Kamis, 20 Agustus 2015

Merdeka?

Tanggal 17 Agustus baru saja berlalu. Hingar-bingar kemerdekaan masih terasa kental. Suasana yang sungguh sangat menyenangkan, sekaligus mengusik. Kemerdekaan macam apa yang kita ‘anut’?
Saya teringat perbincangan dengan seorang dua orang kawan, yang satu teman ‘seperjuangan’ selama setahun ke belakang mengajar di tempat dengan kualitas pendidikan yang tak sebaik Ibukota (saya memilih istilah tersebut daripada tempat-terluar-tertinggal-terisolir, sebab sebagian tempat mengabdi ada yang jaraknya hanya sekian jam dari ibukota, masih di pulau Jawa, tapi kondisinya sangat berbeda dengan daerah di jawa pada umumnya), yang satu lagi memilih bekerja di perusahaan asing  di bidang perminyakan. Si teman pertama, teman seperjuangan saya, menyelutuk bahwa si teman kedua ini adalah pengkhianat rakyat; bekerja di usaha yang jelas-jelas merampok sumber daya alam indonesia.”Kapan mau ikut serta membayar janji kemerdekaan untuk mencerdaskan anak bangsa?” katanya dengan nada menyindir.
Si teman kedua ini terdiam. Pelan-pelan ia berkata adakah si teman pertama ini bicara demikian karena kiprahnya setahun belakangan?.
“Jelas sih bedanya, elu setahun ngajar di tempat terpelosok, bikin anak-anak yang tadinya gak bisa baca jadi baca, orang-orang jadi nganggep pendidikan itu penting banget. Beda yah, sama gue. Kerja dapet duit banyak dari hasil rampok minyak (bangsa-red) sendiri” Ia terdiam sejenak sebelum akhirnya melanjutkan.
“Tapi gua percaya, gua gak akan selamanya di sini (di perusahaan minyak-red). Gua Cuma ngumpulin modal seperlunya, biar nanti bisa berbuat sesuatu. Mungkin Cuma sekedar nyekolahin anak orang setinggi-tingginya, tapi gue janji gue akan berbuat sesuatu dari duit rakyat ini” suaranya mulai bergetar, dan saya mendapat afirmasi dari keluhannya selama ini. Lulusan perguruan tinggi teknik ternama di Bandung ini kadang merasa berdosa bekerja di perusahaannya sekarang, seringkali kuanggap sebagai guyonan. Jaman sekarang, mana ada sih yang gak suka dapat duit banyak?
Saya pun merasa malu, setahun di daerah pun sebenarnya gak banyak-banyak amat yang kami kerjakan. Rasanya sombong sekali membanggakan apa yang telah kami lakukan, padahal di sana jauh lebih banyak yang ‘melakukan sesuatu’ tanpa publisitas yang jor-joran. Sebuah karya tanpa gema. Hanya karena kami utusan sebuah LSM pendidikan yang prestisius, apa yang kami kerjakan seringkali diberitakan dengan sangat positif seolah-olah hal tersebut adalah yang luar biasa. Padahal sebenarnya biasa-biasa saja.
Lantas saya teringat perbincangan di malam sebelum peringatan hari kemerdekaan digelar. Seorang teman lain, yang juga teman seperjuangan di daerah selama setahun melempar bola panas: mau apa besok di tanggal 17. Pesannya jelas: mengajak semua untuk berdiri sejenak, menghargai jasa para pahlawan. Demikian itu lebih baik daripada tidur seharian. “Masak para pahlawan udah mengorbankan nyawanya agar kita merdeka,dan elo Cuma tidur seharian?!”
Saya separo setuju dengannya. Sepakat bahwa kita harus menghargai mereka yang telah berjuang untuk kita, yang telah ataupun belum mendahului kita di dunia. Tapi bagi saya, caranya tak melulu dengan upacara di pagi hari.
Saya teringat seorang tua yang saya temui di Shalat Idul Fitri di kampung, tapi tak saya temui di perayaan 17an kampung. Memeriahkan lomba pun tidak. Ia masih membanting tulang. Bukan untuk mengisi kemerdekaan, tapi sekedar untuk mengisi perut anak-anaknya. Lantas, setelah setahun penuh berpeluh demi sesuap nasi, bahkan di hari raya. Alih-alih berkumpul bersama keluarga, Ia mengumpulkan koran bekas sisa Sholat Ied untuk dijual. Maka hari itu, hari kemerdekaan yang sesungguhnya baginya. Hari dimana Ia benar-benar merdeka, dimana Ia mendapatkan haknya sebagai pekerja secara utuh: libur.
Seperti apa konsep merdekamu? Apakah kita masih akan memaksakan konsep merdeka kita pada yang lain? Mewarisi kultur primordialisme yang mengagungkan keseragaman sudut pandang? Saya memilih untuk merdeka; menghargai setiap pilihan yang dibuat oleh orang lain, pun juga diri saya sendiri.

PS: Tulisan ini fiksi, bila ada kesamaan tokoh dan cerita, demikian hanya kebetulan semata