Kembali berkegiatan ala-ala anak muda, saya tertarik
melihat profil seseorang, ditambah dengan ujaran “Kowe sehat? Ora” yang
dilontarkan seorang kakak di perjalanan pulang, saya tergelitik menengok laman
facebooknya. Pucuk dicita, ulam pun tiba.
Voila, saya menemukan tulisan ini:
“Kowe Sehat ? Ora ;) Ketidakwarasan inilah yang membuat kita mau melakukan semua ini. Kalo waras, pasti kita ga bakal mau menanggung semuanya.Pengorbanan ? Bukan. Ini hanyalah sebuah pilihan. Pilihan untuk berbuat sesuatu, pilihan untuk melakukan, dan pilihan untuk tidak menyesal.Yup...tidak menyesal karena tidak melakukan hal-hal yang seharusnya bisa kita lakukan tapi urung di lakukan dengan alasan lelah, ga mood, bukan jobdescnya maupun alasan konyol seperti ga paham apa yang harus dilakukan tapi ga mau bertanya. Rasa lelah dan kantuk yg melanda, demam bahkan opname tak kan mampu menghentikan kita.Demi apa ? Demi kesuksesan acara...bukan Demi membantu teman...bukan Demi penghargaan...bukan Demi harta...bukan (kl dapat ga nolak loh :-D) Demi apa ya ??? Entahlah. Mungkin demi kepuasan pribadi.”
Saya teringat sebuah kata: Initiating Action. Sebuah perilaku melakukan lebih
dari yang diminta. Mengerjakan tugas melebihi tugas pokok yang dibebankan. Tapi
ada ragu yang terbersit. Apa iya, itu yang dimaksud dengan Initiating Action?
Saya teringat diskusi saya dengan seseorang mengenai definisi Initiating
Action ini. Meninjau perilaku saya yang selalu memback-up tugas guru lain yang sering
kali, bahkan tiba-tiba tidak hadir ke sekolah. Menghandle kelas rangkap di angka
dua atau tiga Rombel adalah suatu ‘hal biasa’. Bahkan pegang 4-5 kelas bersamaan
hampir pasti terjadi tiap minggu. Saya merasa telah melakukan Initiating
Action, dimana tanggung jawab saya sebagai wali kelas 3 hanyalah ‘sekedar’
menangani kelas tersebut. Harapannya sih, rekan guru yang lain meniru perilaku
saya itu, dengan senang hati menghandle tugas rekan lain yang tidak masuk. Tentu
saja saya berharap esok mereka tak lagi-lagi tidak masuk tanpa pemberitahuan. Atau
bahkan bergantian mengisi kelas saya saat saya tak bisa masuk kelas. Sekali dua
kali, sebulan dua bulan, hal itu terjadi berulang kali, tapi perubahan yang
saya harapkan tak jua muncul. Saya mulai lelah, lantas memutuskan untuk
berdiskusi, barangkali ada yang kurang tepat dari metode saya.
Setelah sesi curhat yang cukup panjang, sampailah pada giliran rekan yang
saya curhati untuk memberi feed back. Ia bertanya tentang faktor apa yang
mungkin jadi penyebab belum ada perubahan sikap (pada rekan guru), meski sudah
diberi contoh berulang kali. Jawaban saya tentu sederhana: Kasihan anak-anak,
sudah semangat sekolah, tapi tidak ada yang mengajar. Ia bertanya: "Sudah disampaikan kah?"
Lalu saya teringat, tujuan itu, tujuan yang tak pernah tersampaikan ke para rekan guru. Sehingga bisa jadi tugas lebih yang saya over-handle saat itu tak memberikan hasil yang signifikan. Justru hal sama berulang terus.
Lalu saya teringat, tujuan itu, tujuan yang tak pernah tersampaikan ke para rekan guru. Sehingga bisa jadi tugas lebih yang saya over-handle saat itu tak memberikan hasil yang signifikan. Justru hal sama berulang terus.
Lantas saya terpikir untuk meninjau kembali definisi Initiating Action. Menurut sebuah buku
pegangan tentang Kompetensi Kepemimpinan yang dibuat oleh sebuah lembaga dimana saya sempat terlibat di
dalamnya, definisi Initiating
Action adalah “Kemampuan untuk bertindak segera untuk mencapai tujuan;
melakukan tindakan untuk meraih sasaran melampaui yang disyaratkan, bersikap
proaktif. Perilaku utama: 1. Berespon dengan cepat, 2. Bertindak independen, 3.
Melakukan lebih dari yang disyaratkan.
Gotcha, ada satu hal yang saya lupakan: tujuan besar. Kompetensi Initiating
Action tidak sekedar reaktif memback up tugas orang lain. Tapi melakukan hal yang seharusnya
dilakukan untuk mencapai target. Di tempat saya bekerja saat itu jelas, tujuan
besarnya adalah perubahan perilaku. Maka, (selalu) memback up tugas rekan lain
seperti yang biasa saya lakukan saat itu justru menjadi semacam ‘parasit’, mendukung
ketidakseimbangan selalu terjadi dengan menambal setiap lubang yang ada.
Padahal, yang harus diperbaiki adalah sistemnya, menata ulang tata kerja.
Bagaimana cara kerjanya? Komunikasi. Sampaikan hal-hal yang memang perlu
dibenahi. Kita bukan Superman yang bisa selalu mebereskan semua hal. Toh kita
tak selamanya ada di situ, Pun, yang paling penting, sistem yang bekerja secara
optimal dan kontinyu oleh semua komponen lah yang menajdi tujuan akhirnya, kan?
Seperti tubuh yang sakit, minum obat bukanlah jawaban utama untuk ‘sembuh’,
perubahan perilaku agar luka yang sama tidak terjadi lah yang terpenting. Bukan
begitu?