ditambah dengan blog yang baru akhir-akhir ini kembali saya isi, keempat aplikasi tersebut dirasa cukup mewadahi segala aspirasi dan inspirasi saya.

Adalah adik ke delapan alias anak ke sepuluh keluarga kami lah yang memasang LINE di perangkat saya, diikuti instagram, skype dan blogger mobile. Dan benar saja, hari demi hari berikutnya, telepon genggam saya menjadi ‘berisik’. Sejujurnya, hal ini yang sebelumnya membuat saya enggan menambah jumlah akun media sosial di samping media yang sudah saya punya sejak dulu sudah cukup memberi ruang bagi orang di sekitar saya untuk berkomunikasi dengan saya.

Masih dalam mode penyesuaian, beberapa kejadian menarik membuat saya berpikir keras. Saya yang lebih terbiasa menulis di kertas, kemudian dibanjiri postingan panjang di akun sosial media. Bukan berarti di akun terdahulu, WA, tidak ada. Ada, tapi tak sebanyak dan tak seekstrim akun yang baru saat ini, dimana pengguna tak hanya bisa sekadar berbalas pesan pribadi, tapi juga berdiskusi di grup, bahkan mempublikasikan unggahan terkini di linimasa.

Di suatu momen, salah seorang anggota grup yang berisi anak muda menyampaikan aspirasinya. Aspirasi yang diinisiasi oleh kekecewaan. Bahasanya memang cenderung keras. Maklum lah, namanya juga anak muda, kecewa pula penyebabnya. Sudah dapat diduga, reaksi negatif bermunculan.

Momen ini mengingatkan tentang betapa pentingnya menyaring sebuah informasi. Melepas bungkus dan tendensi penyampaian, fokus pada inti bahasan.
Kita tidak bisa mencegah orang lain melibatkan emosi dalam setiap percakapan daring mereka. Yang bisa kita lakukan sebagai manusia yang berusaha menjadi waras adalah berusaha objektif, mencoba menangkap inti bahasan, bahkan hikmahnya.

Kembali ke topik bahasan tentang menanggapi. Selain tanggapan negatif yang muncul, ada juga sih yang berusaha netral. Tapi kebanyakan ‘menanggapi’ dengan mengirim stiker. Tak hanya di momen penyampaian aspirasi ini. Kebanyakan interaksi di media sosial tersebut berupa stiker. Semacam mengasosiasikan situasi / pendapat / sikap terkini ke stiker. Kalau orang dulu berusaha mencoba mengejawantahkan ekspresinya dalam rangkaian kata-kata, itu juga kadang deg-deg pyar, takut salah pilih kata, sekarang ekspresi itu disimbolkan dengan stiker.

Saya termasuk yang percaya bahwa ekspresi manusia adalah hal yang kompleks. Sebuah ekspresi yang paling sederhana saja, bisa diwujudkan dalam deretan kata yang amat panjang, bahkan bisa jadi novel, itu pun belum menggambarkan keseluruhan ekspresi. Di sinilah kelebihan para penulis ‘dewa’. Mereka mampu menarasikan sebuah ekspresi mencapai tingkat detil yang melebihi rata-rata manusia lain. So, kita para pembacanya, berani membayar ‘harga’ sebuah karya demi membaca kekayaan imaji sang penulis.

Mereka yang ingin menjadi penulis handal, praktis menghadapi tantangan yang sama. Mengembangkan imajinasi, merupakan dalam diksi, merangkai kata menjadi sebuah kalimat yang logis, dan voila, mewujud jadi sebuah keutuhan ekspresi.

Sekarang, tren yang berkembang justru kebalikannya. Merupakan kompleksitas ekspresi dalam sebuah simbol bernama stiker. Kan stikernya macem-macem? Oh ya, macem-macem. Tapi ingat, manusia itu unik. Ekspresi pembuat stiker dengan orang lain pasti berbeda. Sama-sama senang, kalau diambil persentasenya, pasti beda. Belum bicara tentang latar, kontradiksinya (senang sih, tapi...) dan lain sebagainya.

Yang paling saya khawatirkan adalah pergeseran kecenderungan, pergeseran kebiasaan, hingga nantinya pergeseran karakter. Dari karakter mengembangkan, memperjelas, mendetilkan sesuatu menjadi menyederhanakan, menyamakan dan menyamaratakan.

Sekarang mungkin hanya tentang ekspresi, ke depan barangkali hal lain. Mau ini, mau itu, pengennya yang gampang, gak mau yang susah. Dibuat mudah sajalah. Anti-ribet dalam konteks yang sesungguhnya.

Kalau dalam konteks komunikasinya kita lebih terbiasa menyimbolkan segala sesuatu, wajarlah bila kemampuan memilih kata yang pas menjadi semakin jauh dari generasi sekarang.
Generasi sekarang lebih ahli memadankan stiker 'yang sesuai' dibanding menjelaskan dengan tepat sasaran.

Am I wrong?

Sabtu, 26 Maret 2016

Cerita Bapak Ojek Daring

Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan untuk berbincang dengan seorang driver ojek daring yang menurut saya cukup menarik. Baru bergabung selama kurang lebih 6 bulan telah memberikan banyak cerita bagi beliau. Setiap hari Ia berangkat mulai pukul 6 pagi, dimulai dengan mengambil order yang paling dekat dengan tempat tinggalnya, dan berakhir sekitar pukul 10 malam dengan rute yang mendekati kediamannya. Dalam sehari beliau biasa mengambil 8 – 10 order.

Saya sempat tertegun mendengar cerita beliau. Pernah terlintas di pikiran saya bahwa keuntungan seorang driver ojek tak lebih dari sekedar produk efisiensi sebuah sistem berteknologi mutakhir. Hingga saya berkesempatan berbincang dengan beliau. Saat itu adalah hari libur sehingga order tidak seramai biasanya. Pun Ia sudah mengumpulkan 8 order sore itu. Ditanya tentang rute yang sering beliau ambil, beliau lebih banyak mengambil rute jarak pendek. Sebab, minimal payment ojek daring ini berlaku untuk jarak maksimal 10 km. Sedangkan pada hari libur, beliau cenderung mengambil rute jauh karena kuantitas order tidak sebanyak hari kerja.

Berapa jarak tempuh terdekat dan terjauh yang pernah beliau ambil? Ternyata, jarak terdekat yang pernah beliau ambil adalah setengah kilometer. Sedang untuk jarak terjauh, beliau pernah membawa konsumen hingga bekasi timur dengan nilai order 100 ribu rupiah. Dengan kecenderungan itu, beliau jarang mencapai jarak tempuh maksimal dari perusahaan, yaitu 150 km. Pihak perusahaan akan memberikan peringatan bagi driver yang tercatat melebihi batas maksimal jarak tempuh. Biasanya, jarak yang berlebih mengindikasikan kecurangan. “Lagipula gak mungkin dapat segitu, terutama hari kerja. Mana-mana macet. Kalaupun ternyata beneran narik, gak sehat karena pasti itu diforsir” beliau menjelaskan.

Selain layanan antar jemput penumpang, beliau juga sesekali mengambil order layanan antar barang / dokumen serta makanan. Bahkan beliau cenderung memilih dua order tersebut dibanding layanan antar jemput penumpang sebab tarif layanan tersebut lebih besar dari tarif ojek penumpang. Barang yang dikirim bervariasi. Mayoritas adalah surat-surat perkantoran. Suatu kali, beliau pernah mengantarkan selembar kertas bahkan sebuah kunci lemari. Namun, beliau juga pernah membatalkan order layanan antar barang karena barang yang akan dikirim melampaui batas berat maksimal yaitu 20kg. Beliau juga pernah mengambil order pembelian 20 porsi mie pangsit yang hanya berjarak kurang dari 100 meter, hanya saja pemberi order berada di lantai 23.

Taktik dan pemikiran beliau dalam menjalankan pekerjaannya membuat saya kagum. Di usia yang tak lagi muda, beliau melipatgandakan efisiensi kerja secara kontinyu. Bahkan inovasi masih menjadi hal yang spesial bagi anak muda jaman sekarang. Kebanyakan menerima begitu saja produk di sekitar mereka.

Pembawaan beliau yang sangat ramah dan informatif membuat saya bertanya-tanya, apakah beliau memiliki pelanggan tetap. Ternyata tidak. Jawaban ini cukup mengherankan bagi saya. Indonesia gitu loh, orang-orang memiliki concern lebih pada kecocokan. Faktor yang membuat kita rata-rata enggan berpindah ke orang lain saat sudah merasa nyaman.

Ternyata manajemen ojek daring ini memiliki aturan unik dimana driver hanya boleh melayani penumpang yang sama sebanyak maksimal 3 kali dalam seminggu. Lebih dari itu, driver  dicurigai melakukan tindakan kecurangan berupa order settingan. Yaitu order yang sudah dipesan dulu, baru diinput ke sistem. Tujuannya sederhana; agar pemesanan layanan berjalan tertib melalui satu pintu yakni lewat aplikasi.

Fakta ini lagi-lagi membuat saya kagum pada integritas beliau. Bekerja di jalanan bukanlah pekerjaan yang ringan. Seorang kawan pernah apes mendapat  driver yang careless without safety riding. Menyentak-nyentakkan gas serta zig-zag memotong jalur roda empat dengan santai. Dalam kondisi seperti itu, bekerja dengan orang yang menyenangkan akan menjadi pereda tingkat stress.

Ketika saya mengeluhkan bahwa malam sebelumnya seorang teman mengalami kesulitan membuat order ojek daring ini, beliau membenarkan bahwa sesekali masih ada sistem error. Namun frekuensi gangguan ini semakin jarang seiring pengembangan aplikasi oleh perusahaan. Ternyata, dibalik keluhan pelanggan atas sistem yang kurang stabil, driver menanggung resiko yang lebih besar. Jangankan order tidak datang tepat waktu, pelanggan bahkan bisa membatalkan order tanpa perlu menjelaskan ini itu. Tak jarang, saat sistem benar-benar down, order yang disetujui driver tak masuk ke perangkat konsumen sehingga saat driver datang menjemput penumpang, yang dituju sudah entah dimana..

Saya sempat bertanya apakah beliau memiliki rekan driver ojek daring yang berjenis kelamin perempuan. Sayangnya, beliau tidak memiliki rekan driver perempuan. Bahkan, beliau hanya kenal beberapa driver laki-laki. Beliau beralasan bahwa Ia jarang nongkrong di tempat-tempat yang ramai sesama driver ojek daring. Beliau menganggap bahwa kebiasaan itu membuat driver larut dalam obrolan lantas enggan mengambil order.

Di balik sikap profesional nan ramah beliau, ternyata tersimpan berbagai duka. Mulai dari pengorder yang sulit dicari keberadaannya, dipersulit menyampaikan pesanan oleh bagian keamanan kantor, hingga dipalak oleh preman saat melewati daerah tertentu lewat pukul 10 malam. Meski bayangan kesulitan mengintai setiap saat, tapi beliau menjunjung tinggi semangat dan etos kerjanya. Ah, hari itu saya benar-benar belajar banyak hal dari beliau :)

Jumat, 25 Maret 2016

Titik hitam dan kebhinekaan

Untuk kesekian kalinya saya melihat gambar epik tentang kertas putih yang ada titik hitamnya. Captionnya selalu sama. Tentang asumsi kebanyakan orang yang cenderung hanya melihat titik hitam, padahal putih lebih dominan. Asumsi ini kemudian dikorelasikan dengan teori bahwa kebanyakan orang lebih mudah melihat 1 keburukan daripada melihat 1000 kebaikan.

Merujuk asumsi dan teori di atas, logika yang dipakai adalah titik hitam merupakan representasi keburukan, sedang warna putih merupakan representasi kebaikan. Di sini, saya merasa terusik.
Mengapa hitam diidentikkan dengan hal-hal buruk saat putih identik dengan hal-hal baik. Menurut saya, identifikasi ini tidak adil. Satu-satunya yang relevan bagi saya adalah perbandingan titik hitam dengan kertas putih sebagai 1 banding 1000. Sebuah hal kecil dibandingkan dengan jumlah yang lebih banyak. Minoritas versus mayoritas. Suatu hal yang berbeda dari kebanyakan hal yang seragam. Satu hal yang berbeda dari kebiasaan.

Kemudian saya teringat tentang sebuah aksi terkini perusahaan layanan taksi reguler di ibukota yang memprotes keberadaan taksi daring. Bermacam alasan mulai dari tiadanya uji kelayakan kendaraan, hingga isu legalitas diusung mewarnai aksi ini. Sangat berbeda dengan lumrahnya taksi reguler berargo yang selama ini merajai pasar taksi di ibukota. Terlepas dari berbagai tanggapan masyarakat, saya melihat sebuah kesamaan antara wacana aksi taksi reguler ini dengan kertas putih bertitik hitam. Sebuah hal baru dari sesuatu yang menjadi kebiasaan.

Jika meninjau wacana aksi yang mengindikasikan ketidaknyamanan, atau bahkan ketidaksetujuan pihak mayoritas yang merupakan pemain lama, bisa jadi si titik hitam ini ’terlihat’ karena perbedaan yang Ia miliki, yang notabene mengusik. Maka, asumsi yang ada adalah bukan tentang baik dan buruk. Tapi tentang sesuatu yang baru adalah sesuatu yang ‘mengusik’. Apakah ini pertanda bahwa kita cenderung tidak siap pada perbedaan?

Sayang sekali, jargon pendahulu kita yang susah payah diusahakan dijadikan semboyan bangsa kita menjadi mati rasa: Bhineka Tunggal Ika

Selasa, 22 Maret 2016

Taksi Gratis Hari Ini

Semalam, setelah aksi para driver suatu brand taksi Ibu Kota, beredar berita bahwa hari ini brand tersebut menggratiskan layanan regulernya untuk daerah jadetabek.

Berhubung kebetulan hari ini saya sedang mengorbit di sana, tak ada salahnya iseng mencoba layanan tersebut. Sekaligus membuktikan, beneran gratis gak nih. :)

Saya lantas mendekati petugas pool dan bertanya, apa benar layanan taksi mereka hari ini gratis. Secara posisi saya di Cengkareng, udah bukan Jakarta. Si Mas mengiyakan pertanyaan saya. Hari ini layanan taksi reguler mereka gratis, selain ongkos tol. Langsung deh saya gercep masuk antrian.

Sempat berpikir bahwa mungkin bakal lama nih nunggunya, soalnya, apa iya para driver ini mau dan rela gak dibayar oleh penumpang? Ternyata, taksi yang saya tunggu datang tak lama setelah saya mendapat kartu antri.

Begitu masuk, langsung deh saya nembak sang driver; "Hari ini gratis kan ya Pak taksinya?" Maklum, masih gak percaya gitu. Sama seperti si Mas petugas pool, driver langsung mengiyakan dengan menambahkan keterangan sama persis keterangan petugas pool: layanan gratis tidak mencakup tarif tol.

Maka dimulailah petualangan hari itu. Menurut Pak Driver, pagi itu mereka diinstruksikan untuk keluar dan memberikan layanan gratis kepada penumpang. Kami sempat bicara ngalor ngidul tentang persaingan taksi, sistem kerja di perusahaan taksi tempat Ia bekerja hingga keluarga Pak Driver.

Tak terasa, kami tiba di gerbang tol cawang dimana saya diminta membayar biaya tol sebesar enam ribu rupiah. Selanjutnya membayar delapan ribu lima ratus di gerbang tol kayu besar. Pengeluaran Terakhir sebesar sembilan ribu lima ratus di gerbang tol meruya utama.

Dari situ, saya tiba di lokasi tujuan di daerah fatmawati. Tetap dengan profesionalismenya, Driver bahkan membukakan pintu mobil.

Hari itu saya berhemat seratus ribu rupiah lebih dari biaya taksi normal yang seharusnya mencapai 160an ribu rupiah. Atau setidaknya 20 ribuan lebih hemat dari opsi Naik damri ke Blok M lanjut angkot ke lokasi.

Sering-seringin aja gratisnya :))

Sabtu, 19 Maret 2016

Mengajar vs memberi pelajaran

Akhir-akhir ini, linimasa sedang punya topik hangat tentang candaan seorang public figure mengenai simbol negara.

Berbagai respon bermunculan. Ada yang prihatin, ada yang bereaksi keras dengan melaporkan sang public figure ke pihak berwajib, ada juga yang selo.

Saya lantas teringat sebuah kisah yang beberapa kali saya baca. Saya jumpai di beberapa media. Sepertinya kisah ini cukup populer.

Kisah ini tentang dua murid dan seorang guru. Kedua murid ini bersitegang tentang hitungan perkalian mereka. Murid pertama adalah murid paling cerdas di kelas. Ia sangat yakin bahwa 7 x 3 adalah 21. Sedangkan murid kedua adalah murid yang tidak secerdas rata-rata murid lain di kelas. Ia pun begitu yakin bahwa 7 x 3 adalah 18. Yah, delapan belas.

Murid pertama begitu percaya diri akan jawabannya. Maka karena perseteruan tidak juga berakhir -murid kedua bersikukuh bahwa 7 x 3 = 18, murid pertama menantang murid kedua untuk beradu ke sang guru.

Murid pertama: 'Bu guru, bukankah 7 x 3 adalah 21?'. Bu guru bertanya, 'lalu apa masalahnya?'. Murid pertama langsung menyahut, "murid kedua ngotot berkata bahwa 7 x 3 adalah 18!"

Sang guru tersenyum, 'benarkah begitu, Nak?'. Si murid kedua mulai gelisah, Ia mengangguk dalam diamnya.

Murid pertama kembali bicara. 'Ibu, bukankah saya benar? Saya bersumpah akan berlari 5 kali keliling lapangan bila sampai jawaban saya salah!"

Ibu guru tertegun sejenak kemudian kembali tersenyum. "Kalau begitu, kamu harus berlari keliling lapangan 8 kali. 3 untuk jawabanmu, dan 5 untuk ketidakbijakanmu" kata bu guru pada murid pertama.

Rekan-rekan, saya percaya anda semua tahu berapa hasil dari tujuh dikali tiga. Tapi di sini, mengapa sang guru malah menghukum murid pertama?

Rekan-rekan, sang guru tidak menyalahkan jawaban murid pertama, maka ia memberi konsekuensi 3 kali putaran untuk si murid. Tapi, ia memberi konsekuensi 'salah', yakni 5 kali putaran, untuk 'cara yang tidak benar' dalam menyampaikan kebenaran.

Dalam kesempatan berbeda, saya mendengar lanjutan kisah di atas dimana si murid pertama merasa kelelahan di putaran kelimanya. "Ibu, saya sudah berlari Lima putaran, bisakah saya minta keringanan tiga putaran? Sungguh saya tidak sanggup melanjutkan lari ini" kata si murid pertama dengan muka nyaris putus asa.

Ibu guru tersenyum, "Lelahmu sama dengan lelah temanmu, Nak. Hitungannya belum selesai seperti kau belum genap berlari delapan putaran. Apa jadinya kalau Ibu menyuruhmu berhenti sekarang? Tiga dan lima tidak akan pernah jadi delapan hanya karena kamu berhenti di putaran kelima"

Si murid pertama terdiam lantas menangis. "Terima kasih Ibu, saya akan selesaikan tiga putaran tersisa", katanya sambil tersenyum.

Dalam konteks kasus di atas, si murid kedua yang tidak cerdas ini bisa patah semangat dalam usaha kerasnya belajar. Bukan kebenaran yang akhirnya didapat, melainkan keputusasaan.

Rekan-rekan,
Seperti itu pula menyampaikan kebenaran. Kadang, kebenaran tidak perlu disampaikan dengan cara keras. Kebenaran selayaknya diiringi kebijaksanaan dalam menyampaikan.

Semoga bermanfaat

Seblak: Kakak senang, Adikpun tenang

So,

Malam ini saya balik kandang ke rumah jakal. Rumah utara, lebih tepatnya. Karen rumah kedua yang kami tempati terletak di jalan kaliurang alias jakal juga. Bedanya rumah sekip, si rumah kedua ini terletak lebih selatan dari rumah utara.

Nah,
Kepulangan saya ini bukan tanpa sebab *sokpenting*. Karena orang tua saya ada reuni di Kota sebelah, sedangkan adik di bawah saya pas sedang mengikuti tes pesantren pelajar, maka saya ke rumah utara untuk jadi penjaga rumah.

Penjaga rumah? Yap, beneran, dengan konotasi menyenangkan, sangat menyenangkan. Hari-hari di utara sering saya habiskan untuk masak, makan, masak lagi, makan lagi, begitu seterusnya.

Seperti malam ini, untuk mengakali adik-adik luar biasah, saya 'menyumpal' mulut mereka dengN seblak Bandung ala ala ig @lawasawal

Lumayan :))

(Calon) Pandega, SKU dan Bina Satuan

Dear kakak-kakak (calon) Pandega
Sungguh betapa beruntungnya kalian.

Diantara padatnya hiruk pikuk kehidupan kampus, dan kerasnya usaha untuk survive di tanah orang, kalian memilih untuk menempa diri lebih keras dari mahasiswa lain. Mengikat diri dengan Prasetya Racana, berjuang menjadi Pandega seperti yang sedang kalian jalani saat ini.

Oh, tidak.
Aku tidak sedang membahas privilege2 yang akan kalian dapat nanti. Kita telah sama-sama tahu ketentuannya kan?
Bukankah itu cita saat membubuhkan TTD prasetya?
Ah, sekali lagi kusampaikan salutku pada kalian, calon penerus bangsa.

Nah,
Sebelumnya, boleh kupinta waktumu sejenak untuk merenungkan apa yang akan kusampaikan?

Kita sama-sama percaya bahwa menjadi Pandega adalah awal dari sesuatu yang lain, maka di sinilah aku bicara tentang perjalanan menuju titik itu.

Teman,
Meski kegiatan ini 'cuma ekstrakurikuler', tapi di sinilah kita akan menempa diri menghabiskan kurang lebih 60th usia kita nanti.

Bukan hal yang mudah, maka mari kita bersiap-siap. Bersiap-siap agar kita dapat bertahan. Mayoritas Hidup kita toh di masyarakat kan, bukan di lab / ruang praktek dsb yg ilmunya kita pelajari di kelas.

Dan semua itu tak mudah. Penuh dengan tantangan, banyak cobaan. Dan tahukah, betapa beruntungnya kalian, para (calon) Pandega?

Hidup di dunia ini mengharuskan kita untuk berkomunikasi dengan segala jenis dan rupa manusia. Dari yang tua sampai yang muda, dari yg cuek sampai yang hobi kepo, semua ada.
Maka beruntunglah kalian yang memutuskan menjadi anggota racana. Bersama adik-adik binsat, kalian berlatih untuk berkomunikasi dengan baik. Bukankah anak-anak adalah makhluk paling jujur?
Merekalah yg akan tertarik bila kita memang menarik, dan merekalah yang pertama berpaling saat kita mulai menjadi membosankan.
Maka beruntunglah kalian yang 'berkesempatan' 'dilatih' oleh mereka :)

Teman2,
Di masa mendatang, urusan demi urusan akan bertambah, agenda demi agenda akan menumpuk, bagaimana kita menyelesaikan semuanya?
Bahkan sekarang, aku yakin tugas kuliah kalian pun menumpuk, meraung-raung minta perhatian. Pun demikian tanggung jawab kalian yang lain. Barangkali beberapa dari kalian juga berkegiatan di organisasi kampus yg lain.
Tapi ah...., toh kalian masih menyempatkan diri untuk binsat, dimana kalian harus mempersiapkan segala sesuatunya sebelumnya, rancangan materi, metode pembelajaran, alat Bantu ajar dsb...
Teman, inilah keberuntungan kalian, inilah kesempatan kita untuk berlatih mengatur diri, waktu dan tanggung jawab kita, kalau bukan sekarang, kapan lagi?
The more you wish, the more you have to do :)

Teman, pernah kesal karena adik-adik bunaan kita gak focus?
Berbagai cara dari ceramah sampai kuis, dari duduk manis sampai nungging barangkali udah kita coba, tapi teteeeeep aja, adik-adik kita sulit diatur.
Tahukah teman,
Bahwa kalian sedang melatih skill Initiating Action kalian?
Tak hanya adik-adik binsat,
Dunia kita kelak akan semakin menantang.
Kalau bukan inisiatif kita yang aktif mencari solusi, mana mungkin kita bertahan?
Mari terus berlatih :)

Teman2,
Gimana rasanya ngalamin nembak 'ditolak'. Berapa kali kita dipelengosin adik-adik?
Berapa kali ide kreatif teman2 'ditolak' pengurus karena satu dan lain hal.
Toh teman2 tidak berhenti berusaha. Banyaknya penolakan hanya membuat kita semakin kuat.
Begitulah dunia, teman2, yang kuat yang akan bertahan.
Maka, teruslah menempa diri, teman2.
Mari menjadi tangguh.

Teman2,
Jangankan menghadapi puluhan anak2,
Menghandle 4-6 anak aja udah luar biasa.
Boleh ngacung yang sering puyeng ngadepin dedek-dedek emesh-yang-kayak-minta-dilempar-saking-ajaibnya.
Tapi toh kita yang akhirnya beradaptasi, mencari berbagai macam pendekatan yg efektif.
Begitu juga dunia, teman2.
Bukan dunia yg menyesuaikan kita,
We are the one who have to fit in it.
Maka tetaplah berlatih beradaptasi, teman2 :)

Teman2,
Tentu kita gak bisa milih Siapa yg jd adik binaan kita. Kadang lucu, kadang aneh, kadang ajaib. Siapapun, tugas kita tetap, mendidik mereka.
Mbuh piye carane.
Demikian juga dunia, teman2.
Kita gak selalu bisa milih akan bekerja dengan Siapa. Kadang asyik, kadang nyebelin. Tapi toh tanggung jawab adalah tetap adanya.
Maka lewat adik-adik kita, mari kita latih skill 'building Positive working relationship'.
Mari belajar membangun hubungan kerja yg baik terlepas dr siapapun rekan kita.

Teman2,
Pernah ngerasa galau?
Ada acara kumpul2 sama temen sekolah, tapi juga ada binsat,
Ada tempat dolan asyik, tapi tugas kuliah belum kelar?
Hayooo, pilih yg mana?
Gak gampang emang. Semua keputusan ada konsekuensinya.
Maka, lewat amanah sebagai kakak binsat, mari kita latih skill Decision Making kita agar tidak ada penyesalan di kemudian hari.

Teman2,
Pernah bingung harus bersikap bagaimana? Bingung harus ngajar dgn metode apa? Bingung gimana harus ngomong tentang anak didik kita ke orang tua?
Padahal jawabannya sederhana:
Dulu, saat jadi murid, kita pengen diperlakukan bagaimana oleh guru kita?
Dulu, kita pengen guru kita ngomong apa ke ortu kita?
Dulu, kita pengen diajar dgn cara bagaimana, oleh guru kita?
Mari kita mulai dengan menerapkan seperti apa kita ingin diperlakukan.
Gak gampang emang.
Maka mari kita latih dr sekarang :)

Teman2,
Menjaga komitmen untuk menyelesaikan amanah itu tidak mudah.
Kadang rasa malas muncul, kadang blank mau ngapain. Belum lagi soal SKU, kadang gak nggayuh mau digarap.
Tapi itulah dunia, teman2,
Kalau menjaga komitmen pribadi saja tidak berhasil, bagaimana kita bisa menjalin komitmen dgn org lain?

Terakhir,
Akan seperti apa kita ingin dikenang, teman2.
Apapun yg kita lakukan akan berdampak. Melarang anak melakukan sesuatu akan berbeda dgn membuat mereka mengerti mengapa tidak boleh melakukan sesuatu.
Kemampuan itu-membuat seseorang melakukan / tidak melakukan sesuatu bukanlah kemampuan yang tiba2 muncul.
Perlu latihan dan pembiasaan.
Mari kita mulai dari belajar 'memberi pengaruh' adik-adik binaan kita kita.

Wah,
Ternyata banyak sekali ya 'keberuntungan' dan 'kesempatan' kita.
Semangat!
Terus berjuang teman2?
Ingat bahwa segala sesuatu perlu latihan, mari kita mulai dr Binsat, dan tentu saja SKU masing2 dr kita.

Salam salut dari pengagummu.

Earth Hour dan Kemunafikan sebuah Idealisme

*tulisan ini saya buat beberapa tahun yang lalu, diposting ulang untuk mengingatkan teman2 sekalian akan konsistensi kita untuk berkontribusi*

Sabtu, tanggal 27 Maret lalu, beberapa pesan pendek masuk ke ponsel saya. Semua membawa pesan yang sama, “Matikan lampu selama 1 jam, mulai pukul 20.30 hingga 21.30, dalam rangka Earth Hour, mencegah global warming”. Sebelah alis saya pun mengernyit...
Pesan itu tak terhenti disitu, sebagian besar teman saya sibuk menyerukan secara lisan ajakan itu dengan menggebu-gebu, “Cegah global Warming mulai sekarang”. Begitu katanya. Sebagian lagi merasa gelisah, was-was jika nanti, tepat pukul 20.30, listrik akan padam. Maklum, saat itu kami sedang berada di asrama Tafsir Qur'an. Bisa dibayangkan, betapa lampu sangat dibutuhkan. Jika lampu padam, kegiatan belajar mengajar tentu akan ikut terhenti pula.

“Ayo cepetan, keburu listriknya dimatiin.” kata salah seorang teman. Aku hanya tersenyum, dan berujar, “Nggak mungkin lah, PLN nggak ada sangkut pautnya ama program ini, Ini kan tergantung kesadaran pribadi tiap orang. Mau ikut berpartisipasi ya ayuk, kalo nggak ya udah....”. Dan si Mbak dengan ngototnya menyanggah, “Ya nggak mungkin, ini tuh program seluruh dunia, pasti ntar bakal mati listriknya!”. Maka kami pun menunggu....
Teng,...
Pukul 20.30 tepat, listrik tetap menyala....

Aku teringat masa-masa SMP, ketika slogan “Jogjaku Bersih” ramai didengung-dengungkan. Setiap PNS menjadi duta kebersihan dengan pin tersenat di dada kanan, lengkap dengan lambang Pemkot Yogyakarta dan gambar orang membuang sampah. Dinas kebersihan sibuk memasang 2 jenis tempat sampah, Biru untuk sampah organik, dan oranye untuk sampah plastik di setiap sudut kota. Tanaman-tanaman peneduh dipasang di pinggir-pinggir jalan, tak lupa, berbagai pamflet disebar di banyak tempat mengkampanyekan program tersebut.

Tapi,....
Beberapa waktu berselang, pin berslogan “Jogjaku Bersih” masih dengan tertib terpasang di dada para pegawai, tapi 'budaya' berkata lain. Sampah-sampah masih berserakan, pohon-pohon perindang tak lagi terawat. Yang paling menyedihkan, sampah bercampur baur hingga kadang menimbulkan bau tak sedap. Bahkan tak jarang, tempat sampah-tempat sampah tersebut hilang ditelan waktu...

Jauh sebelum program Jogjaku Bersih dicanangkan, pemerintah telah 'menunjukkan kepedulian yang cukup nyata' terhadap isu ini. Kali ini berkaitan dengan ragam administratif. Standar kertas yang digunakan dalam administrasi resmi 'turun pangkat' dari HVS 90 gram menjadi HVS 80 gram. Sayangnya, sosialisasi kebijakan ini belum mencapai 'akar rumput'. Belum semua instansi memberlakukan kebijakan ini.

Ketika pemerintahan SBY naik pangkat, 'operasi lawan global warming' makin marak. Tak kurang, SBY sendiri yang menyerukan minimalisasi penggunaan AC, serta menyerukan penggunaan batik sebagai pengganti jas, untuk mengurangi kegerahan. Tapi, seruan tinggal seruan. Hampir semua pejabat telah kembali 'nyaman' dengan jas masing-masing. “Toh, yang bayar listrik kan negara....” Begitu mungkin pikiran mereka.

Dan kita tak bisa begitu saja melupakan ajakan PLN untuk mematikan sebuah lampu pada jam-jam puncak beban listrik, yaitu antara pukul 18.00-06.00. Hanya yang sayang, sekali lagi, tak semua masyarakat bersedia berpartisipasi pada program ini.

Kita kembali pada isu Earth Hour, saat itu, terutama remaja, saling berlomba-lomba untuk berpartisipasi. Tapi seolah lupa, di luar Earth Hour time, berapa jam televisi menyala di rumah-rumah mereka tanpa ada yang menonton, berapa lama listrik terbuang ketika kita membiarkan charger HP kita tetap menempel semalaman? berapa banyak listrik terbuang untuk komputer, dan radio yang menyala tak henti di kamar untuk sekedar 'menemani tidur'?, Atau, berapa banyak listrik terbuang untuk menghidupkan kembali sebuah komputer / laptop yang kita tinggal sejenak, sulitkah untuk meng-hibernate-kan gadget kita?. Sulitkah mengubah profil Hp kita menjadi “Energy saving mode”, atau mengosongkan wallpaper, menggunakan modus getar, atau segera mengangkat telepon / membuka pesan sehingga ringtone tak perlu mengalun lebih lama?

Lalu saat sebagian remaja lain berjuang meneriakkan penyelamatan hutan, sebagian yang lain 'membuang' berlembar-lembar kertas hanya karena 'salah ketik'. Beberapa civitas akademika masih mempertahankan tradisi kuno, mengumpulkan tugas yang hanya sekian puluh kata dalam bentuk print out. Pernahkah kita berpikir, berapa hektar hutan papirus yang bisa kita selamatkan jika kita mau 'sedikit' berevolusi dengan memaksimalkan penggunaan E-mail?

Yang mencengangkan, sebagian dari kita yang meneriakkan upaya cegah global warming, terkadang melupakan detil-detil kecil yang sesungguhnya cukup berarti. Misalnya, berapa literkah air yang telah kita buang saat kita mandi? Berapa kubikkah polutan yang telah kita muntahkan dari kendaraan kita? Kemanakah bungkus permen yang kita makan isinya? Berapa banyak energi yang 'dibuang' sebuah pabrik untuk membuat makanan instan, sulitkah untuk memilih makanan olah?

Tapi, tak ada salahnya terus berjuang, Masih banyak hal-hal yang perlu kita pertahankan. Masih ingat Kalpataru? Penghargaan khusus dari RI1 untuk kota/ daerah Tk II yang dinyatakan paling bersih ini masih cukup menjadi alasan beberapa daerah untuk mewujudkan kebersihan lingkungan.

Kita bisa melihat perubahan yang cukup berarti di Ibu kota dengan program Jakarta Go Green. Program yang merambah sekolah-sekolah dasar dan daerah tingkat RW ini bisa dikatakan cukup berhasil.
Yang harus diingat, gerakan cegah global warming tak dapat terlaksana dengan satu-dua program mandiri, alias tak akan berguna tanpa tindak lanjut yang signifikan. Kita tak harus serta-merta mengandangkan kendaraan bermotor kita, atau menyingkirkan semua peralatan elektronik kita. Yang perlu kita lakukan hanyalah menggunakan semua itu dengan sebijak mungkin.

Tentu tak sulit untuk mematikan lampu yang tidak digunakan, ataupun mematikan meteran listrik saat meninggalkan rumah dalam keadaan kosong, semua itu akan mencegah listrik terbuang percuma. Merencanakan rute perjalanan harian agar tak bolak-balik juga bisa mengurangi polutan [dan menyelamatkan kantong kita].
Bila keadaan memungkinkan, menggunakan kendaraan umum adalah alternatif yang cukup menguntungkan. Pertama, kita tak harus mengeluarkan biaya bahan-bakar pribadi, akan sangat menguntungkan dalam perjalanan jauh. Kedua, kita ikut andil mengurangi calon tambahan polutan yang mungkin terjadi jika kita menggunakan kendaraan pribadi. Dan jangan lupa untuk secara teratur menyervis kendaraan kita agar tetap terawat dengan baik. Kendaraan yang terawat dengan baik akan meminimalisir jumlah polutan yang dikeluarkan. Amat sangat disarankan untuk memilih jenis bahan bakar hemat energi untuk kelangsungan hidup planet kita ini, tentu jika keadaan [kantong] memungkinkan.

Selain itu, kita juga bisa menghemat cukup banyak listrik dengan mengganti lampu bohlam dengan lampu TL. Sebab, lampu TL mengubah 70% listrik menjadi cahaya, sedangkan lampu bohlam 'hanya' mengubah sekitar 30% energi listrik menjadi cahaya, sisanya dikonversi menjadi kalor.

Tak lupa, jadilah konsumen cerdas untuk ikut berpartisipasi dalam usaha cegah global warming ini. Membawa kantong belanja dari rumah akan mengurangi jumlah konsumsi plastik, dan memilih alat listrik hemat energi merupakan langkah bijak yang nantinya juga akan menyelamatkan kantong kita dari ancaman tagihan listrik yang membengkak. Tak lupa pula untuk memilih barang-barang yang bisa didaur ulang. Dan tahukah kalian, lebih memilih produk lokal dan organik juga membantu mencegah global-warming lho! Bayangkan, berapa banyak energi [bensin] terbuang untuk mengangkut produk impor masuk wilayah kita? Dan bayangkan berapa banyak polusi yang mencemari tanah dari pupuk kimia untuk menumbuhkan bahan makanan non-organik?

So, tidak sulit bukan untuk ikut berpartisipasi mencegah global warming. Untuk kehidupan yang lebih baik, mari kita mulai dari sekarang, dari diri sendiri, dan dari hal-hal kecil!

Tulisan asli bisa ditemukan di link:

https://mobile.facebook.com/notes/atina-handayani/earth-hour-dan-kemunafikan-sebuah-idealisme/355486386636/?refid=7