Tanggal 17 Agustus baru saja berlalu. Hingar-bingar kemerdekaan masih
terasa kental. Suasana yang sungguh sangat menyenangkan, sekaligus mengusik.
Kemerdekaan macam apa yang kita ‘anut’?
Saya teringat perbincangan dengan seorang dua orang kawan, yang satu
teman ‘seperjuangan’ selama setahun ke belakang mengajar di tempat dengan
kualitas pendidikan yang tak sebaik Ibukota (saya memilih istilah tersebut
daripada tempat-terluar-tertinggal-terisolir, sebab sebagian tempat mengabdi
ada yang jaraknya hanya sekian jam dari ibukota, masih di pulau Jawa, tapi
kondisinya sangat berbeda dengan daerah di jawa pada umumnya), yang satu lagi
memilih bekerja di perusahaan asing di
bidang perminyakan. Si teman pertama, teman seperjuangan saya, menyelutuk bahwa
si teman kedua ini adalah pengkhianat rakyat; bekerja di usaha yang jelas-jelas
merampok sumber daya alam indonesia.”Kapan mau ikut serta membayar janji
kemerdekaan untuk mencerdaskan anak bangsa?” katanya dengan nada menyindir.
Si teman kedua ini terdiam. Pelan-pelan ia berkata adakah si teman
pertama ini bicara demikian karena kiprahnya setahun belakangan?.
“Jelas sih bedanya, elu setahun ngajar di tempat terpelosok, bikin
anak-anak yang tadinya gak bisa baca jadi baca, orang-orang jadi nganggep
pendidikan itu penting banget. Beda yah, sama gue. Kerja dapet duit banyak dari
hasil rampok minyak (bangsa-red) sendiri” Ia terdiam sejenak sebelum akhirnya
melanjutkan.
“Tapi gua percaya, gua gak akan selamanya di sini (di perusahaan minyak-red).
Gua Cuma ngumpulin modal seperlunya, biar nanti bisa berbuat sesuatu. Mungkin
Cuma sekedar nyekolahin anak orang setinggi-tingginya, tapi gue janji gue akan
berbuat sesuatu dari duit rakyat ini” suaranya mulai bergetar, dan saya
mendapat afirmasi dari keluhannya selama ini. Lulusan perguruan tinggi teknik
ternama di Bandung ini kadang merasa berdosa bekerja di perusahaannya sekarang,
seringkali kuanggap sebagai guyonan. Jaman sekarang, mana ada sih yang gak suka
dapat duit banyak?
Saya pun merasa malu, setahun di daerah pun sebenarnya gak banyak-banyak
amat yang kami kerjakan. Rasanya sombong sekali membanggakan apa yang telah
kami lakukan, padahal di sana jauh lebih banyak yang ‘melakukan sesuatu’ tanpa
publisitas yang jor-joran. Sebuah karya tanpa gema. Hanya karena kami utusan
sebuah LSM pendidikan yang prestisius, apa yang kami kerjakan seringkali
diberitakan dengan sangat positif seolah-olah hal tersebut adalah yang luar
biasa. Padahal sebenarnya biasa-biasa saja.
Lantas saya teringat perbincangan di malam sebelum peringatan hari
kemerdekaan digelar. Seorang teman lain, yang juga teman seperjuangan di daerah
selama setahun melempar bola panas: mau apa besok di tanggal 17. Pesannya
jelas: mengajak semua untuk berdiri sejenak, menghargai jasa para pahlawan.
Demikian itu lebih baik daripada tidur seharian. “Masak para pahlawan udah
mengorbankan nyawanya agar kita merdeka,dan elo Cuma tidur seharian?!”
Saya separo setuju dengannya. Sepakat bahwa kita harus menghargai mereka
yang telah berjuang untuk kita, yang telah ataupun belum mendahului kita di
dunia. Tapi bagi saya, caranya tak melulu dengan upacara di pagi hari.
Saya teringat seorang tua yang saya temui di Shalat Idul Fitri di
kampung, tapi tak saya temui di perayaan 17an kampung. Memeriahkan lomba pun
tidak. Ia masih membanting tulang. Bukan untuk mengisi kemerdekaan, tapi
sekedar untuk mengisi perut anak-anaknya. Lantas, setelah setahun penuh
berpeluh demi sesuap nasi, bahkan di hari raya. Alih-alih berkumpul bersama
keluarga, Ia mengumpulkan koran bekas sisa Sholat Ied untuk dijual. Maka hari
itu, hari kemerdekaan yang sesungguhnya baginya. Hari dimana Ia benar-benar
merdeka, dimana Ia mendapatkan haknya sebagai pekerja secara utuh: libur.
Seperti apa konsep merdekamu? Apakah kita masih akan memaksakan konsep
merdeka kita pada yang lain? Mewarisi kultur primordialisme yang mengagungkan
keseragaman sudut pandang? Saya memilih untuk merdeka; menghargai setiap
pilihan yang dibuat oleh orang lain, pun juga diri saya sendiri.
PS: Tulisan ini fiksi, bila ada kesamaan tokoh dan cerita, demikian hanya kebetulan semata